Harga karet internasional saat ini cenderung melemah memerlukan kerjasama berbagai pihak agar tak terus melemah. Salah satunya, pedagang dan eksportir seharusnya saling bersatu dan berkomitmen supaya ketika harga rendah, mereka tidak melepas produknya menunggu hingga harga membaik.
Pasalnya, melemahnya harga karet internasional ini dapat berpengaruh terhadap harga pembelian di tingkat petani.
Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kemtan) Bambang. Menurutnya, semua pihak khususnya trader dan pengekspor untuk berkomitmen saling bersatu menjaga harga.
“Sebenarnya karet kita memiliki kualitas yang bagus namun masalahnya ya di persaingan harga komoditi. Para pedagang dan eksportir seharusnya saling bersatu dan berkomitmen supaya ketika harga rendah, kuncinya adalah tidak menjual dalam kurun waktu tertentu, nantinya harga akan naik kembali,” jelas Bambang, baru-baru ini di Jakarta.
Sayangnya, menurut Bambang, masih ada pihak yang masih menjual karet ketika harga karet sedang rendah. Selain itu, untuk meningkatkan harga karet petani perlu memperhatikan pengolahan pascapanen karet.
“Jadi perusahaan misalnya menginginkan karet yang seperti apa, jumlahnya berapa, kita coba kelompokkan masyarakat untuk menghasilkan produk itu, supaya harga di tingkat petani bisa naik,” kata Bambang.
Menurut dia, saat ini petani sering menjual karet dengan kualitas yang seadanya. Sementara, industri ingin menerima karet dengan kualitas yang baik. Petani yang bisa menghasilkan karet dengan kualitas baik ini pun sangat tersebatas. Karena itu dia meminta industri saling bermitra dengan petani untuk dapat membantu petani menghasilkan karet dengan mutu yang baik.
Tak hanya itu, Bambang pun menyampaikan pemerintah turut mengambil bagian dalam peningkatan kualitas karet rakyat ini. Untuk itu, lanjut Bambang, Kementan sedang mencoba memfasilitasi petani dalam membuat kelembagaan.
“Kami coba membuat kelembagaan, dan membantu memfasilitas petani. Kami bantu sarana dan prasarana serta mengedukasi untuk membuat lembaran karet yang mutunya lebih bagus,” tambahnya.
Bambang menyebutkan secara garis besar ada dua hal yang perlu diperhatikan yakni strategi pasar ke luar juga upaya peningkatan mutu di dalam negeri. “Secara ke dalam, memang harus kita perbaiki. Yang pertama, persoalan pascapanen. Karet kita perlu perhatian dan pembinaan,” kata Bambang.
Adapun salah satu hal yang perlu dilakukan terkait hal ini menurut Bambang adalah dengan melakukan penguatan kelembagaan di tingkat petani guna menghasilkan produk dengan mutu bahan olahan karet rakyat (bokar) yang seritme dengan permintaan industri baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Saat ini, petani cenderung menghasilkan karet dengan mutu bokar ala kadarnya dengan kondisi yang masih kotor dan tidak sesuai dengan permintaan industri. Dengan demikian, pihak industri pengguna karet harus mengeluarkan biaya khusus untuk memperbaiki mutu bokar tersebut.
Industri tentu saja tidak ingin merugi sehingga biaya peningkatan mutu tersebut kemudian akan dibebankan kepada petani yang membuat harga karet di tingkat petani menjadi rendah.
Bambang tak menampik jika saat ini sebenarnya sudah ada petani karet di Indonesia yang melakukan pembersihan bokar dan kegiatan peningkatan mutu lainnya. Namun, jumlah mereka masih cukup terbatas dan hal ini membuat harga karet mereka ikut rendah tergerus oleh produk karet yang kebanyakan mutu bokarnya belum memadai untuk bisa diserap oleh industri.
Hal ini tentunya berpotensi membuat mereka merugi karena berimbas tidak mendapatkan insentif yang seharusnya mereka dapatkan setelah melakukan peningkatan mutu. Namun, diakui Bambang, hal ini juga terjadi karena adanya keterbatasan di tingkat petani dalam menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan guna memenuhi permintaan industri untuk memasok produk berkualitas tinggi dengan jumlah memadai
“Tapi kan dengan keterbatasan kemampuan petani, mereka terpaksa harus menjual cepat,” kata Bambang.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong agar industri dan pihak pedagang memiliki kepedulian terhadap para petani karet rakyat dengan cara bermitra. Namun, sebelum kemitraan antara petani rakyat dan industri terjalin, perlu dibentuk sebuah lembaga yang akan menaungi petani sehingga mereka tidak berjuang sendiri-sendiri.
Ketua Dewan Karet Indonesia Aziz Pane mengakui pedagang karet masih memegang kendali terhadap harga karet petani rakyat. Hal ini terjadi karena petani masih bergantung kepada pedagang, akibatnya beberapa pedagang memberlakukan harga seenaknya.
“Di daerah-daerah peran pedagang ini masih sangat kuat, mereka-lah yang selama ini menentukan harga karet petani,” kata Azis di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Aziz juga menyayangkan adanya beberapa perusahaan yang lebih percaya membeli karet ke pedagang daripada beli langsung ke petani.
“Kami menyesalkan adanya beberapa perusahaan yang seolah-olah bekerjasama dengan tengkulak ini, jadi mereka tidak mau menerima karet langsung dari petani. Tetapi menerima dari tengkulak, padahal karet yang dari tengkulak itu juga berasal dari petani yang sama,” katanya masygul.
Hal ini, tentu saja sangat merugikan petani. Selain potensi pendapatan petani berkurang, kondisi seperti ini juga membuat petani enggan belajar merawat kebun karetnya dengan baik.
“Akibatnya petani enggan meningkatkan kualitas karetnya, karena bagi mereka tidak ada bedanya karet kualitas baik dengan kualitas rendah,” latanya. Itulah kenapa sampai saat ini kualitas karet Indonesia belum begitu baik dibandingkan dengan negara tetangga di Asia Tenggara. *** SH, NM, TOS