Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) belum diakui dunia, padahal sudah mengalami perbaikan, penguatan, dan perubahan signifikan dari awal sejak dirumuskan bersama oleh pemerintah Indonesia.
Hal tersebut disampaikan ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan dalam diskusi Masa Depan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) Menuju Pengakuan Internasional, Senin (7/6).
Menurut Fadhil, kalangan industri sawit harus mau mengakui bahwa ISPO belum diakui dunia, terutama negara-negara yang mengharapkan adanya sustainability dalam praktik pengolahan sawit.
Fadhil menyayangkan hal itu, sebab, skema ISPO atau pratik berkelanjutan ini bisa menjadi jalan tengah dari pro dan kontra terhadap sawit. Sebab di satu sisi ada yang anti sawit karena telah menimbulkan berbagai dampak, tetapi di sisi lain sawit ini merupakan sektor atau komoditas produk andalan yang dibutuhkan oleh negara.
“Dalam upaya untuk bisa mengakomodasi dua hal yang bertentangan tersebut, maka skema berkelanjutan ini yang seharusnya diakui oleh skala internasional. Ini bisa menjadi jalan tengah ini yang sebenarnya kita harapkan,” jelasnya.
Oleh karena itu, dirinya mendorong agar ISPO bisa diterima di dunia. Namun untuk mendapatkan pengakuan, tentu dia memahami ada syarat-syarat tertentu yang harus ditempuh oleh Indonesia. “Tentunya dengan suatu syarat-syarat tertentu. Kita mengetahui syarat-syarat itu telah dilalui dilakukan oleh ISPO, tetapi bagaimana caranya setelah itu,” jelasya.
Untuk merespon tantangan global dan tuntutan pasar Indonesia, sejak 2011 Pemerintah Indonesia meluncurkan pedoman perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia atau ISPO, yang kemudian diperbarui menjadi sistem sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan. Pada 2020 ISPO diperkuat standarnya dan dimandatkan wajib bagi seluruh perusahaan dalam perkebunan melalui Perpres nomor 44 tahun 2020.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Dedi Junaedi mengatakan, sebanyak 70 persen produk sawit Indonesia sudah dipasarkan di dunia.
Hal ini tentu sejalan dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Saat ini sebanyak 70 persen produk sawit Indonesia sudah dipasarkan di pasar dunia,” ujarnya.
Dia mengatakan kinerja kelapa sawit yang cukup bagus tersebut harus dijaga dan ditingkatkan lagi daya saingnya di pasar dunia, agar semakin baik. Oleh karenanya tata kelola perkebunan kelapa sawit berkelanjutan harus terus tingkatkan dan diperkuat melalui regulasi sertifikasi ISPO.
Berdasarkan catatan Kementan hingga 31 Desember 2020 lalu terbit sebanyak 750 sertifikat ISPO. Di mana sebanyak 735 sertifikat diberikan kepada perusahaan PT PN dan swasta. Sementara sisanya diberikan bagi para pekebun sawit.
Dedi mengatakan dalam rangka meningkatkan penerimaan sertifikasi ISPO dari pasar internasional, indikator ISPO ini juga dikaitkan dengan 17 indikator Sustainable Development Goals (SDGs). “Sejauh kita sudah mengindentifikasi terdapat 12 indikator dari SDGs ini yang relevan dengan prinsip dan kriteria indiktor ISPO,” ujar Dedi yang menjadi pembicara dalam acara Indef tersebut.
Dedi mengatakan saat ini sudah terdapat 15 lembaga sertifikasi ISPO yang sudah terakreditasi sebagai tindak lanjut dari Peraturan Kementerian Pertanian No.38 tahun 2020. Selain itu, juga ada 7 lembaga pelatihan ISPO dan 1.893 auditor ISPO.
Dia menambahkan, di tengah pelambatan ekonomi sektor pertanian pada 2020 masih tunbuh positif sebesar 1,75 persen. DI mana kepala sawit menjadi salah satu kontributor utama yang masih memberikan sumbangsing terhadap PDB Indonesia.
