Forum Sawit Indonesia (FoSI) 2022 memiliki peranan strategis dalam meningkatkan daya saing komoditas kelapa sawit. Targetnya, memberikan masukan terkait kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mendukung pengembangan daya saing dan keberlanjutan industri kelapa sawit menuju Sawit Indonesia 2045.
Hal ini diungkapkan Eddy Abdurrachman, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) saat menjadi pembicara Forum Sawit Indonesia (FoSI) 2022, di Grha Instiper Yogyakarta, Selasa (29 November 2022).
“FoSI 2022 ini sangat penting untuk membahas arah industri sawit Indonesia ke depan. Dimana kita semua bisa mengkaji dan merumuskan kebijakan yang diperlukan untuk industri sawit Indonesia yang berkelanjutan. Dengan semangat gotong royong dan menghadirkan ahli dan perwakilan dari setiap elemen di industri kelapa sawit,” ujar Eddy.
Menurutnya, FoSI 2022 yang mengambil tema “Sawit Indonesia Menuju 2045”, sangatlah tepat sebagai forum diskusi kritis perkelapasawitan. Target dari forum ini diharapkan dapat memberikan masukan terkait kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mendukung pengembangan daya saing dan keberlanjutan industri kelapa sawit menuju Sawit Indonesia 2045.
“Melalui kontribusi semua pihak, forum ini akan dapat mengkaji kebijakan yang ada, implementasi kebijakan dan bahkan mengusulkan kebijakan baru jika diperlukan,” jelasnya.
Untuk diketahui, kegiatan FoSI 2022 ini fokus untuk membahas arah industri sawit Indonesia kedepan dan merupakan wujud pelaksanaan tugas Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam melakukan pengembangan kelapa sawit berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 juncto Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018, bekerjasama dengan Pusat Sains Kelapa Sawit (PSKS) INSTIPER Yogyakarta.
Menurut Eddy, dalam perjalanan sebagai sebuah bangsa, Indonesia pernah menjadi produsen nomor satu berbagai komoditas yang menjadi kebutuhan dunia. Indonesia pernah dikenal sebagai produsen nomor satu Rempah-Rmpah, kita pernah produsen nomor satu Gula, kemudian Cengkeh, Karet.
“Namun saat ini, kejayaan atas komoditas-komoditas tersebut telah meredup. Penyebabnya beragam, karena produktivitas yang menurun, hantaman isu negatif, inovasi dan riset yang minim, kalah bersaing dengan produk subtitusi, tidak adanya diversifikasi produk, dan sebagainya,” kata Eddy.
Eddy berharap bahwa Indonesia saat kembali menjadi produsen Kelapa Sawit terbesar di dunia, dan menjadi tantangan bagi kita semua agar kejadian serupa tidak terulang terhadap komoditas ini.
“Saya mengajak semua pihak untuk mengambil peran dalam menjaga eksistensi komoditas kelapa sawit agar terus memberikan sumbangsih besar bagi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia maupun Internasional,” katanya.
Menurut Eddy, kelapa sawit bukan hanya berjasa dari aspek ekonomi, tapi juga dari aspek sosial dan pemersatu bangsa. Tanpa adanya sawit, tentu banyak kemungkinan terjadi akibat gejolak dan peristiwa dunia yang ujung-ujung nya adalah gangguan hubungan sosial dan ketertiban di masyarakat.
Terbukti juga industri kelapa sawit menjadi penolong perekonomian Indonesia dalam menghadapi Covid-19 dan pasca masa-masa sulit Covid tersebut, sehingga dampak sosial akibat guncangan ekonomi dunia tidak terjadi di Indonesia.
“Bahkan di luar negeri pun kelapa sawit Indonesia menjadi penyelamat bagi negara-negara yang terimbas perang Rusia – Ukraina untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka,” terang Eddy.
Eddy menambahkan, hasil analisa Bank Dunia menyatakan seluruh negara-negara di warning untuk waspada di 2023 karena badai krisis ekonomi dunia akan melanda. Namun dengan keyakinan tinggi dari berbagai analis ekonomi dunia, Indonesia akan selamat dari badai tersebut dan salah satu penyebabnya adalah karena adanya industri hulu-hilir sawit Indonesia.
“Tentunya hal ini perlu kita terus jaga dan jadikan dasar pemikiran bersama agar keberlangsungan industri kelapa sawit dan ekonomi Indonesia kita tercinta,” katanya.
Selanjutnya Eddy menjelaskan, sebagai komoditas strategis, kelapa sawit berperan besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik dari aspek ekonomi, sosial, dan ketahanan energi. Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit di dunia.
Produk kelapa sawit dan turunannya telah di ekspor ke seluruh penjuru dunia dan merupakan komoditas penghasil devisa ekspor terbesar bagi Indonesia. Pada tahun 2019, nilai ekspornya (diluar produk Oleokimia & Biodiesel) mencapai USD 15,57 milyar (data BPS) setara kurang lebih Rp 220 trilyun, melampaui nilai ekspor dari sektor migas maupun sektor non migas lainnya.
“Di masa pandemi Covid-19, sektor sawit juga terbukti mampu bertahan dan tetap menyumbangkan devisa ekspor sekitar USD 13 milyar sampai dengan Agustus 2020, ditengah lesunya sektor-sektor penghasil devisa lainnya seperti migas, batubara, dan pariwisata,” jelasnya.
Perkebunan dan Industri sawit juga membuka jutaan lapangan kerja di dalam negeri baik untuk petani sawit, pekerja pabrik, dan tenaga kerja lainnya di sepanjang rantai produksi kelapa sawit dari kebun sampai dengan menjadi produk akhir. Tercatat kurang lebih 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 16 juta tenaga kerja tidak langsung yang diserap oleh sektor sawit.
Sawit telah berkontribusi pula menjadikan Indonesia sebagai produsen Biodiesel, energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dibandingkan fossil fuel, yang bahan bakunya berasal dari minyak sawit. Biodiesel sawit tersebut, melalui pencampuran dengan minyak Solar dalam bentuk B-30, telah kita gunakan sebagai bahan bakar, sehingga mengurangi ketergantungan negara kita atas impor minyak bumi sekaligus mengurangi defisit neraca perdagangan di sektor migas.
“Produk-produk sawit pun telah mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Yang familiar bagi kita semua mungkin adalah Minyak Goreng dari sawit, namun sesungguhnya konsumsi minyak sawit dan turunannya lebih luas dari itu,” kata Eddy.
Minyak sawit ada dalam produk sabun, shampoo, deterjen, lipstick, produk kosmetik, personal care, roti, coklat, biskuit, krimer, margarin, susu formula bayi dan lain-lain. Penggunaan minyak sawit dan turunannya, yang merupakan minyak nabati dengan produktivitas tertinggi, menjadikan produk-produk tersebut dapat digunakan oleh segenap kalangan masyarakat kita dengan harga yang relatif terjangkau.