Strategi membatasi ekspor akan memangkas devisa sawit di triwulan pertama tahun ini. Bukan itu saja, negara produsen sawit lain juga diuntungkan.
Kementerian Perdagangan memilih strategi mengunci ekspor sawit. Strategi ini digunakan untuk menjamin ketersediaan bahan baku di dalam negeri. Oke Nurwan, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan RI, menjelaskan DMO minyak goreng digunakan pemerintah supaya stok bahan baku untuk minyak goreng terpenuhi di dalam negeri. Memang kebijakan ini memprioritaskan pasokan dalam negeri dibandingkan ekspor. Itu sebabnya, eksportir diminta mengalokasikan 20% dari total jumlah ekspornya
“Jika tidak bisa dipasok ke dalam negeri. (Kemendag) akan kunci ekspornya. Kalau 20 persen penuhi DMO baru dibuka pintu ekspornya,” ujar Oke saat menjadi pembicara dalam diskusi INDEF pada awal Februari 2022.
Oke menjelaskan aturan DMO-DPO lebih efektif dibandingkan kebijakan minyak goreng murah dan satu harga. Pada awal Januari, Kemendag telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 1 tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Sederhana untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Namun, Permendag Nomor 1/2022 tidak lagi berlaku. Selanjutnya aturan ini digantikan Permendag Nomor/2022 sebagai payung kebijakan minyak goreng satu harga untuk seluruh kemasan seharga Rp 14.000/liter.
Di awal pemberlakukan DMO-DPO, kalangan eksportir memang terlihat mengambil sikap wait and see. Hal ini diamini Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad yang mengatakan ada kecenderungan produsen minyak goreng untuk menahan ekspor (wait and see).
“Karena dikunci (untuk ekspor). Selain itu harganya disesuaikan dengan harga DMO, harga di domestik jauh lebih rendah untuk kebutuhan DMO,” ujar Tauhid.
Menurutnya sikap menahan ekspor inilah yang mengakibatkan ketersediaan minyak goreng kian menipis. Karena produsen menahan ekspor, maka pasokan minyak goreng ke pabrik atau industri Crude Palm Oil (CPO) di dalam negeri menjadi tidak tersedia. Kondisi itu juga menyebabkan industri CPO mengurangi pembeliannya kepada petani.
“Ke depan, DMO-DPO ini berpotensi menekan dan cenderung sudah dibaca oleh market bahwa harga akan menjulang tinggi,” paparnya.
Kekhawatiran Tauhid Ahmad ini sangatlah beralasan. Pasalnya, izin ekspor CPO dan olein belum diterbitkan Kemendag semenjak 24 Januari sampai minggu pertama Februari. Dampaknya, penerimaan bea keluar dan pungutan ekspor mengalami penurunan.
Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI, mengakui ekspor Januari dan Februari 2022 bakalan turun dari segi volume. Pada Januari 2022, volume ekspor CPO dan produk turunan diperkirakan 2,1 juta ton. Terdiri dari 178 ribu ton produk CPO dan 1,9 juta ton produk hilir
“Biasanya volume ekspor sekitar 3 jutaan ton setiap bulan. Tapi akibat DMO, ekspor bakalan turun. Pada Februari, volume ekspor diperkirakan anjlok sekitar 1,6 juta ton. Ekspor ini terdiri dari CPO 137 ribu ton dan produk hilir sekitar 1,5 juta ton,” jelasnya.
Dijelaskan Sahat, tidak semua eksportir memiliki bisnis terintegrasi dari hulu sampai hilir. Jika ini yang terjadi, mereka akan kesulitan ekspor karena harus mencari alokasi 20% minyak goreng
Dampak lainnya terhadap ekspor dijelaskan Tauhid, akan berdampak pada pungutan ekspor sawit yang tahun lalu mencapai sekitar Rp70 triliun. Sebab, dana pungutan ekspor ini bergantung kepada penjualan CPO dan produk turunannya ke negara lain.
Sementara itu, Peneliti Indef Rusli Abdullah menjelaskan bahwa kebijakan DMO itu dipastikan akan memangkas suplai sawit ke pasar dunia. Dampaknya adalah harga CPO global akan terus meningkat sebagai dampak berkurangnya pasokan itu. “Adanya DMO untuk CPO ini akan menahan ekspor otomatis pasokan ke dunia berkurang. Kebijakan ini berpeluang mendongkrak harga CPO dunia,” ujarnya.