Komoditas kelapa sawit memberikan sumbangan devisa terhadap negara sangat besar, rata-rata pertahun US$ 22-23 miliar. Bahkan ditahun 2021, devisa yang dihasilkan dari ekspor komoditas kelapa sawit mencapai US$ 30 miliar, rekor tertinggi selama ini.
Hal tersebut disampaikan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrahman dalam pembukaan acara ‘Sosialisasi Dampak Penerapan Tarif Layanan BLU BPDPKS Terhadap Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan’ di Kuta Bali, 30/8/2022.
Menurut Eddy, kelapa sawit merupakan komoditas strategis bagi bangsa Indonesia, selain memberikan devisa yang sangat besar, sawit juga menciptakan lapangan pekerjaan. Tak kurang dari 16 juta orang bekerja pada industri kelapa sawit.
“Sebagai komoditas strategis, kelapa sawit menghasilkan devisa yang sangat besar, rata-rata pertahun US$ 22-23 miliar. Selain itu, sawit juga membuka lapangan kerja bagi 16 juta orang secara langsung,” kata Eddy.
Selain itu, lanjut Eddy, industri kelapa sawit juga melibatkan lebih dari 2,4 juta petani atau pekebun (smallholders) yang berkecimpung langsung dan 6 juta orang yang bekerja secara tidak langsung.
Selain itu, industri kelapa sawit juga memberikan sumbangan pemasukan kepada negara cukup besar yang berasal dari Pajak Penghasilan (PPH) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Keluar (BK) atau biasa dikenal dengan Pajak Ekspor (PE) sebesar Rp 20-40 triliun.
Perlu diketahui, untuk meningkatkan produktifitas perkebunan kelawpa sawit, BPDPKS terus mendorong dan memberikan dukungan terhadap program peremajaan sawit rakyat (PSR) dana sebesar Rp30 juta per hektar (ha). Produktivitas kebun kelapa sawit rakyat saat ini tergolong rendah, berkisar 2 hingga 3 ton CPO/ha/tahun padahal perkebunan sawit di Indonesia memiliki potensi yang besar.
Rendahnya produktivitas perkebunan sawit rakyat ini antara lain disebabkan kondisi pertanaman yang sudah tua dan rusak serta sebagian menggunakan benih yang bukan unggul dan bersertifikat. Oleh karena itu perlu dilakukan peremajaan tanaman kelapa sawit dengan menggunakan benih unggul dan bersertifikat.
PSR dilaksanakan dengan memenuhi empat unsur, yakni Legal, Produktivitas, Sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), dan Prinsip Sustainabilitas. Dalam memenuhi unsur legal pekebun rakyat yang berpartisipasi dalam program ini harus mengikuti aspek legalitas tanah.
Unsur sertifikasi ISPO dimaksudkan untuk memastikan prinsip keberlanjutan dalam program ini, yakni peserta program ini difasilitasi untuk mendapatkan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) pada panen pertama. Prinsip sustainabilitas yang dimaksud adalah program dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip keberlanjutan yang meliputi tanah, konservasi, lingkungan, dan lembaga.
Eddy menambahkan, BPDPKS juga diberikan mandat untuk melakukan berbagai program, diantaranya; (1) pengembangan sumber daya manusia perkebunan kelapa sawit, (2) penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, (3) promosi perkebunan kelapa sawit, (4) sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit, dan (5) pengembangan energi terbarukan biodiesel.
Menurut Eddy, untuk mendukung berbagai program tersebut dibutuhkan penghimpunan dana agar BPDPKS bisa mendanai misi-misinya.
“Perlu partisipasi stakeholder sawit untuk membantu pendanaan dengan pengenaan pungutan ekspor (PE). Jadi setiap ekspor CPO akan ada PE untuk membiayai program-program BPDPKS, dengan tarif yang dinasmis sesuai harga di pasar global,” kata eddy.
Dalam kesempatan tersebut juga ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) anatar BPDPKS bersama bank-bank pelat merah yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), Bank Mandiri, BRI, Bank BNI.
Prof. Dr. Almasdi Syahza, SE., MP dari Tim Kajian LPPM Universitas Riau menambahkan, komoditas kelapa sawit memiliki keunggulan dibandingkan dengan komoditas minyak nabati lainnya, seperti kedelai, reepsed, bunga matahari, jagung dan yang lainnya.
“Sawit memiliki produktifitas paling tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya,” kata Prof Almasdi.
Dia menyakini Uni Eropa tidak akan berani meninggalkan sawit, karena dari berbagai sisi sawit memiliki keunggulan dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.
“Jangan khawatir Uni Eropa tidak akan meninggalkan sawit, karena dari berbagai sisi minyak sawit memiliki keunggulan,” kata Prof Almasdi.
Selain mengurangi kemiskinan, sawit menyediakan makanan yang lebih bergizi, minyak kelapa sawit sendiri merupakan bahan pangan penting.
Diperkirakan, pada tahun 2050 jumlah penduduk dunia akan mencapai 10 miliar yang semuanya membutuhkan pangan. Berbagai proyeksi memperhitungkan perlu 200,25 juta ton minyak nabati tambahan untuk membantu menyediakan pangan bagi warga dunia.
Dari mana asalnya? Jika memilih minyak kedelai akan membutuhkan 400 juta hektar lahan pertanian. Jika memilih minyak sawit, hanya membutuhkan 54 juta hektar lahan pertanian.
“Minyak sawit adalah minyak nabati paling serbaguna dan efisien di dunia,” pungkasnya.