Meski tercatat sebagai negara yang memiliki perkebunan karet terluas di dunia, Indonesia ternyata masih kalah dalam hal jumlah produksi dengan Thailand. Hal ini disebabkan, produktivitas perkebunan karet Thailand lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB), Achmad Mangga Barani di Jakarta, baru-baru ini. Menurutnya, saat ini Indonesia memiliki lahan perkebunan karet terbesar di dunia dengan luas mencapai 3,4 juta hektar, dan di urutan kedua adalah Thailand, dengan luas lahan hanya 2 juta hektar.
Namun dari sisi produksi karet mentah justru berbanding terbalik. Indonesia hanya menduduki peringkat kedua di bawah Thailand. Hal ini, karena produktivitas perkebunan karet di Indonesia hanya berkisar 1,1 ton per hektar, jauh dibawah produktivitas kebun karet Thailand yang mencapai 1,7 ton per hektar.
“Lahan karet di Indonesia terluas besarnya 3,4 juta hektar, namun produktivitasnya hanya 2/3 dari Thailand. Perlu upaya yang lebih keras untuk meningkatkan produktivitas, salah satunya dengan peremajaan dengan mengganti bibit unggul yang memiliki produktivitas tinggi,” kata Mangga Barani.
Selain masalah bibit, rendahnya produktivitas kebun karet di Indonesia juga disebabkan sebagaian besar tanaman sudah tua, terutama kebun-kebun milik petani.
“Apalagi, 90% perkebunan karet di Indonesia dimiliki oleh petani. Sehingga, peremajaan tanaman menjadi solusi dalam meningkatkan produktivitas,” ungkapnya.
Mangga Barani menjelaskan, tanaman karet di Indonesia saat ini 85% masih menggunakan seedling tanpa seleksi dan itu diperoleh dari klon-klon lama. Sementara negara produsen karet lainnya seperti Thailand, Vietnam dan juga Kamboja telah menggunakan klon-klon baru yang lebih unggul.
Ihwal kebutuhan bibit unggul untuk peremajaan karet, Menteri Pertanian Amran Sulaiman telah menyediakan benih unggul bermutu dengan produktivitas dua kali lebih tinggi dibanding produktivitas saat ini.
Untuk itu, Kementerian Pertanian telah menyediakan bibit unggul bermutu melalui program BUN500 (Benih Unggul Perkebunan 500 juta batang 2020-2024).
“Produksi dan penyediaan benih tersebut salah satunya akan dilakukan melalui program BUN500 di Kementerian Pertanian dan program perbenihan lainnya,” kata Amran.
Pada program BUN500 selama periode 2020-2024, produksi dan penyediaan benih karet, kopi dan kakao masing-masing ditargetkan 143 juta batang, 163 juta batang, dan 157 juta batang. Benih tersebut akan dialokasikan untuk peremajaan di sentra produksi karet, di antaranya Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah.
Peneliti Karet, Karyudi menyambut baik peran pemerintah dalam menyiapkan bibit karet yang unggul dan memiliki produktivitas yang tinggi. Menurutnya, kehadiran pemerintah dalam menyediakan bibit unggul sangat dibutuhkan, sebab rakyat belum mampu melakukan itu.
“Menghadapi situasi ini, sudah waktunya diadakan peremajaan karet rakyat supaya tidak kalah bersaing dengan negara-negara lain. Pemerintah harus hadir dalam peremajaan karet rakyat ini sebab rakyat tidak mampu melakukan sendiri,” kata Karyudi.
Menurut dia, yang perlu dicari sekarang adalah pola yang pas untuk petani di Indonesia. Dulu Indonesia punya program PIR, pengembangan karet rakyat, UPP, kemitraan dan lain-lain tetapi untuk karet tidak sustainable.
Kemudian di Malaysia punya RISDA dan FELDA yang lebih sustainable. Sehingga dari program-program tersebut perlu dicari mana yang lebih baik dan cocok untuk petani karet di Indonesia.
“Dari pola-pola itu bisa diekstraks dan dikombinasikan untuk mendapat pola baru yang lebih baik. Hal yang penting adalah dana untuk peremajaan. Dulu dengan pola PIR menggunakan dana perbankan tetapi sekarang susah,” katanya.
Untuk itu, lanjutnya, pemerintah harus mencari sumber dana pengembangan karet. Hal ini penting untuk memperbaiki karet Indonesia di hulu sehingga tidak kalah bersaing dengan negara lain. Indonesia lebih dulu berbudidaya karet sehingga jauh lebih berpengalaman tetapi sekarang malah kalah dari Thailand dan Malaysia.
Indonesia bisa belajar dengan adanya dana pungutan ekspor yang dilakukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
“Hanya BPDP Karet nanti porsi penggunaan dana terbesar harus untuk peremajaan karet rakyat. Tidak seperti BPDP Sawit yang sebagian besar untuk biodiesel,” jelasnya.
Bila BPDP Karet sudah berdiri maka waktu pemungutan dananya harus diperhitungkan. Apakah menunggu sampai harga karet membaik atau besar pungutannya disesuaikan dengan harga karet. “Apapun pilihannya maka BPDP Karet ini harus segera dibentuk,” tukas Karyudi.
Peneliti Centre for Indonesia Policy Studies (CIPS), Mercyta Jorsvinna Glorya berharap, pemerintah bisa fokus pada peremajaan (replanting) tanaman karet dengan alokasi dana yang tersedia daripada memaksakan percepatan perluasan lahan ketika harga karet global belum cukup bersahabat.
Dengan anggaran sekitar Rp47 miliar yang baru mencakup peremajaan dan pengembangan untuk kebun karet seluas 6.000 hektar (ha), pemerintah perlu mengedepankan peningkatan produktivitas untuk tanaman karet yang merupakan target peremajaan tersebut.
“Menurut saya, sesuaikan dulu sesuai alokasi dari APBN, tapi pastikan meskipun peremajaan hanya sekitar 5.000 ha per tahun, tanaman tersebut nanti produktivitasnya bisa tinggi seperti Thailand,” kata Mercyta.
Dengan luas lahan sekitar 2 juta ha, kebun karet Thailand memang tidak lebih luas dari Indonesia yang pada 2018 lalu tercatat mencapai 3,67 juta ha. Kendati demikian, produktivitas negara produsen terbesar karet alam tersebut berhasil melampaui produksi Indonesia yang pada 2018 lalu membukukan produksi total sebesar 3,76 juta ton.
“Daripada memakai alokasi APBN lebih besar, namun skema pendanaannya belum jelas dan belum pasti, kita fokus dulu saja, tapi pastikan 5.000 ha per tahun itu lebih baik produktivitasnya. Kalau mengharapkan investasi juga sulit apabila melihat produktivitasnya yang belum tinggi,” paparnya.
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Pertanian sebelumnya menargetkan dapat memperluas cakupan lahan yang menjadi target peremajaan pada 2020 mendatang.
Usulan untuk mengamandemen Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang penghimpunan dan penggunaan dana perkebunan kelapa sawit pun sempat bergulir agar skema pendanaan peremajaan nantinya dapat mencakup tanaman karet. ***SH, AP