Cukup 1 Juta Hektar Lahan, untuk Swasembada Gula Konsumsi dan Industri Nasional

0

Untuk mewujudkan swasembada gula seperti yang ditugaskan oleh Presiden Joko Widodo dalam rapat Kabinet pada 5 Agustus 2021 lalu, sejatinya cukup dengan adanya tambahan lahan 1 juta hektar (ha). Dan sejatinya, lahan itu tersedia.

Hal tersebut disampaikan Direktur Utama Holding PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Mohammad Abdul Ghani dalam diskusi virtual Forum Diskusi Gula Indonesia (FDGI) di Instiper Yokyakarta, 9/12/2022.

Menurut Ghani, adanya ketersedian lahan tersebut diperoleh pada gelaran acara Forum Sawit Indonesia (FoSI) 2022 baru-baru ini yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ruandha Agung Sugardiman. Menurut Ruandha, masih ada lahan yang bisa dikonversi seluas 14 juta hektar (ha).

Saat ini, lanjut Ghani, kecukupan antara produksi dan kebutuhan masih menjadi isu terkait pemenuhan gula nasional. Dimana produksi baru mencapai 2,3 juta ton sementara kebutuhan mencapai 6,7 juta ton sehingga tidak mengherankan jika Indonesia menjadi negara importir gula terbesar di Dunia.

Ghani juga menyebutkan bahwa kunci pemenuhan gula dalam negeri adalah, penambahan lahan dan memperbaiki serta mendorong peningkatan produktivitas petani di tengah kian berkurangnya lahan tebu.

Apalagi, kata Ghani, pihaknya juga telah mendapat jaminan dari Kementerian Perdagangan bahwa BUMN gula akan diperlakukan sama dan setara dengan industri gula dari sektor swasta.

Gani mengatakan pihaknya tidak akan menyalahkan pengelolaan perkebunan nusantara sebelumnya dengan segala dinamikanya selama 10 tahun yang lalu.
Dia juga berjanji akan membedayakan para petani tebu yang menjadi penyumbang terbesar untuk pabrik gula.

“Karena itu, kami ingin memberdayakan para petani dengan mengusahakan kesejahteraan mereka biar mereka bisa tenang menanam tebu. Inilah yang akan kami lakukan agar para petani bisa tenang bekerja. Semoga berkat dukungan berbagai pihak para petani tebu bisa kita berdayakan,” ujarnya.

Sementara, jika program etanol 50 persen, dengankebutuhan etanol sebesar 17,5 juta kilo liter diperlukan 3 juta ha lahan tebu.

“Jika sebagian lahan tersebut bisa di konversi menjadi perkebunan tebu, cerita soal impor gula bisa berakhir,” kata Ghani.

Selain itu, perlu menata ulang ekositem gula. Jika melihat entitasnya hanya sekitar 30-an, namun jika melibatkan petani maka akan banyak sekali.

“Ekosistem gula domestik sudah saatnya harus ditata ulang dengan menempatkan petani tebu sebagai subyek yang harus diberdayakan sehingga bisa meningkat kesejahteraanya,” ujar Ghani.

Menurut Abdul Ghani, revitalisasi industri gula tidak mungkin dapat tercapai tanpa memperhatikan petani. Revitalisasi industri gula tanpa memperhatikan petani merupakan kebijakan absurd.

Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1930 industri gula di Pulau Jawa atau Hindia Belanda saat itu mampu menghasilkan 2,9 juta ton gula.

“Suatu capaian yang belum pernah kita lewati sampai saat ini,” tukas Ghani.
Pada saat itu, lanjut Abdul Ghani, dengan hanya luas lahan 197 ribu hektar, Pulau Jawa mampu menghasilkan produksi 15 ton per Ha/tahun.

“Kalau kita lihat tahun ini dengan luas areal seitar 420 ribu hektar kita mungkin hanya mampu mencapai produksi 2,1 atau 2,2 juta ton gula atau setara dengan produktivitas 5 ton per hektar. Maknanya produktivitas hari ini adalah sepertiga produktivitas tahun 1930,” paparnya.

Sementara Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan Kemenko Perekonomian, Moch. Edy Yusuf menyebutkan, perlunya harmonisasi stakeholder gula untuk membangun kemandirian gula nasional. Tanpa adanya sinergi maka pengembangan tebu nasional tidak maksimal.

Sinergi tersebut meliputi, Pertama, harus ada kesepemahaman seluruh stakeholder soal pentingnya swasembada gula dan pentingnya pembangunan pabrik gula (PG) terintegrasi dengan memproduksi bioetanol untuk menjawab isu krisis pangan dan energi akibat perubahan iklim dan situasi geopolitik global yang memanas akhir-akhir ini.

Selanjutnya, membangun pemahaman penambahan luas lahan tebu 700 ha yang dimaksud, yaitu dari luas eksisting 482.399 ha akan terjadi penambahan 700 ha menjadi sekitar 1.182.399 ha. Yang didukung oleh PG BUMN maupun swasta untuk mewujudkannya. Partisipasi yang dilakukan BUMN sebesar 70% dari penambahan luasan dan sisanya dilakukan oleh swasta.

“Dan membangun pemahaman terkait capaian target yang dimaksud, yaitu swasembada gula konsumsi tahun 2028 dan gula industri tahun 2030 beserta roadmap milestone yang harus dilalui per tahun,” kata Edy.

Kedua, penyusunan Draft Perpres Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).

“Rapat koordinasi dilakukan dengan melibatkan berbagai stakeholder, yaitu Kementerian Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, KLHK, Kementerian BUMN, PTPN III Holding, Kementerian ATR/BPN, Badan Pangan Nasional, dan Perhutani,” jelas Edy.

Dan dilanjutkan, rapat koordinasi kebijakan perluasan lahan tebu seluas 700.000 ha, yang diagendakan dilakukan secara rutin setiap minggu untuk memantau perkembangan progressnya. Nantinya akan ada tim koordinator untuk penambahan luas dari PG-PG BUMN maupun penambahan luas dari PG-PG swasta.

“Perencanaan penambahan luas lahan yang disesuaikan juga dengan perhitungan dan perencanaan penyediaan bibit tebu yang diperlukan bekerjasama dengan P3GI,” pungkasnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini