Keterlibatan perempuan dalam praktik agroforestri atau wanatani kopi dinilai belum optimal. Jika optimal berdampak pada kesejahteraan petani kopi.
Hal itu terlihat pada diskusi daring Gender dalam Praktik Agroforestri Kopi, Kamis (10/6/2021).
Dalam diskusi ini menunjukkan hasil studi tentang dampak agroforestri kopi terhadap dinamika jender di Pagar Alam, Sumatera Selatan, pada September-Oktober 2020 yang dilakukan oleh Pusat Agroforestri Dunia (ICRAF) dengan Yayasan Inisiatif Dagangan Hijau (IDH), S&D SUCDEN, dan Jacobs Douwe Egberts (JDE).
Peneliti ICRAF, Elok Mulyoutami, mengatakan, praktik agroforestri kopi sudah umum di Pagar Alam. Masyarakat memulai praktik ini dari yang sederhana, yakni dengan menanam pohon pelindung seperti sengon dan cempaka hingga ke tingkat yang lebih kompleks dengan menanam tanaman berfungsi pelindung sekaligus memberi nilai tambah, seperti alpukat, durian, dan mahoni.
”Pengembangan agroforestri hasil pengambilan keputusan bersama. Di situ ada interaksi perempuan dan laki-laki, baik di tingkat masyarakat maupun rumah tangga. Dalam interaksi itu, mereka mempertimbangkan risiko dan keuntungan dari sistem (agroforestri) yang akan mereka aplikasikan di lahan mereka,” kata Elok.
Artinya, laki-laki dan perempuan saling melengkapi untuk pengembangan agroforestri. Namun, menurut studi, posisi perempuan belum strategis. Laki-laki masih dominan dalam pengambilan keputusan.
Elok mengatakan, kontribusi perempuan dalam pekerjaan dan pendapatan rumah tangga sebesar 33 persen. Kontribusi mereka bisa ditingkatkan dengan mengoptimalkan keterlibatannya. Akses pelatihan bagi perempuan perlu dibuka lebih luas begitu pula dengan ruang diskusi petani kopi perempuan dan lelaki serta membuat lebih banyak komunitas petani perempuan.
Pemahaman yang rata soal agroforestri kopi untuk perempuan dan laki-laki dinilai bakal menguntungkan. Perempuan bisa menggantikan peran laki-laki di kebun jika diperlukan sehingga keberlangsungan kebun kopi terjamin. Ini juga menjamin keberlangsungan pendapatan rumah tangga dari kebun agroforestri.
Selain itu, perempuan dinilai lebih cakap membagikan ilmu kepada orang lain secara detail dibandingkan laki-laki. Hal ini berdampak ke diseminasi pengetahuan yang lebih luas.
”Memberi kesempatan kepada perempuan untuk terlibat jadi penting. Kami ingin ada penguatan kerja sama dan komunikasi efektif antara laki-laki dan perempuan,” ucap Elok.
Pendamping petani kopi atau Sustainable Coffee Platform Indonesia (SCOPI) Master Trainer dari Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, Sartika Monalisa, mengatakan, perlu penguatan lembaga petani perempuan. Selain dengan membentuk koperasi, jaringan dengan beragam pihak seperti swasta dan pemerintah juga perlu dibangun, mengadakan pelatihan berkala, dan membuat ruang diskusi petani perempuan dan laki-laki.
”Hanya ada sekitar 20 persen kelompok perempuan petani di tempat kami. Per desa
maksimal tiga kelompok,” kata Sartika. ”Jika perempuan petani juga dibekali ilmu budidaya, pemasaran, hingga pengelolaan
keuangan keluarga, perempuan bisa mendapat uang tambahan,” tambahnya.
Sustainability Manager JDE di Asia Pasifik Do Ngoc Sy mengatakan, pihaknya menganggap penting isu kesetaraan jender di pertanian kopi. Pihaknya menyoroti ketimpangan peran perempuan dan lelaki dalam hal pengambilan keputusan hingga pembagian kerja. ”Kami akan masukkan isu ini di rencana program ke depan,” ucapnya.