“Pada tahun 2020 kinerja nya untuk ekspor meningkat naik 13,6 persen nilainya tentu ini sesuatu hal yang membanggakan bagi kita semuanya,” tandasnya.
Direktur Eksekutif Indef, Taufik Ahmad mengatakan, tantangannya adalah bagaimana standar ISPO ini bisa diterima oleh dunia internasional baik dari lembaga-lembaga sertifikasi sawit internasional maupun dari negara tujuan ekspor.
“Tentu saja kita sangat berkeinginan ISPO ini menuju pengakuan internasional, tentu banyak tantangan yang dihadapi, karena beberapa negara melihat perkembangan sawit di Indonesia sudah ada kemajuan, namun beberapa prasyarat lingkungan masih menjadi tantangan yang tentu harus kita selesaikan,” ujar Taufik.
Menurut Haskarlianus Pasang, Deputy Director PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT SMART Tbk), penerimaan sertifikasi ISPO oleh dunia internasional harus dimulai dari dalam negeri sendiri. Produk bersertifikat ISPO harus didorong menjadi produk pilihan di pasar domestik.
“Karena kalau kita bicara terlalu kencang di luar, dan ini kami alami ketika kami menawarkan produk. Pertanyaannya adalah apakah di dalam negeri, ada yang beli produk ISPO? Saya dengan malu-malu mengatakan bahwa kita sedang menuju kepada satu visi besar, bahwa ISPO adalah produk dalam negeri dan kita terus mendorong untuk mencintai ISPO sebagai produk dalam negeri,” ujar Haskarlianus.
Selain menjadi produk pilihan pasar dalam negeri, untuk meningkatkan penerimaan internasional, menurut Haskarlianus, produk sawit Indonesia juga harus menjadi solusi atas masalah dunia seperti masalah pangan dan dekarbonisasi.
“Pimpinan kami beberapa waktu yang lalu berbicara bahwa bagaimana kalau palm oil itu feed the world. Ini perlu kita kembangkan. Ada banyak saudara-saudara kita di belahan dunia ini yang memiliki masalah nutrisi. Kenapa kita tidak bidik wilayah itu untuk menjadi sasaran produk kita dengan label ISPO sehingga dunia melihat bahwa kita datang membawa solusi,” ujarnya.
Sektor sawit Indonesia masih berkutat dengan tekanan Eropa. Uni Eropa telah mengeluarkan regulasi turunan Pedoman Energi Terbarukan yang dikenal sebagai RED II (Renewable Energy Directive II), Kebijakan ini memasukkan kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan atau deforestasi. Uni Eropa juga meyakini impor biodiesel dari Indonesia menjadi ancaman bagi industri biodisel berbahan nabati lain, seperti kedelai.
Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Josep Borrell, dalam kunjungan ke Jakarta beberapa hari lalu menyebut, persoalan keberlanjutan atau sustainability industri kelapa sawit terutama terkait lingkungan, harus diselesaikan bersama terlebih dahulu. Indonesia, melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, meminta Uni Eropa bersikap lebih adil.
Sebagai produsen sawit global, Indonesia harus memahami bahwa konsumen saat ini telah menetapkan standar bagi produk yang dihasilkan.
Emil Satria, Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, Kementrian Perindustrian menegaskan, standar itu berlaku di industri hulu maupun hilir.
“Konsumen produk industri hilir minyak sawit global semakin sadar akan pentingnya aspek keberlanjutan. Sehingga sustainability palm oil product ini akan menjadi determine value untuk memenangkan pasar kita di masa yang akan datang,” kata Emil.
Di sektor hulu, Indonesia sudah memiliki Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2020 dan Peraturan Menteri Pertanian nomor 38 tahun 2020. Sedangkan untuk industri hilir sawit, ISPO baru akan dirancang dalam bentuk peraturan menteri perindustrian. Selama ini, sawit di sektor hilir digunakan sebagai bahan baku industri makanan, bahan bakar, kimia dan fiber.
