Kenaikan penjualan otomotif dan mulai digunakannya campuran karet alam untuk pembangunan infrastruktur diharapkan bisa mendongkrak kinerja industri pengolahan karet dalam negeri. Hal itu membuat pengusaha mulai melirik pasar lokal.
Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo. Kata dia, meskipun kontribusi permintaan karet dari ban masih belum berpengaruh besar, tetapi dengan pemanfaatan karet untuk pembangunan infrastruktur, penyerapan karet di pasar domestik bakal meningkat.
Karet alam saat ini hanya menyumbang sekitar 45% untuk bahan baku ban. “Sejauh ini kebutuhan karet alam di pasar domestik hanya sekitar 600.000 MT, dari total produksi per tahun yang mencapai 3,3 juta MT,” katanya.
Untuk meningkatkan penyerapan karet domestik, dia berharap pemerintah mempercepat proyek penggunaan campuran karet alam untuk aspal dan campuran pembangunan gedung. “Bila rencana mencampur karet dengan aspal berjalan, maka akan menambah permintaan karet domestik,” katanya lagi.

Apalagi pada saat ini pemerintah tengah gencar melakukan pembangunan infrastruktur. Dengan begitu maka otomatis permintaan terhadap karet di pasar lokal akan turut meningkat tajam. Penggunaan karet untuk campuran aspal selain meningkatkan penyerapan karet lokal, juga dipercaya akan meningkatkan kualitas dan daya tahan jalan sampai 50%.
Dia berharap, uji coba pencampuran karet dengan aspal masih bisa segera dilakukan secara massal. Dengan begitu, Gapkindo optimis harga karet dalam negeri akan ikut meningkat. “Ini akan menciptakan permintaan yang baru, apalagi bila jumlahnya signifikan, berarti akan memberi support harga karet dalam negeri,” papar Moenardji.
Berdasarkan data dari Gapkindo, serapan karet pada pasar domestik masih sangat kecil bila dibandingkan dengan industri. “Dari produksi karet alam Indonesia sebesar 3,3 juta Metrik Ton (MT), konsumsi dalam negeri kurang lebih hanya 600.000 MT,” kata dia.
Karet yang diproduksi di dalam negeri selama ini mayoritas diserap oleh industri ban yang berada di dalam negeri. Sementara rencana penggunaan aspal dengan campuran karet alam menambah sektor baru untuk menyerap karet alam lokal.
Tingginya perkiraan serapan diungkapkan oleh Moenardji melihat dari banyaknya proyek infrastruktur terutama jalan tol yang dikerjakan dalam pemerintahan saat ini. Penggunaan karet dalam campuran aspal pun akan meningkatkan daya tahan bagi aspal sebesar 50%.
Bila hal tersebut terjadi akan membuat harga karet akan terkerek naik. “Kreasi demand yang baru, apalagi bila jumlahnya signifikan, berarti akan memberi support harga karet,” kata Moenardji.
Hanya saja saat ini penggunaan karet dalam infrastruktur masih dalam tahap percobaan. Hal itu membuat karet yang digunakan masih belum berpengaruh banyak. Meski begitu harga karet alam saat ini sudah mengalami kenaikan akibat penerapan pembatasan ekspor atau Agreed Export Tonnage Scheme (AETS). Sejak November 2017, harga karet saat ini sudah mencapai US$ 1.536 per ton.
Sebelumnya ITRC telah memutuskan akan melakukan pembatasan ekspor sebesar 350.000 ton. Indonesia mendapat kuota pembatasan sebesar 95.190 ton. Sementara itu Thailand mendapat pembatasan sebesar 234.810 ton dan Malaysia sebesar 20.000 ton.
Turunnya produksi diakibatkan oleh kondisi cuaca. Selain itu ada pula daerah yang baru pulih dari musim gugur daun sehingga produksi belum kembali normal.
Pada kondisi normal, penurunan produksi akan kembali normal pada bulan Januari. Namun menurut Moenardji akibat adanya fenomena La Nina perlu terdapat kajian lebih lanjut. La Nina akan berdampak pada meningkatnya intensitas hujan. Hal itu dikatakan Moenardji dapat menurunkan produksi.
