Industri pengolahan kakao dinilai masih bakal terus tumbuh dan berkembang, karena produknya telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat saat ini. Produk kakao juga bisa didorong pengembangannya seperti kopi, yakni adanya kafe cokelat.
Pemerintah telah menetapkan industri pengolahan kakao sebagai salah satu sektor yang diprioritaskan pengembangannya sesuai Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035.
“Apalagi industri pengolahan kakao juga merupakan bagian dari industri makanan dan minuman yang menjadi andalan dalam Roadmap Making Indonesia 4.0. Sektor ini juga banyak melibatkan industri kecil dan menengah (IKM),” kata Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto pada acara Peringatan Hari Kakao Indonesia tahun 2019 di Jakarta, baru-baru ini.
Menperin menegaskan, pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao nasional diarahkan untuk menghasilkan bubuk cokelat atau kakao, lemak cokelat atau kakao, makanan dan minuman dari cokelat, suplemen, pangan fungsional berbasis kakao, serta kosmetik dan farmasi.
Saat ini, Indonesia merupakan negara pengolah produk kakao olahan ke-3 dunia setelah Belanda dan Pantai Gading.
“Sekarang industri pengolahan kakao kita telah menghasilkan produk cocoa liquor, cocoa butter, cocoa cake, dan cocoa powder,” ujarnya.
Pada tahun 2018, produk-produk tersebut mayoritas (85%) diekspor sebanyak 328.329 ton dengan menyumbang devisa hingga US$ 1,13 miliar, sedangkan produk kakao olahan yang dipasarkan di dalam negeri sebesar 58.341 ton (15%).
“Sebagai salah satu negara produsen biji kakao, Indonesia telah mempunyai 20 perusahaan industri pengolahan kakao. Kami terus mendorong peningkatan utilisasinya, seiring juga memacu produktivitas biji kakao di dalam negeri untuk menjaga pasokan bahan bakunya,” papar Airlangga.
Menurut data International Cocoa Organization (ICCO), Indonesia menempati urutan ke-6 sebagai produsen biji kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading, Ghana, Ekuador, Nigeria, dan Kamerun dengan volume produksi mencapai 220.000 ton sepanjang tahun 2018.
“Untuk mengembangkan industri pengolahan kakao dan meningkatkan nilai tambahnya, pemerintah mendorong pengembangan industri hilir kakao yaitu makanan berbasis kakao dan cokelat,” katanya.
Salah satu langkah yang dilakukan adalah mendorong promosi produk olahan kakao dan cokelat Indonesia guna meningkatkan konsumsi dalam negeri.
Lebih lanjut diungkapkan bahwa industri pengolahan kakao dinilai masih bakal terus tumbuh dan berkembang, karena produknya telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat saat ini.
“Contohnya seperti kopi, bisa juga didorong kafe khusus cokelat. Oleh karena itu, harus terus kita dorong sektornya. Sebab, Indonesia punya potensi yang sangat besar,” ungkap Airlangga.
Industri kakao sedang mengalami kekurangan biji kakao. Berdasarkan data dari International Cocoa Organization (ICCO), produksi biji kakao Indonesia sebesar 240.000 ton di tahun 2018. Sementara, kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan kakao nasional diprediksi sebesar 793.802 ton.
Oleh karena kekurangan pasokan biji kakao dalam negeri, industri pengolahan kakao memerlukan impor.
Menurut data dari Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), impor biji kakao sepanjang tahun 2018 sebesar 239.377 ton naik 5,63% dari tahun sebelumnya yang sebesar 226.613 ton.
Sementara itu, data dari Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) menyebutkan, hingga semester I 2019 impor biji kakao mencapai 128.427 ton, turun 4% year on year (yoy) dari sebelummya 134.423 ton.
Dijelaskan oleh Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Mogadishu Djati Ertanto, selama ini impor biji kakao dikenakan bea masuk sebesar 5%, PPN 10%, dan PPH 2,5%, sehingga total beban pajak untuk industri sebesar 17,5%.
Sementara, produk kakao olahan asal ASEAN yang masuk ke Indonesia bea masuknya 0% sejak berlakunya AFTA. Regulasi ini tertuang dalam PMK No.6/PMK.010/2017 tentang pengenaan tarif bea masuk impor atas biji kakao. ***SH, NM, TOS