Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) menyebut, capaian sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk perkebunan rakyat masih sangat memprihatinkan alias minim.
Padahal, ISPO ini sebagai langkah untuk menyesuaikan kebijakan Antideforestasi (European Union Deforestation Regulation/EUDR) yang akan berlaku mulai akhir tahun ini.
Ketua Gapki, Eddy Martono mengatakan, hingga kini capaian sertifikasi ISPO seluas 4.218.982,25 hektare atau 786 sertifikat dari total luas tutupan sawit 16.381.959 juta hektare.
Dari total tersebut, Eddy melihat capaian sertifikasi ISPO perkebunan rakyat masih sangat memprihatinkan. Sebab, dari total luas sawit rakyat yang ada, baru tersertifikasi 270.809,15 hektare atau 79 sertifikat.
“(Capaian sertifikasi ISPO) perkebunan rakyat ini yang sangat memprihatinkan karena baru 4,03 persen dari total sawit rakyat,” ujar Eddy dalam diskusi publik Ombudsman RI, Senin (27/5).
Capaian ini kalah jauh dari capaian sertifikasi IPSO perusahaan, yang saat ini sudah mencapai 3,948,173,10 hektare atau 707 sertifikat atau 40,84 persen dari total perusahaan, 91 persen merupakan anggota Gapki.
Menurut Eddy, rendahnya capaian ISPO ini, di antaranya karena kendala biaya sertifikasi. Hingga kini, total pekebun yang belum bersertifikai ISPO adalah 6,4 45.794,04 hektare, sedangkan perusahaan 5,717,182,71 hektare.
“Permasalahan di sini adalah ISPO ini butuh dana, utamanya untuk rakyat. Untuk rakyat ini harus ada pendanaannya untuk sertifikasi ISPO dan juga sekretariat ISPO, kami dengar juga tidak ada dana sama sekali di sana,” kata dia.
Penyebab rendahnya capaian ISPO ini juga diakui oleh Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan), Prayudi Syamsuri.
Karena itu, kata Prayudi, Kementan saat ini tengah melakukan review beberapa hal yang menghambat percepatan ISPO sambil menunggu revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang ISPO.
“Ada bebrapa hal yang kita perbaiki dalam hal percepatan. Pertama, indikator-indikator ISPO kami lakukan review sambil menunggu Perpres revisi yang akan hadir,” ujar Prayudi.
“Artinya bahwa kita mencoba restrukturisasi, sehingga hambatan percepatan ISPO baik untuk perusahan maupun untuk perkebunan rakyat kita,” kata Prayudi menambahkan.
Prayudi berharap, dalam waktu dua atau tiga bulan ke depan Indonesia sudah mempunyai Perpes atau Instruksi Presiden (Inpres) terkait dengan ISPO.
“Tentu dalam menghadapi pasar yang tuntutannya semakin besar, harapan kita adalah dalam hal percepatan tugas pemerintah adalah mendorong. Targetnya mandatory ini bisa kita jalankan untuk perusahan dan target untuk pekebun ya empat tahun ke depan mandatory itu bisa kita kejar,” imbuh dia.