FoSI 2022: Dibutuhkan Badan Otonomi Khusus untuk Kelola Sawit

0

Untuk mewujudkan birokrasi yang lebih terintegrasi, sinergis dan tidak bersifat ego sektoral dalam mencetuskan kebijakan untuk pengembangan sawit nasional ke depan maka perlu dibentuk suatu lembaga atau badan otonom khusus yang mempunyai kewenangan yang kuat dalam penyelenggaraan perkelapasawitan Indonesia.

Salah satu anugerah terbesar dari Tuhan untuk Indonesia adalah tanaman kelapa sawit. Bagi Indonesia, tanaman sawit memiliki arti penting, selain menciptakan kesempatan kerja untuk kesejahteraan masyarakat, sawit juga sumber devisa negara serta menjaga lingkungan dan kesehatan.

Hal itu disampaikan Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis berkelanjutan (FP2SB), Achmad Mangga Barani pada Forum Sawit Indonesia (FoSI) 2022 yang diadakan di Grha Instiper Yogyakarta, baru-baru ini.

Menurut Mangga Barani, tidak hanya pada aspek ekonomi, industri kelapa sawit juga turut serta dalam pembangunan aspek sosial. Dimana dengan adanya industri kelapa sawit banyak menyerap tenaga kerja, baik di hulu hingga hilir serta pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di kawasan pedesaan dapat meningkatkan kapasitas perekonomian daerah pedesaan dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja di kawasan pedesaan.

“Melihat dari fakta diatas, bisa dikatakan bahwa kelapa sawit merupakan lokomotif pembangunan Indonesia pada beberapa aspek seperti ekonomi, lingkungan, sosial dan kesehatan. Akan tetapi masih banyak sekali persepsi negatif tentang kelapa sawit yang berkembang di masyarakat,” kata Mangga barani.

Untuk menjaga dan mempertahankan keunggulan sawit perlu adanya penyempurnaan dalam berbagai hal, terutama soal regulasi.

Menurutnya, aturan atau regulasi dapat menjadi pegaangan bagi pelaku usaha baik dalam melakukan budidaya maupun tata niaganya. Tiga tahun lalu, lanjutnya, stakeholder sawit telah merancang UU Perkelapasawitan atas inisiatif DPR. “Jangan sampai ada pelaku usaha yang dipanggil kejaksaan lagi,” katanya.

Permasalahan yang ada saat ini, kata Mangga barani, berupa tumpang tindih dan inkonsistensi pada regulasi dan kebijakan terkait perkelapasawitan Indonesia. Kemudian, regulasi dan kebijakan yang dibuat belum sepenuhnya memperhatikan karakter dan kondisi perkelapasawitan Indonesia secara komprehensif dan holistik.

Selanjutnya, regulasi dan kebijakan yang dibuat belum terintegrasi dan saling tersinergi, masih

cenderung bersifat sektoral dan belum memiliki proyeksi kebijakan yang sinergis dalam jangka waktu yang panjang.

Mangga Barani mencontohkan, pelepasan kawasan hutan dalam perkebunan kelapa sawit pekebun, meskipun telah terbit Inpres No. 6 Tahun 2019 tentang RAN KSB, tetapi belum menyelesaikan persoalan. Kemudian, peremajaan sawit rakyat masih banyak menghadapi kendala.

Kemudian, permasalahan birokrasi di masing-masing kementerian/lembaga/institusi terkait perkelapasawitan Indonesia, di dalam beberapa hal masih menunjukkan ego sektoral dan belum bersinergi dengan baik.

“Akibatnya regulasi, kebijakan dan program yang dibuat dan dijalankan terkesan tidak bersifat holistik dan saling mendukung,” tegas Mangga Barani

Sebenarnya sudah ada solusi yang baik, misalnya, terbitnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Awalnya diharapkan dapat memberikan solusi konkret terkait hambatan atau permasalahan regulasi dan kebijakan dalam perkelapasawitan Indonesia, namun hal tersebut belum sepenuhnya dapat tercapai dimana belum terwujud simplifikasi, integrasi, harmonisasi dan sinergitas.

“Oleh karenanya, pemetaan dan evaluasi regulasi dan kebijakan perkelapasawitan Indonesia perlu terus dilakukan guna mewujudkan simplifikasi, integrasi, harmonisasi dan sinergitas dalam pengaturannya,” jelasnya.

Untuk itu, lanjut Mangga Barani, diperlukan saran atau rekomendasi guna mewujudkan simplifikasi, integrasi, harmonisasi dan sinergitas dalam regulasi dan kebijakan terkait perkelapasawitan Indonesia, yaitu melalui unifikasi semua pengaturan terkait perkelapasawitan Indonesia dalam suatu undang undang, yang nantinya dapat disebut dengan UU Perkelapasawitan.

Mengingat regulasi dan kebijakan yang ada saat ini masih terdapat inkonsistensi bahkan bertentangan satu dengan lainnya yang menimbulkan ketidakpastian hukum.

Menurut Mangga Barani, UU Perkelapasawitan diharapkan juga sebagai instrumen hukum yang mampu menjawab berbagai isu, masalah, hambatan dan tuntutan dalam pengelolaan kelapa sawit Indonesia,  sekaligus meningkatkan daya saingnya pada saat ini dan ke depan.

“Materi muatan harus mengakomodasikan kepentingan dari perspektif hukum, ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan hidup,” jelasnya.

Sementara untuk mewujudkan birokrasi yang lebih terintegrasi, sinergis dan tidak bersifat ego sektoral,  perlu dibentuk suatu lembaga atau badan otonom dan khusus yang mempunyai otoritas/kewenangan yang kuat dalam penyelenggaraan perkelapasawitan Indonesia.

“Badan ini dapat dinamakan Badan Pengelola Perkelapasawitan Indonesia (BPPI) yang berkedudukan langsung di bawah Presiden dan mempunyai kewenangan utama: mengatur, mengkoordinasikan dan melaksanakan tata kelola perkelapasawitan dari hulu hingga hilir termasuk perizinannya,” papar  Mangga Barani.

Badan ini, diharapkan juga dapat mengawal secara penuh implementasi regulasi dan kebijakan perkelapasawitan Indonesia yang ada sehingga lebih efektif dan efisien.

Selanjutnya dalam rangka menuju Sawit Indonesia 2045, perlu dukungan penuh dari pemerintah melalui regulasi, kebijakan dan birokrasi yang lebih tersimplifikasi, terintegrasi, harmonis dan sinergi.

Sementara, lanjut Mangga Barani, untuk pengembangan perkelapasawitan Indonesia harus diarahkan pada pola intensifikasi dan kemitraan usaha dengan mengedepankan peranan kelapa sawit pekebun (rakyat), pengembangan teknologi, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

“Harapan akhirnya, terwujud sistem perkelapasawitan Indonesia yang berkelanjutan dan berdaya saing,” katanya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini