Di tengah besarnya kontribusi atau peran yang disumbangkan industri sawit di negeri ini bagi perekonomian nasional, kita juga merasa prihatin atas kabar yang menyebutkan bahwa industri kelapa sawit di Indonesia masih dihadapkan dengan berbagai permasalahan. Salah satunya terkait tata kelola lahan sawit yang masih semrawut, lantaran penerapan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak konsisten.
Pembaca majalah ini yang kami banggakan…
Akibat penerapan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak konsisten, kondisi legalitas lahan sawit menjadi tak karuan. Padahal, sejatinya putusan MK itu untuk menjawab sengketa kewenangan antara pusat dan daerah. Terutama, terkait RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi) yang tidak diakui pemerintah pusat dan menegasi keberadaan izin lokasi yang diterbitkan kepala daerah
Tak usah heran bila Prof. I Gde Pantja Astawa, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung mengingatkan pentingnya tata kelola sawit untuk terus diperbaiki oleh para pemangku kepentingan dari komoditas strategis nasional ini. Untuk itu, semua pihak perlu tetap mengkritisi agar kebijakan-kebijakan seputar komoditas strategis ini bisa mendukung industri usaha sawit dalam negeri.
Prof Pantja menunjuk contoh. Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, sebagai peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 19 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Banyak hal yang belum tuntas dan menimbulkan ketidakpastian bagi para pelaku usaha industri sawit.
“Ketidaktuntasan penyelesaian masalah tata ruang (RTRWP/RTRWK) ini salah satu akar masalah yang rumit,” katanya menyebut salah satu persoalan dalam kebijakan-kebijakan tersebut.
Pembaca sekalian yang kami hormati, carut marutnya tata kelola lahan sawit di republik tercinta ini, kami angkat sebagai tema utama Rubrik Laporan Utama Majalah HORTUS Archipelago Edisi September 2023.
Selanjutnya untuk mengisi Rubrik Liputan Khusus kami mengupas mengenai multi tafsir terkait dengan penerapan kebijakan FPKM (Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat) sebesar 20 persen, yang masih ada di tengah masyarakat kita.
Kebijakan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) yang diluncurkan Kementerian Pertanian tahun 2007, sejatinya punya tujuan yang mulia. Yakni, mengatasi kesenjangan kesejahteraan antara masyarakat sekitar kebun dengan perusahaan perkebunan.
Maklum, sejak berakhirnya program pemerintah yang ‘mengawinkan’ perusahaan dengan petani seperti Program Inti Rakyat (PIR) Bun, PIR NES, PIR KKPA pada tahun 2005, pemerintah cq Departemen Pertanian kala itu meluncurkan program yang mengharuskan perusahaan perkebunan sawit untuk memenuhi kewajiban 20 persen FPKM.
FPKM 20 persen sejatinya merupakan kewajiban perusahaan perkebunan sebagaimana perintah Undang-Undang No. 18/2004 tentang Perkebunan. Namun, aturan tersebut hanya berlaku bagi perusahaan dengan izin usaha perkebunan yang terbit setelah Februari 2007, sesuai dengan Permentan No. 26/2007.
Pembaca sekalian, di luar kedua rubrik unggulan tersebut, seperti biasa kami juga menyiapkan berita atau tulisan lain yang tak kalah menarik dan hangatnya di rubrik lainnya.
Akhirnya dari balik meja redaksi, kami ucapkan selamat menikmati sajian kami. ***