ISPO Menjadi Jawaban
Diah Suriadiredja, dari Yayasan Kehati juga mengakui, Indonesia menghadapi tekanan global dari berbagai pihak, mulai dari Lembaga Swadaya Masyarakat hingga negara-negara konsumen terutama Uni Eropa, terkait sawit.
“Tekanan ini kalau dilihat dari Kehati, sebagai civil society, saya pikir ini sebuah tekanan yang membuat kita bersama-sama bangkit, membenahi sawit yang memang sudah menjadi potensi Indonesia,” kata Diah.
Satu hal yang cukup menggembirakan adalah bahwa Indonesia menanggapi tekanan tersebut melalui ISPO. Presiden sendiri langsung mengeluarkan peraturan yang memungkinkan sebuah sistem verifikasi yang menjadi sebuah tanggung jawab lintas kementerian dan lembaga.
Ada lima area yang diperbaiki melalui ISPO ini. Pertama, menurut Diah, adalah pengambilan keputusan dan penerbitan sertifikat yang dilakukan pihak ketiga yang independen. Strategi ini menjawab keraguan mengenai independensi dan transparansi. Kedua, kompetensi auditor yang melakukan tugas diukur melalui sertifikat kompetensi. Area ketiga adalah bahwa ISPO diberlakukan tidak hanya bagi perusahaan perkebunan besar, tetapi juga pekebun kecil.
“Ada komitmen bahwa sertifikasi bagi pekebun ini akan diberi waktu lima tahun,” kata Diah.
Area keempat perbaikan juga dilakukan dengan pelibatan masyarakat sipil dalam kelembagaan ISPO, dan yang terakhir sistem ini telah menerapkan mekanisme keluhan yang lebih jelas. Sedangkan tantangannya, kata Diah, adalah bagaimana menerapkan ISPO bagi petani atau pekebun swadaya. Selain itu, ada juga masalah lahan-lahan sawit yang masuk ke area hutan, dan harus diselesaikan oleh Indonesia.
Tantangan yang disampaikan Diah diamini oleh Rusman Heriawan, penasihat Forum Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan.
“Sampai akhir tahun 2020, sertifikasi ISPO di hulu, yaitu di perkebunan, catatan yang ada baru diterbitkan 682 sertifikat. Dengan luasan 5,8 juta hektar yang sudah bersertifikat, dari 16,38 juta hektar. Artinya, baru kurang lebih 35 persen luasan kebun sawit yang sudah ber-ISPO dibandingkan total luasannya, yang 16,38 juta hektar itu,” kata Rusman.
Data dari Rusman, total luas kebun sawit di Indonesia adalah 16,38 juta hektar. Dari jumlah itu 8,68 juta hektar dikelola perusahaan sawit swasta. Sedangkan 6,72 juta hektar dikelola oleh petani sawit, baik plasma atau yang terikat pada perusahaan maupun yang swadaya. Sementara sisanya, kurang dari 1 juta hektar adalah kebun sawit milik negara.
Terkait sertifikasi ISPO, sebagai upaya memenuhi tuntutan pasar global, perusahaan sawit swasta paling giat melakukan sertifikasi. Dari lahan 8,68 juga hektar, sudah 63 persen yang bersertifikat. Perkebunan milik negara, yang totalnya sekitar 1 juta hektar sudah menerima sertifikat ISPO seluas 32,5 persennya.
“Yang menyedihkan sebenarnya adalah perkebunan rakyat. Baik itu plasma maupun swadaya, itu hanya 0,19 persen yang sudah bersertifikat dari total luasan mereka yang 6,72 juta hektar,” kata Rusman.
Karena itulah, meski menyambut baik penerapan ISPO sebagai prestasi baru dalam sektor sawit, Rusman melihat ketidakseimbangan sertifikasi harus mendapat perhatian. Tidak mungkin untuk memberikan kelonggaran aturan terutama bagi petani kecil plasma maupun swadaya, dan seluruh proses ini merupakan tanggung jawab bersama.