Surabaya
Indonesia sedang mengembangkan clearing house system untuk meminimalisir kemungkinan dampak dari kebijakan Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa (EUDR) terhadap petani sawit.
Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC), Rizal Affandi Lukman di Surabaya, Jumat (24/11).
“Indonesia saat ini sedang mengembangkan clearing house system yang nantinya akan menjadi bagian dari alat untuk men-tracea atau traceability tools yang diperlukan untuk EUDR. Jadi, kita tidak usah khawatir,” kata dia.
Seperti diketahui, Uni Eropa sah menetapkan EUDR berlaku 16 Mei 2023. Akibat UU ini, setiap produk pertanian, yaitu sawit, kopi, kakao, karet, kayu, sapi, kedelai, dan turunannya, harus melalui uji tuntas bebas deforestasi.
Menurut Rizal kebijakan EUDR sudah tidak bisa diubah lagi, sehingga upaya yang harus dilakukan oleh negara produsen sawit adalah meminimalisir kemungkinan risiko dan dampaknya.
“Jangan sampai petani kecil ini terpinggirkan gara-gara tidak memenuhi syarat dari EUDR itu. Yang kita pastikan no one left behind, jangan sampai mereka tertinggal,” kata dia.
Oleh karena itu, lanjut Rizal, clearing house system ini dikembangkan sebagai tools untuk memudahkan negara konsumen menelusuri semua rantai produksi sawit.
Clearing house system menggunakan data yang bersumber dari Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (SIPERIBUN), Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), dan Sistem Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Clearing house adalah umbrella-nya, SIPERIBUN adalah sistemnya untuk industri, STDB maupun ISPO untuk petani kecil. Jadi, semua terintegrasi di dalam clearing house system,” imbuh dia.