Alokasi Impor Gula Rafinasi Tahun 2019 Turun 28,57%

0
tebu dan gula

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menetapkan impor Gula Kristal Rafinasi Rafinasi (GKR) tahun 2019 sebanyak 2,8 juta ton atau turun 28,57% dari alokasi impor GKR tahun 2018 yang sebesar 3,6 juta ton.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, pemerintah tetap mengimpor gula untuk kebutuhan industri tahun depan. Ia mengatakan, meskipun disebutkan produksi gula tinggi dan stok masih banyak, tapi pihaknya belum mendapatakan kepastian dimana alokasi gula tersebut disimpan dan seperti apa kualitasnya.

“Harga gula memang sedang rendah. Sebenarnya data menunjukkan masih ada stok gula, cuma saya minta dipertegas di mana saja itu gula berada. Untuk saat ini kami putuskan tidak tidak impor Gula Kristal Putih (GKP). Jadi sekarang itu impor untuk industri saja,” kata Darmin.

Kendati demikian, Darmin tetap meminta Kementerian Pertanian dan Perum Bulog mempertegas posisi dan jumlah stok yang ada saat ini, sebelum memutuskan kuota impor gula industri untuk tahun depan.

“GKP [gula kristal putih untuk kebutuhan konsumsi] kita tidak memutuskan impor. Tapi untuk industri itu lain soal, diperkirakan 2,8 juta ton. Angkanya mengarah ke situ tapi akan dipastikan lagi. Mereka minta waktu sebulan untuk mengecek,” jelas Menko.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, mengutarakan, realisasi impor gula untuk bahan baku industri dari Januari hingga akhir November 2018 telah mencapai 2,96 juta ton, dari alokasi impor yang diberikan untuk tahun ini sebesar 3,15 juta ton.

“[Hingga November] sudah masuk 2,96 juta ton sekian, hampir 3 juta lah,” ujar Oke.
Sebagai informasi, pemerintah di awal tahun ini mengalokasikan impor gula untuk bahan baku industri sebanyak 3,6 juta ton, dengan mekanisme impor dibagi menjadi dua semester, masing-masing 1,8 juta ton.

Kendati demikian, karena realisasi impor di semester I-2018 yang tidak optimal dengan hanya mencapai 1,5 juta ton, maka pemerintah akhirnya menurunkan alokasi impor tersebut menjadi hanya 3,15 juta ton.

Sementara Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono mengungkapkan, kebutuhan gula industri saat ini sekitar 3,6 juta ton dan kebutuhan garam untuk industri sebanyak 3,7 juta ton.

Menurutnya, kebutuhan impor gula dan garam impor berdasarkan industri yang tidak bisa disubstitusi oleh bahan baku hasil produksi lokal. “Sisa dari kebutuhan akan terpenuhi oleh stok produksi dalam negeri,” katanya.

Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi berpendapat, tingginya harga gula nasional dibandingkan harga gula internasional disebabkan industri gula dalam negeri tidak efisien. Oleh karena itu, ia memgusulkan agar pemerintah merevisi Permendag No.117/2015 Pasal 5 (2) tentang perizinan impor untuk memberikan akses bagi pihak swasta yang memenuhi syarat.

“Dalam lima tahun pemerintah sebaiknya merevisi peraturan tersebut untuk membuka importasi kepada pihak swasta juga, tidak hanya BUMN,” kata dia.

Sebelumnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik atau BPS pada bulan Agustus 2018 harga rata-rata gula nasional untuk gula kristal putih mencapai Rp 12.386 per kilogram. Harga tersebut lebih tinggi 3 kali lipat dibandingkan harga dunia Rp 4.591 (International Sugar Organization).

Ia mengatakan peraturan tersebut membuat mekanisme impor berjalan tidak efektif karena memberikan ruang kepada pemerintah untuk mengintervensi pasar. “Intervensi itu dilakukan dengan membatasi impor baik melalui sistem kuota maupun dengan meminimalkan sektor swasta,” katanya.

Menurut dia, kuota impor gula yang diberikan oleh pemerintah tidak sepenuhnya direalisasikan oleh BUMN yang telah mengantongi lisensi. “Importir mengeluhkan kadang lisensi impor yang mereka peroleh didapat saat gula dalam negeri sudah memasuki masa panen,” kata dia.

Saat ini, kata Hizkia, hanya ada 3 atau 4 importir yang memiliki lisensi dalam tiap jangka waktu. Perusahaan tersebut bebas untuk mengontrol pasokan mereka kepada pengecer dan bisa mengendalikan harga gula di pasar. “Itu rentan terhadap praktik kartel dan memblokir masuknya pelaku pasar baru,” ujarnya mengingatkan.

Pakar Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa menegaskan praktik rembesan Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang terjadi saat ini merupakan kesalahan pemerintah sebelumnya. Di mana saat itu sebanyak 11 pabrik gula rafinasi diizinkan berdiri tanpa punya perkebunan tebu.

“Sudah pasti mereka akan meminta kebijakan raw sugar impor, sebab mereka berdiri tanpa memiliki perkebunan,” ujarnya.

Dwi menambahkan, disparitas harga antara gula rafinasi dengan Gula Kristal Putih (GKP) menjadi imbas dari raw sugar impor yang dilakukan pengusaha gula rafinasi. Sehingga gula rafinasi dinilai lebih murah dibandingkan dengan GKP.

“Legal dan ilegal hal tersebut selalu terjadi sebab selain pada pengusaha makanan dan minuman (mamin) gula rafinasi pun dijual di pasar konsumsi,” kata dia.

Selain itu, kata Dwi, indikasi lainnya adalah GKP yang belum mencukupi kebutuhan pasar. Sehingga gula rafinasi masih menjadi pilihan konsumsi di pasar. “Sudah barang tentu apabila ada praktik curang di kalangan pengusaha rafinasi tugas pemerintah untuk menindak. Jangan sampai merugikan para petani tebu,” pintanya. ** SH, NM

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini