Akademisi menilai kebijakan tata niaga gula tidak mempedulikan nasib petani sehingga kebijakan dibuat pun hanya untuk memenuhi kebutuhan sesaat, yakni dengan impor yang harganya bisa lebih murah. Karena itu kebijakan seperti itu harus dibenahi.
Kebijakan harga gula murah itu membuat petani enggan membudidayakan tebu. Akibatnya, pabrik gula, yang sekitar 70 persen pasokan tebunya dari petani terkena imbas. Pabrik gula menjadi sulit mengembangkan produksinya dan tidak bisa berinvestasi membeli mesin baru agar proses produksi lebih efisien.
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Sosial Ekonomi dan Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), M Maksum, beberapa waktu lalu. Menurutnya, dengan pola kebijakan tersebut, kemerosotan produksi gula pun tak terhindarkan.
“Masalah jadi makin rumit karena impor gula mentah sebagai bahan baku gula rafinasi dilakukan berdasar kapasitas pabrik, bukan kebutuhan riil industri pengguna,” tukasnya.
Di sisi lain, izin pembangunan pabrik gula rafinasi terus diberikan. Kelebihan pasokan gula rafinasi pun tak terhindarkan. Apalagi, gula rafinasi yang diproduksi di dalam negeri kualitasnya tidak bisa memenuhi standar industri pengguna. Impor pun tak bisa dibendung.
Kemerosotan produksi gula tebu nasional, kata Maksum, telah terjadi sejak Bulog memonopoli gula tanpa kontrol.
Hal itu masih ditambah dengan program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) pada era pemerintahan Soeharto, yang mengharuskan petani tebu pada saat-saat tertentu menanam padi. Disambung liberalisasi gula atas desakan Dana Moneter Internasional (IMF) membuat pergulaan nasional luluh lantak.
Kini, Indonesia telah menjadi negara pengimpor gula terbesar kedua setelah Rusia. Padahal pada 1930, ketika Pulau Jawa di bawah kendali Belanda, produksi gula tebu hampir 3 juta ton. Dengan gula, Jawa menjadi gabus pelampung (bekork) penyelamat resesi perekonomian Belanda. Kala itu, Pulau Jawa menjadi produsen gula terbesar kedua setelah Kuba.
Bahkan, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia memproyeksikan produksi gula nasional pada tahun ini bisa di bawah 2,2 juta ton jika petani memanen tebunya lebih awal yang menyebabkan penurunan produktivitas.
Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) berharap pemerintah realistis dengan kondisi gula dan petani tebu terkait impor gula. Ketua DPP APTRI Soemitro Samadikoen menyatakan, saat ini langkah pemerintah melakukan impor kurang sesuai dengan kondisi lapangan. Gula Impor yang beredar di pasaran telah melebihi dari kebutuhan konsumsi warga masyarakat.
Saat ini kebutuhan gula untuk Tanah Air, sekitar 2,8 juta ton sedangkan produksi gula yang dihasilkan oleh petani sekitar 2,2 juta ton. Sementara pemerintah melakukan impor gula sebesar 3,6 juta ton.
“Produksi gula sebesar 2,2 juta ton harus memenuhi kebutuhan konsumsi gula sebesar 2,8 juta ton berarti kita kurang sekitar 600 ribu ton. Tapi untuk menutupi kekurangan yang 600 ribu ton pemerintah malah impor gula sebanyak 3,6 juta ton. berarti stok gula jadi berlebih sebanyak 3 juta ton,” kata Soemitro
Dari 3 juta ton gula impor yang berlebih itu dijual ke pasar tradisional dengan harga murah, sehingga menggerus gula lokal yang diproduksi petani dalam negeri.
“Karena gula impor berlebih, maka dijual ke pasar tradisional. Dijualnya pun dengan harga murah di bawah harga dari gula lokal yang dihasilkan oleh petani kita. Hal ini yang akan membuat petani di dalam negeri merugi, kasihan,” kata Soemitro.
Diakui Soemitro, impor masih dibutuhkan karena produksi dalam negeri juga belum bisa menutupi tingkat konsumsi masyarakat.
“Kebutuhan gula kita secara nasional sebanyak 2,8 juta ton, tapi petani tebu kita hanya bisa sekitar 2,2 juta jadi kekurangannya sekitar 600 ribu ton, seharusnya gula yang diimpor pemerintah ya 600 ribu ton saja, jangan sampai 3,6 juta ton,” jawab Soemitro.
Ia mengatakan, sebenarnya pihaknya tidak mempermasalahkan dengan adanya gula impor. Namun harus disesuaikan dengan kebutuhan konsumsi gula nasional. *** SH, AP, NM, TOS