
Klien PT Mutu Indonesia Strategis Berkelanjutan (LS-MISB) kembali meraih sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Keberhasilan meraih sertifikat ini menunjukkan, perusahaan tersebut telah memenuhi standar keberlanjutan.
Direktur PT MISB, Rismansyah Danasaputra menyatakan, kebeberhasilan ini merupakan kerja keras semua pihak, terutama perusahaan dan koperasi dalam memenuhi berbagai prinsip dan kriteria ISPO. Sesuai dengan amanat UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan mengenai pembangunan perkebunan yang berpedoman kepada prinsip-prinsip perkebunan berkelanjutan.
“Kebeberhasilan ini merupakan kerja keras semua pihak, terutama perusahaan dan koperasi dalam memenuhi berbagai prinsip dan kriteria ISPO. Tugas PT MISB hanya membantu perusahaaan dan koperasi untuk memenuhi standar-standar berkelanjutan,” kata dia.
Menurut Rismansyah, klien PT MISB kali ini yang meraihnya adalah PT Cipta Tumbuh Berkembang, PT Bina Agro Berkembang Lestari, PT Samukti Karya Lestari, PT Lifere Agro Kapuas, PT Sepanjang Inti Surya Utama 2, PT Palmindo Lestari, PT Natura Pasific Nusantara dan Koperasi Sekato Jaya Lestari.
Menurut Rismansyah, Permentan No. 11/2015 tentang ISPO merupakan regulasi yang wajib diterapkan oleh perusahaan kelapa sawit dalam upaya memelihara lingkungan, meningkatkan kegiatan ekonomi, sosial, dan penegakan peraturan perundangan Indonesia di bidang perkelapasawitan.
Penyusunan sistem sertifikasi ISPO mengacu/didasarkan pada 139 peraturan, mulai undang-undang sampai dengan peraturan dirjen berbagai instansi pemerintah.
Sistem sertifikasi ISPO adalah serangkaian persyaratan yang terdiri dari 7 (tujuh) prinsip, 34 (tiga puluh empat) kriteria dan 141 (seratus empat puluh satu) indikator yang mencakup isu hukum, ekonomi, lingkungan dan sosial, sebagaimana tertuang dalam Permentan No. 11/2015, untuk perusahaan kelapa sawit yang terintegrasi kebun dan pengolahan.
Adapun perusahaan perkebunan kelapa sawit yang wajib mensertifikatkan adalah yang melakukan usaha budidaya; usaha pengolahaan kelapa sawit dan yang terintegrasi kebun dengan unit pengolahan hasil.
Menurut catatan Rismansyah, ada beberapa permasalahan dalam sertifikasi ISPO yang menyebabkan luas perusahaan perkebunan yang tersertifikasi ISPO sampai saat ini masih terbilang rendah, antara lain (a) Permasalahan yang ada di klien atau audited atau di perusahaan itu sendiri, (b) Permasalahan di Lembaga Sertifikasi dan (c) Permasalahan dari pemerintah yang mempunyai regulasi.
Permasalahan dari sisi audited dapat disampaikan bahwa mayoritas perusahaan belum sepenuhnya siap untuk diaudit ISPO, mereka belum mengetahui apalagi memahami ISPO, perizinan yang masih belum tertata dengan baik, bahkan ada yang masih dalam proses perizinan yang memang membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya mahal.
Selain itu, juga lemahnya pencatatan, rekaman dan informasi, sarana dan prasarana pendukung kebun dan atau pabrik yang belum sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundangan termasuk di dalamnya penanganan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dari aspek lingkungan, demikian juga penanganan Kesehatan, Keselamatan Kerja (K3).
Menurut Ketua Sekretariat ISPO Aziz Hidayat, keberhasilan perusahaan dalam meraih sertifikat ISPO perlu diapresiasi, sebab untuk meraihnya tidak mudah. Selain itu, pihaknya merasa gembira dengan tingginya tingkat kepatuhan perusahaan dalam melaksanakan prinsip-prinsip berkelanjutan yang terus digalakkan pemerintah.
“Tingkat kepatuhan pekebun untuk memenuhi sertifikasi ISPO juga semakin baik. Ini hal yang sangat menggembirakan bagi kami,” kata Aziz.
Menurutnya, berbagai tantangan dan regulasi harus diselesaikan, terutama untuk perkebunan rakyat, antara lain aspek kepemilikan lahan yang masih berupa surat keterangan tanah; adanya indikasi masuk kawasan hutan; pengurusan STDB (surat tanda daftar budidaya); kelembagaan dengan membentuk koperasi pekebun; dan masalah pendanaan.
“Permasalahan-permasalahan tersebut perlu mendapat perhatian serius agar bisa meraih sertifikat,” pinta dia.
Hingga Agustus 2019 telah diterbitkan 566 sertifikat ISPO yang terdiri dari 556 perusahaan, 6 koperasi swadaya, dan 4 KUD plasma. Luas total lahan yang telah tersertifikasi ISPO adalah 5,2 juta hektar. Dengan rincian Tanaman Menghasilkan (TM) seluas 2,961.293 Ha, total produksi Tanda Buah Segar (TBS) 56.650.844 ton/tahun dan CPO 12.260.641 ton/tahun. Produktivitas 19,07 ton/ha dan Rendemen rata-rata 21,70 %.
Dari total 566 penerima sertifikat ISPO, secara rinci perusahaan swasta 508 sertifikat, dengan luas areal 4.896.546 Ha atau 63% Ha dari luas total 7,788 juta Ha. PTP Nusantara 48 sertifikat, dengan luas areal 282.762 Ha atau 40 % dari luas total 713 ribu Ha. Dan, Koperasi Pekebun Plasma-Swadaya 10 sertifikat seluas 6.236 Ha (0,107 % dari luas total 5,807 juta Ha.
Pada kesempatan kali ini, Komisi ISPO menyerahkan sertifikasi keberlanjutan kepada 64 pelaku usaha perkebunan sawit termasuk satu koperasi petani swadaya. Total luasan penerima ISPO tersebut mencapai areal 1.070.110 Ha, produksi TBS sebanyak 4.441.095 ton/tahun dan produksi Crude Palm Oil (CPO) sebanyak 692.862 ton/tahun.
“Hal ini menunjukkan implementasi percepatan sertifikasi ISPO telah menunjukkan hasil yang signifikan dan telah melampaui target Sertifikasi ISPO tahun 2019 seluas 5 juta Ha,” jelas Azis.
Lebih lanjut, Azis mengatakan partisipasi pelaku usaha perkebunan sawit untuk menerapkan ISPO juga semakin baik. Sejak ISPO diimplementasikan pada Maret 2011 hingga kini, ada 746 pelaku usaha yang telah berpartisipasi memenuhi Permentan No.11 Tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi ISPO, terdiri dari 731 perusahaan, 11 KUD/KSU Kebun Plasma,1 Bumdes, dan 3 Koperasi/Asosiasi Kebun Swadaya.
Sekretariat Komisi ISPO sampai 23 Agustus 2019 menerima Laporan Hasil Audit (LHA) dari Lembaga Sertifikasi ISPO sebanyak 657 laporan. Dari hasil laporan tersebut sebanyak 640 laporan (97,25% dari 657) sudah diverifikasi Tim Sekretariat Komisi ISPO. Sementara yang belum diverifikasi 17 laporan (2,75 % dari 657). ***SH, TOS