Ketua Pusat Riset Sawit IPB, Budi Mulyanto mendorong pemerintah menyelesaikan persoalan sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan.
Hal ini disampaikan Budi pada acara Diskusi Publik Pencegahan Maladministrasi dalam Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit, Jakarta Senin (27/5)
Budi mengatakan, lahan sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan merupakan akar permasalahan industri kelapa sawit nasional selama ini.
“Jadi, ada sekitar 3,4 juta hektare sawit diklaim masuk kawasan hutan dan sekarang ini persoalan besar buat bangsa ini,” kata Budi.
Budi mengatakan, bila akar persoalan sawit ini tidak segera diselesaikan, ini akan memberikan dampak pada program pemerintahan baru yang akan mengembangkan bioenergy and food.
“Kalau dikaitkan dengan pemerintah baru yang akan mengembangkan bioenergy and food menurut saya sih menjadi ironi kalau persoalan sawit dalam kawasan hutan ini tidak dibereskan,” kata dia.
Karena, menurut Budi, program pemerintah terbaru yang mengedepankan biosolar B50 akan sulit terwujud bila jutaan hektare lahan sawit tersebut masih teridentifikasi masuk kawasan hutan.
“Isu ini harus beres kalau kita mau ngomong B50 karena mau tidak mau B50 harus ekstensifikasi. Jangan ngomong B50 kalau urusan ini belum beres,” tegas Budi.
Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono mencatat, 569 perusahaan anggotanya dengan luasan 810.425 hektare masuk kawasan hutan pasal 110A maupun 1108.
Telah dikeluarkan invoice tagihan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) pada 31 Desember 2023 untuk kebun yang masuk Kategori 110A sebanyak 365 subjek hukum dengan luasan sekitar 600 ribu hektare.
Denda administrasi berupa kewajiban pembayaran PSDH-DR berkisar antara Rp 1 juta-6,5 juta per hektare sesuai dengan tegakan pada saat pembukaan areal.
“Tagihan untuk pasal 110A umumnya sudah dibayar, bahkan beberapa anggota kita sudah mendapatkan surat tanda lunas,” ujar Eddy.
Lantas yang terbaru, Eddy juga mendapatkan informasi bahwa KLHK kembali akan mengeluarkan tagihan untuk kebun yang sudah melunasi denda tersebut.
“Kami mendapat informasi dan bahkan sudah dipanggil juga bahwa akan ada tagihan baru. Jadi tagihan yang sudah lunas itu akan ditagih lagi. Ini nanti perlu penjelasan dari KLHK,” kata dia.
Eddy menyebut, berdasarkan informasi dari satuan tugas (Satgas) sawit, dasar pengenaan tagihan baru tersebut bukan tegakan lagi, melainkan izin lokasi.
“Kemarin kami diskusi dengan salah satu Satgas sawit juga bahwa dasarnya bukan tegakan lagi, tapi izin lokasi. Jadi mau ditagihkan lagi dasarnya adalah izin lokasi,” kata Eddy.
Sementara itu, lanjut Eddy menjelaskan, untuk kebun yang masuk kategori 110B tagihannya akan dikeluarkan pada pertengahan tahun 2024, dengan nilai denda lebih dari Rp 96 juta per hektare.
“Ini cukup besar dan indikasinya 2,4 juta hektare termasuk sawit rakyat dan yang kami khawatir di sini karena ini hanya berlaku 1 kali daur atau 25 tahun. Jadi kalau sudah berjalan 15 tahun berati tinggal 10 tahun setelah itu dikembalikan kepada negara harus dihutankan kembali,” kata Eddy.
Pertama, kata Eddy, ini sangat berbahaya karena ada potensi konflik horizontal saling rebutan tanah antara karyawan dan juga masyarakat di kawasan tersebut.
“Kedua, penurunan produksi kemungkinan besar terjadi. Kalau kita rata-rata poduksivitas kita masih 3 ton minyak per hektare per tahun maka kira-kira akan berkurang 7,2 juta ton per hektare per tahun,” ujar Eddy.
Produksi Stagnan
Sementara itu, Eddy menyebut, lima tahun terakhir ini produksi minyak sawit Indonesia juga mengalami stagnansi dan trennya mengalami penurunan.
“Produksi kita memang ada kenaikan tahun 2023 karena ternyata di tahun 2017 ada penanaman baru 500 ribu hektare. Tapi, kalau kita lihat produktivitas, kelihatan sekali stagnan di angka 50 juta ton per tahun,” kata dia.
Saat produksi stagnan, kata Eddy, konsumsi dalam negeri juga terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data, tahun 2019 konsumsi masih 32 persen, tahun 2023 sudah di angka 42,3 persen sudah termasuk kebutuhan B35.
“B35 di tahun 2023 belum full. Jadi, kalau ini tetap B35 masih ada di tahun 2024 naik sedikit, tetapi yang kami dengar akan dinaikkan B40, bahkan B50,” kata dia.
Menurut Eddy, ini harus menjadi perhatian semua pihak. Sebab kalau produktivitas tidak naik, sementara konsumsi terus meningkat, yang akan menjadi korbannya adalah devisa atau ekspor.
Adapun tahun 2023 dibandingkan tahun sebelumnya, ekspor produk sawit meningkat untuk tujuan China, India, Afrika, Amerika Serikat, dan Bangladesh, tetapi menurun untuk Uni Eropa, Pakistan, Rusia, dan Singapura
Kemudian tahun 2024 dibandingkan 2023 sampai dengan Februari turun untuk tujuan China, India, Afrika, Malaysia, Bangladesh dan naik untuk Eni Eropa, Pakistan, Amerika Serikat, Rusia dan Singapura.
“Memang saat ini agak lemah ekspor kita karena menang pertumbuhan di China agak masalah, kemudian ada masalah global yang kurang menguntungkan untuk kuartal pertama 2024,” ujar Eddy.
“Amerika Serikat justru sekarang ini terus baik. Amerika terakhir itu sudah di angka 2,5 juta ton, sebelumnya di bawah itu, bahkan pernah di bawah 1 juta ton,” imbuh Eddy.