Produksi yang menurun dikatakan Moenardji akan mempengaruhi suplai sehingga harga akan naik. “Kalau bicara harga, sudah pasti akan membaik karena faktor cuaca,” ucapnya.
Daniel Tirta Kristiadi, Direktur PT Kirana Megatara Tbk mengatakan, kenaikan permintaan karet di pasar domestik diharapkan bisa mempengaruhi pasar global yang saat ini sedang surplus pasokan.
Dia menjelaskan, pada saat ini produksi karet Indonesia menyuplai sekitar 20% dari total kebutuhan karet di dunia. “Kenaikan harga karet domestik hanya bisa terjadi kalau permintaan karet dalam negeri dalam volume atau skala yang cukup besar,” ujarnya.
Selain peningkatkan permintaan pasar domestik, direktur perusahaan publik dengan kode saham KMTR ini juga menyarankan agar negara-negara produsen karet besar dunia tetap konsisten mengendalikan suplai karet di pasar global.
Pengendalian ini perlu dilakukan terus menerus sehingga terjadi equilibrium baru bagi permintaan dan penawaran yang dapat menaikkan harga karet dunia.
Seperti diketahui, tiga negara produsen karet yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC), yaitu Indonesia, Malaysia, dan Thailand sepakat mengurangi ekspor karet mulai Desember 2017 sebanyak 350.000 ton.
Pengurangan ekspor dengan skema Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) ini diharapkan bisa mendongkrak harga karet dunia. Akibat pembatasan ekspor karet yang akan dilakukan sampai 31 Maret 2018 itu, harga karet dunia terus meningkat. Jika harga karet November 2017 masih di kisaran US$ 1.410 per ton, saat ini harga meningkat mencapai US$ 1.536 per ton.
Untuk mempertahankan harga, Daniel juga meminta besaran pertumbuhan lahan perkebunan karet baru diatur. Hal ini harus dilakukan dalam kerjasama dengan negara produsen karet lain, agar lebih mudah dijalankan dan berpengaruh pada harga karet.
Pola Perdagangan Dunia
Pola perdagangan dunia memasuki babak baru. Kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) yang baru di bawah Donald Trump yang menjadikan kepentingan AS yang pertama telah membuat negara-negara mitra dagangnya kewalahan.
Salah satunya adalah China yang merupakan salah satu eksportir ban terbesar ke AS telah menurunkan target pertumbuhan domestik bruto dari 6,7% menjadi 6,5% pada tahun ini. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kebijakan Trump yang akan mempersulit masuknya produk China ke Negeri Paman Sam tersebut dengan menerapkan Bea Masuk (BM) yang tinggi yakni sebesar 35%.
Perang dagang dua negara raksasa ini akan berdampak pada ekspor sejumlah komoditas dari Indonesia, salah satunya adalah ekspor karet alam. China merupakan negara terbesar importir karet tentu saja akan menurunkan konsumsi karet tahun ini bila AS memproteksi diri dari produk-produk China.
Kendati demikian, Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Suharto Honggokusumo mengatakan, Indonesia justru bisa memanfaatkan kondisi ini untuk meningkatkan ekspor karet ke AS.
“Kalau AS meningkatkan produksi ban sendiri dengan mengurangi impor ban dari China, maka karet Indonesia lebih banyak dipakai AS dan ini menguntungkan Indonesia,” ujar Suharto.
Menurut dia, ekspor karet Indonesia ke China tidaklah terlalu besar, sebab China lebih banyak mengimpor karet dari Thailand ketimbang Indonesia. Berdasarkan data yang dimiliki Gapkindo tahun 2015, ekspor karet Indonesia ke China mencapai 289.500 ton, sementara ekspor Indonesia ke AS 115% lebih besar yakni 624.700 ton.
Sementara itu ekspor karet Thailand ke China pada periode yang sama sebesar 2.205,7 juta ton sedangkan ekspor karet Thailand ke AS cuma 156.000 ton. “Karet Indonesia merupakan sumber bahan baku utama ban di AS, atau importir karet alam terbesar AS berasal dari Indonesia,” paparnya.** SH, TOS