Indonesia memiliki peluang besar dalam pengembangan industri pengolahan kakao. Hal ini didukung potensi Indonesia menjadi produsen kakao terbesar dengan total produksi 700.000 ton per tahun. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bertekad mendorong pengembangan industri pengolahan kakao agar bisa lebih berdaya saing global.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo, mengungkapkan bahwa saat ini terdapat 11 perusahaan pengolahan kakao di Indonesia dengan total nilai ekspor mencapai US$ 1,12 miliar pada 2022 atau menduduki posisi negara pengekspor keempat di dunia.
“Industri ini juga berperan dalam mendukung hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah kakao dalam negeri,” katanya menegaskan.
Edy menambahkan, dengan adanya efek berganda dari industri pengolahan kakao, pemerintah akan berupaya menjadikan Indonesia sebagai episentrum dunia untuk sektor kakao dan olahannya. Guna mewujudkan sasaran ini, perlu langkah kolaborasi dengan berbagai pihak terkait dari hulu sampai hilir.
Menurut dia, Indonesia unggul di produk intermediate yang meliputi cocoa pasta/liquor, cocoa cake, cocoa butter dan cocoa powder. Pangsa pasar produk intermediate kakao Indonesia mencapai 9,17% dari kebutuhan dunia. Selain sektor tersebut, Indonesia juga punya potensi di industri cokelat dan industri cokelat artisan.
Untuk industri cokelat yang menghasilkan mass product, saat ini terdapat 900-an perusahaan dengan total kapasitas produksi lebih dari 462.000 ton per tahun. “Jumlah nilai ekspor dari sektor ini sebesar US$ 76,89 juta pada tahun 2022,” ujarnya.
Selanjutnya, untuk sektor industri cokelat artisan, Indonesia telah memiliki 31 perusahaan dengan total kapasitas produksi sebesar 1.242 ton per tahun pada tahun 2022. Umumnya industri cokelat artisan ini menggunakan bahan baku yang premium. Indonesia masih punya pasar yang menjanjikan untuk dapat mengembangkan sektor ini.
Edy menegaskan, pihaknya proaktif menjalankan berbagai program dan kebijakan dalam upaya memacu kinerja industri yang berbasis olahan kakao. Misalnya, dengan menjaga ketersediaan bahan baku.
“Oleh karenanya, kami juga mendorong peningkatan produktivitas kakao dalam memenuhi kebutuhan di sektor industri,” kata dia.
Selain itu, Kemenperin menyiapkan sumber daya manusia (SDM) industri yang kompeten, mendorong pemanfaatan teknologi, dan mengoptimalkan program branding.
Kemenperin juga akan mendukung terhadap program sustainability dan traceability pada rantai pasok, meningkatkan kampanye konsumsi cokelat di dalam negeri, melakukan promosi pada ajang pameran di tingkat nasional dan internasional, serta melaksanakan program restrukturisasi mesin produksi.
Edy menambahkan, Kemenperin gencar menumbuhkan wirausaha baru di sektor industri pengolahan kakao. Apalagi, Indonesia memiliki lebih dari 600 varian atau rasa cokelat yang berasal dari berbagai daerah. “Ini menjadi potensi kita untuk terus melakukan diversifikasi dan inovasi produk.”
Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), Arief Susanto mengutarakan, terdapat pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan dalam upaya pengembangan industri pengolahan kakao di Indonesia. Di antaranya adalah memastikan ketersediaan bahan baku. Langkah yang perlu ditempuh adalah meningkatkan produktivitas kakao.
“Di Indonesia terdapat lebih dari 1 juta petani kakao yang apabila peningkatan produktivitas ini terus dipacu maka akan berdampak positif pula pada peningkatan pendapatan dari para petani,” ungkapnya.
Harga Kakao Melambung
Harga kakao naik. Berdasarkan data dari Trading Economics, harga kakao sudah berada di level US$ 4.238 per ton. Menurut Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI), Arief Zamroni, naiknya harga kakao merupakan ritual tahunan, yakni melambungnya harga pada bulan-bulan Oktober, November, dan Desember.
“Ini (naiknya harga kakao) ritual tahunan, sebenarnya. Pokoknya bulan-bulan Oktober, November, Desember itu pasti tinggi. Karena setelah Desember pabrik-pabrik tutup. Mulai buka Februari,” ungkap Arief.
Naiknya harga kakao juga karena ada demand yang tinggi pada industri ini. Dalam pada itu, Arief mengungkapkan bahwa ekspor pada produksi kakao masih kecil, karena masih memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.
“Ada ekspor, tapi itu hanya kebutuhan khusus saja. Jadi, secara nasional ekspor cuma bisa di angka 100 ribu-180 ribu ton,” ujarnya.
Lemahnya ekspor kakao juga dinilai karena kebutuhan industri kakao dalam negeri belum tercukupi. Para petani menjual hasil kakao mereka pada perusahaan-perusahaan multinasional yang berada di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor kakao terbesar di dunia.
Walaupun masih lemah, ekspor menjadi penting karena untuk balancing harga di dalam negeri. Balancing ini dilakukan untuk mencegah monopoli.
“Apabila ekspor itu nol, zero, harga harga bisa dimainkan di dalam negeri dengan harga yang tidak kompetitif, begitu. Petani lagi yang akan jadi korban,” ucap Arief.