Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) bersama Doktor Sadino and Partners (DSP) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepakatan mengenai Advokasi dan Bantuan Hukum bagi petani kelapa sawit.
Penandatangan dilakukan oleh Ketua Umum DPP APKASINDA Gulat ME Manurung dan Direktur Eksekutif DSP Sadino di kantor DSP, 12/1/22 dan disaksikan oleh Sekjen DPP APKASINDO Rino Afrino dan Praktisi Konservasi Kehutanan Petrus Gunarso.
Dalam sambutannya Dr Sadino menyatakan keprihatinannya soal regulasi kehutanan yang kurang adil terhadap petani dan masyarakat kecil. Kehutanan saat ini diklaim hanya milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sehingga banyak regulasi dan aturan yang dibuat sepihak tanpa melibatkan pemangku kepentingan yang lain.
Untuk itu, lanjut Sadino, perlu adanya mekanisme kontrol agar KLHK tidak serampangan dalam membuat keputusan.
Sadino mencontohkan, Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan PP nomor 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan, telah membuat rakyat untuk berperkara dengan Negara.
Sebab menurut Sadino, sederet pasal di PP itu telah mengangkangi hukum dan itu harus dijalani oleh rakyat demi mendapatkan haknya, termasuk membayar denda atas nama keterlanjuran.
“Memang tidak ada lagi yang namanya sanksi pidana. Meski begitu, 65% yang menjadi korban dalam PP itu tetap saja rakyat,” kata Sadino.
Mestinya, PP menghormati hak konstitusional warga negara (hak atas tanah).
“Kalau hak atas tanah itu dihormati sebagai bagian dari implementasi putusan MK 34 tahun 2011, sebenarnya dari 3,4 juta hektar lahan yang disebut berada dalam kawasan hutan itu, minimal 1,6 juta hektar sudah terselesaikan,” ujarnya.
Menurut Sadino, dalam ini sepertinya negara tidak pernah memikirkan living law (hukum yang hidup) yang ada di masyarakat. Padahal living law itu lebih tinggi dari hukum Negara.
Sehingga adanya protes atas PP ini bukan melulu demi sawit, tapi justru oleh hak konstitusional rakyat yang selama ini terbelenggu.
Kalaulah negara selama ini mengikuti kaidah hukum kehutanan dalam menata hutan kata Sadino, sengkarut kawasan hutan tidak akan pernah terjadi.
“Dari tahun 2011 Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memerintahkan supaya kawasan hutan yang masih penunjukan, segera dikukuhkan, tapi itu tidak dilakukan. Sekarang, giliran semuanya kacau, rakyat yang jadi korban,” ujarnya.
PP yang hadir sebagai turunan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) ini kata Sadino adalah produk hukum. Mestinya didasari oleh hukum juga, bukan suka-suka.
Dengan adanya MoU ini, Sadino berharap petani sawit yang selama ini menjadi korban ketidakpastian regulasi bisa mendapatkan pencerahan sehingga bisa berjuang bersama-sama untuk mendapatkan haknya sesuai dengan konstitusi yang ada.
“Apalagi petani sawit sebagai pemilik 42% lahan perkebunan sawit telah memberikan kontribusi yang nyata pada perekonomian bangsa. 42% bukanlah nilai yang kecil, dan itu perlu dilindungi bukan dihilangkan,” tegas Sadino.
Gulat Manurung, Ketua Umum DPP APKASINDO mengapresiasi penandatanganan Mou dengan DSP. Menurutnya, MoU ini adalah bagian dari perjuangan petani kelapa sawit dalam menadapakan haknya.
Gulat berharap, semua pihak bersama-sama turut menjaga keberadaan petani sawit, sebab tanpa dijaga bersama-sama keberadaan petani sawit sudah lama selesai.
Menurut Gulat, potensi petani kelapa sawit sangat besar. Misalnya, saat delegasi Indonesia hadir di Vatikan dalam rangka memperjuangkan eksistensi sawit di Uni Eropa, sempat terkendala, karena ktidak hadiran petani kelapa sawit.
“Vatikan tidak mau terima karena tidak ada petani kelapa sawit yang ikut hadir. Akhirnya, dipanggillah Sekjen APKASINDO Rino Afrino untuk menyusul ke Vatikan. Dan akhrinya diterima, bahkan Kardinal yang menerima perwakilan menyerukan kepada masyarakat Uni Eropa untuk menerima sawit, sebagai komoditas yang mampu mensejahterakan rakyat,” cerita Gulat.
Gulat berharap dengan adanya MoU ini, petani bisa naik klas. Tidak lagi takut ketika menghadapi masalah terkait kebun sawitnya.
“Dengan MoU, petani bebas mengakses berbagai bantuan hukum untuk petani sawit dari Sabang sampai Merauke,” kata Gulat.
Menurut Gulat, ada yang salah negara ini dalam memandang petani Sawit.
“Misalnya, saat minyak goreng naik, ibu-ibu marah sama petani sawit. Padahal urusan minyak goreng adalah urusan industri hilir yang sudah jauh dari jangkauan petani. Petani hanya menanam sawit, sementara bisnis hilirnya dikuasai oleh korporasi,” lanjut Gulat.
Gulat menduga ada tangan-tangan tak nampak yang berusaha membenturkan petani sawit dengan masyarakat.
“Mindset dibangun, petani sawit dibenturkan dengan masyarakat. Sebab, menganggu korporasi sulit dilakukan maka yang dibenturkan petani,” jelas Gulat.
Rino Afrino Sekjen APKASINDO menambahkan, saat ini advokasi terhadap petani kelapa sawit adalah prioritas. Bukan hanya terkait masalah agronomi saja tetapi juga mengenai lahan dan legalitasnya.
Menurutnya, saat ini banyak lembaga bantuan hukum yang menawarkan kerjasama dengan APKASINDO, tetapi pihaknya lebih memilih bekerja sama dengan DSP.
Rino menjelaskan, potensi petani sawit cukup signifikan, baik secara ekonomi maupun politik.
“Terbukti, dalam beberapa pilkada, pilihan petani sawit hampir pasti memenangkan Pilkada. Contohnya di Riau saat Pilgub, dukungan petani sawit sangat signifikan dan mampu memenangkannya,” tegas Rino.
Rino mengakui, petani sawit masih awam terhadap hukum, sehingga terkadang trauma jika ada panggilan dari aparat hukum. Padahal, petani pun ingin menjadi korporasi dalam mengelola kebunnya secara berkelanjutan.
Praktisi konservasi kehutanan Petrus Gunarso berpendapat, komposisi indusri kelapa sawit cukup berimbang. Dimana korporasi dan petani masing-masing menguasai 60% dan 40% lahan perkebunan kelapa sawit.
Hal ini berbeda dengan indutri kehutanan dimana hampir semuanya dikuasai oleh korporasi atau komoditas karet yang dikuasai petani sementara korporasinya hanya sedikit sekali. Industrinya kurang berimbang sehingga sulit berkembang.
Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah memberikan arahan agar memberikan ruang pada masyarakat untuk turut dalam mengelola hutan dalam bentuk perhutanan sosial.
“Sayang perkembangannya sangat lambat karena tak adanya dukungan instansi terkait dan petugas di lapangan. Hal ini karena, KLHK tak mau membuka diri untuk kerja sama dengan pihak lain. Semua dikangkangi sendiri,” kata Petrus.
Kondisi ini menyulitkan bagi KLHK dalam melakaukan tugas-tugasnya dalam mengelola hutan.
“Jangankan mengelola, membuat tata batas saja tak pernah selesai,” pungkas Petrus.