Maraknya kebakaran hutan kembali terjadi di tanah air. Tak urung perkebunan sawit menjadi korban. Muncul dugaan adanya provokator untuk mendiskreditkan kelapa sawit di dunia internasional.
Tuduhan miring terhadap kelapa sawit sepertinya tak ada habisnya, padahal sawit memiliki prospek yang cukup cerah dan menjanjikan. Berawal dari isu kesehatan dan isu lingkungan kini kelapa sawit juga dituduh sebagai penyebab kebakaran hutan.
Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun tegas-tegas membantah tuduhan tersebut. Mestinya menurut Derom, sebelum menuding perkebunan kelapa sawit, otoritas berwenang wajib menelusuri pelakunya. Sebab menurutnya, kondisi di sekitar area kebun sawit Riau berupa lahan gambut secara alamiah mudah terbakar.
“Itu yang harus diselidiki siapa pelakunya, karena di lahan gambut gampang terjadi api, bisa menyebar dari bawah sampai atas. Perkebunan itu juga dalam peraturan sudah tidak boleh lagi membakar,” tegasnya.
Selain itu Derom mengungkapkan sejumlah bukti bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit bukan pembakar hutan. Salah satunya adalah sampai sekarang tak ada lagi ekspansi kebun sawit di Sumatera.
Selain dikarenakan moratorium yang dikeluarkan pemerintah, industri sawit kini mulai mengalihkan ekspansinya ke Kalimantan. “Sumatera sudah bukan lagi 85% pemasok sawit nasional, saya taksir sekarang 75%-lah.”
Menurut Derom, mestinya perkebunan kelapa sawit bukan sebagai pelaku tetapi korban dari kebakaran tersebut. Bayangkan, beberapa bulan ini produksi kelapa sawit di Sumatera tidak mengalami kenaikan. Itu disebabkan kobaran api yang juga merambat ke kebun sawit sehingga ekspornya pun menurun.
Soal siapa pelakunya, Derom enggan berspekulasi. “Ada yang bilang warga, ada yang bilang cukong, itu tidak bisa dibahas secara singkat.”
Ketua Umum Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SP) Achmad Mangga Barani menambahkan, pembakaran lahan bukan dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. “Sebab mereka sudah tahu ada regulasi jelas dan itu termasuk tindakan kriminal. Jadi, kecil kemungkinannya mereka menjadi pelaku pembakaran lahan. Bisa jadi ada oknum penyerobot lahan, ” katanya.
Mangga Barani menilai, lahan milik perusahaan perkebunan sawit kemungkinan mendapat rambatan api yang disulut oleh oknum penyerobot lahan, sehingga ketika di citra satelit terlihat sebagai titik api. “Jadi, perlu ada audit komprehensif. Siapa pelaku pembakaran dan siapa korbannya,” tegas dia. .
Oknum penyerobot lahan, menurut Mangga Barani, biasanya membakar hutan karena biayanya lebih murah dibanding menyewa alat berat. Kondisi ini sudah berulang kali terjadi di sejumlah daerah. Selain itu, pembakaran biasanya juga dilakukan di tanah tidak berizin karena kurangnya pengawasan dari pemerintah daerah.
“Pembukaan lahan melalui cara dibakar biasanya dilakukan di musim kemarau. Ini tugas pemerintah pusat dan daerah untuk mengintensifkan pengawasan. Jangan sampai ketika pembakaran menjalar dan membesar, baru semua memperhatikan,” katanya, menekankan.