Pemerintah secara resmi melakukan moratorium izin baru di hutan alam dan lahan gambut . Aturan penghentian itu berlaku dengan ditandatanganinya Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menjelaskan, aturan baru tersebut merupakan perubahan dari Inpres No. 6/2017 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
“Inpres [penghentian] ini merupakan pembaharuan dari Inpres 6/2017 dengan perubahan dari urusan penundaan menjadi penghentian pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut,” kata Siti.
Inpres No. 6/2017 merupakan revisi keempat dari kebijakan penundaan izin baru hutan alam dan primer yakni Inpres No. 10/2011.
Inpres moratorium yang sudah berjalan selama 8 tahun ini mengamanatkan agar areal penundaan pemberian izin tersebut digambarkan secara spasial dalam Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) dan sejak 2011 telah dilakukan pembaharuan PIPPIB setiap 6 bulan sekali.
Pertimbangan perubahan kebijakan ini berlandaskan fakta bahwa Inpres moratorium hutan alam primer dan lahan gambut terbukti efektif untuk menata kembali pengelolaan hutan dan kehutanan Indonesia, termasuk dalam pengelolaan konflik, pencegahan kebakaran hutan, penegakan hukum, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Selain itu, berdasarkan hasil kajian Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, meski sudah direvisi sebanyak 15 kali sejak Inpres moratorium terbit pada 2011 luasan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) tercatat relatif stabil setiap tahunnya pada angka 66 juta hektar (ha). Revisi tersebut juga berkontribusi pada penurunan angka deforestasi lebih dari 38 persen pada areal penundaan hutan alam dan lahan gambut.
KLHK mengklaim laju deforestasi kawasan hutan Indonesia turun seluas 40.000 ha atau sekitar 8,33 persen menjadi 440.000 ha pada periode 2017-2018 dibandingkan dengan periode 2016-2017 seluas 480.000 ha.
Dari sisi lingkungan, wilayah penghentian pemberian izin baru ini dinilai berpotensi untuk mewujudkan result-based payment REDD+ sejalan dengan penerapan kebijakan pemberian insentif pengendalian perubahan iklim sebagaimana tertuang pada PP No. 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan.
“Wilayah penghentian pemberian izin baru tersebut juga akan menjadi target pemenuhan pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia dari sektor kehutanan,” ungkap Siti.
Patut diketahui, target penurunan emisi secara nasional yang ditetapkan pemerintah pada 2030 itu sebesar 834 Juta Ton CO2e atau 29 persen dari BAU (Business as Usual). Sedangkan, kontribusi penurunan emisi secara nasional pada 2016 terhadap target yang ditetapkan dalam NDC tersebut baru 8,7 persen.
Dari sesi sektor usaha kehutanan, Siti menilai selama inpres moratorium berjalan, sudah terjadi perubahan dalam rencana pengusahaan hutan tanpa mengganggu jalannya produktivitas pemegang konsesi. Hal tersebut dapat dibuktikan dari sumbangan devisa sektor kehutanan yang mencapai US$12,7 miliar dengan total produksi kayu log mencapai 48,73 juta m3 pada tahun lalu.
Ditjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) KLHK mencatat bahwa wilayah konsesi kehutanan saat ini seluas 30,82 juta ha yang terdiri atas konsesi hutan alam seluas 18,84 juta ha, konsesi hutan tanaman industri (HTI) seluas 11,35 juta ha, dan konsesi restorasi ekosistem seluas 622.861 ha.
Pada Inpres penghentian izin baru tersebut, Presiden menginstruksikan agar Menteri LHK, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Pertanian, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), Gubernur dan Bupati/wali Kota untuk tidak lagi memberikan izin atau rekomendasi pemanfaatan baru di area PIPPIB.
Di sisi lain, para pihak tersebut juga diperintahkan untuk melakukan penyempurnaan kebijakan tata kelola izin usaha, pengelolaan lahan kritis, serta penggunaan emisi karbon.
Kendati demikian, beleid baru ini juga memberikan pengecualian terhadap izin yang sudah berlaku dan telah mendapatkan persetujuan prinsip sebelumnya.
Rentan Dirambah Oknum
Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Yanto Santosa menilai, Inpres No. 6/2017 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut perlu mendapat perhatian dan pengawasan khusus dari pemerintah.
Sebab, menurutnya, kawasan hutan alam primer dan lahan gambut yang tidak dibebani izin umumnya akan rusak dirambah oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab karena minimnya pengawasan pada kawasan tersebut.
“Perlu adanya kajian dari pemerintah terkait penjagaan hutan alam dan lahan gambut yang tidak dibebani hak bersama dengan para stakeholder terkait. Kenapa? menurut hasil kajian, jika tidak ada izin konsesi, kawasan hutan alam dan lahan gambut tersebut rentan dirambah. Jika dibebani hak di sana kan ada yang jaga [korporasi] itu akan lebih aman,” katanya.
Tak hanya itu, Yanto juga menilai pemerintah perlu memikirkan dampak ekonomi dari sektor kehutanan ke depan setelah setop izin diberlakukan. “Karena [dengan] moratorium ini ada kerugian secara finansial [bagi negara] investasi tidak masuk, sehingga ini perlu dilakukan kajian yang baik oleh pemerintah,” papar dia. ***SH, TOS