Perum Bulog Perkuat CBP untuk Stabilkan Pasokan dan Harga Pangan

0
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, Vice President Communication and Public Affair PT Astra Agro Lestari, Fenny Sofyan, dan General Manager Unit Bisnis Bulog, Sentra Niaga Topan Ruspayandi pada acara FGD Arah Kebijakan Pangan Pascapemilu 2024, Jakarta Selatan, Jumat (9/2).

 

Perum Bulog menetapkan, arah kebijakan pangan Indonesia dengan memperkuat pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) untuk menstabilkan pasokan dan harga pangan.

Hal ini terungkap dalam FGD Panen News, yang dihadiri Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, Vice President Communication and Public Affair PT Astra Agro Lestari, Fenny Sofyan, dan General Manager Unit Bisnis Bulog, Sentra Niaga Topan Ruspayandi, Jakarta Selatan, Jumat (9/2).

Topan mengatakan, saat ini pemerintah Indonesia dalam konteks beras punya kebijakan pengelolaan CBP beserta dengan semua program turunannya.

“Di sisi hulu, kita melakukan pengadaan dalam negeri untuk melakukan penyerapan produk pangan khususnya beras dari petani dengan kebijakan penetapan harga pembelian pemerintah oleh Badan pangan nasional (Bapanas),” kata Topan.

Kemudian, di sisi hilirnya, lanjut Topan, ada program operasi pasar yang saat ini disebut dengan Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Dua program ini, yang saat dilakukan oleh Bulog dalam rangka menyalurkan CBP.

“Kurang lebih saat ini yang dikerjakan oleh bulog dalam konteks kebijakan pangan negara dan kita berharap ke depan program-program ini dapat terus dilakukan,” imbuh Topan.

Sementara itu, Esther mengatakan, problem pangan di Indonesia saat ini tidak lepas dari ketergantungan terhadap impor, tidak hanya beras, tetapi juga sayur mayur, buah-buahan hingga garam.

“Problem pangan di Indonesia kalau kita lihat banyak sekali impor. Impor tidak hanya beras saja tetapi juga sayur mayur, buah-buahan hingga garam. Padahal, kita tahu bahwa lautan kita sangat luas, tetapi kenapa garam itu diimpor, apakah kita tidak bisa memproduksi garam? Ini hal yang sangat menyedihkan,” kata Esther.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Esther menyebutkan, impor pangan dari tahun ke tahun ini semakin meningkat dan jumlahnya tidak main-main. Padahal, Indonesia pernah swasembada beras dan menduduki peringkat keenam sebagai eksportir gula di dunia.

“Pada tahun 1984, kita bisa swasembada beras dan kita mendapatkan penghargaan FAO, tetapi (sekarang) kita impor beras. Pada zaman Belanda, kita adalah eksportir gula terbesar di dunia, nomor 6, tapi sekarang termasuk 10 besar pengimpor gula terbesar dunia. Nah, ini kan, apakah zaman kebalik-balik gitu, ya. Nah, apa ada yang salah? Iya, ada, kalau menurut saya,” ujar Esther.

Esther menilai, solusi pemerintah untuk swasembada beras hanya kebijakan populis, yang sifatnya sementara. Akhirnya, jalan pintas pemerintah untuk memenuhi pangan dalam negeri saat produksi kurang adalah mengimpor.

“Contohnya, kalau beras produksinya kurang maka impor, kalau gulanya kurang impor. Semuanya diimpor. Ini kan kita tidak berpikir panjang bagaimana kita melakukan swasembada pangan, baik itu beras maupun yang lainnya,” kata dia.

Kemudian, Esther mengkritik program bantuan sosial (Bansos) pemerintah yang kurang signifikan menurunkan angka kemiskinan. Angka BPS menunjukkan, dari tahun 2011—2024, kemiskinan hanya turun 2 persen, berbanding terbalik dengan anggaran Bansos yang terus bertambah.

“Terakhir, saya liat di nota keuangan APBN, bansos sekitar Rp 496 triliun. Tahun 2009 misalnya hanya Rp 17 triliun, sekrang tahun 2024 Rp 496 triliun. Jadi, kemiskinan turun 2 persen selama kurang lebih 12 tahun, sementara Bansosnya naik ratusan triliunan. Ini something wrong,” kata Esther.

Oleh karena itu, menurut Esther, arah kebijakan pangan ini harus dibalikkan lagi, tidak hanya sekadar temporer. Dan menurunt dia, strategi kedaulatan pangan ini ada empat.

Pertama, enabling environment. Menurut Esther regulasi kedaulatan pangan harus dibenahi, utamanya sarana prasarana pertanian yang masih minim.

“Jadi, nanti monggo dari Bulog atau pemerintah khususnya Kementerian Pertanian (Kementan) diperbaikai. Artinya apa? Ini petani pengin nanam tidak ada pupuk, kalau ada mahal sekali. Kedua sarana prasarana pertanian itu juga minim, infratruktur minim. Artinya regulasi untuk mendorong sarana prasarana pertanian itu harus didorong,” kata Esther.

Kedua, lanjut Esther, production characteristics, yaitu bagaimana mendorong produksi, sehingga petani tidak susah.

“Kalau kita bicara sawit misalnya, sawit ini kan banyak perkebunan rakyat bagaimana mendorong perkebunan rakyat ini juga bisa berkembang setara dengan punya perusahaan. Kalau kita sawitnya makin banyak juga tentu ekspornya juga makin banyak, devisanya juga makin banyak,” kata Esther.

Ketiga market, market characteristics. Dikatakan Esther, kadang-kadang petani sudah memproduksi, tetapi tidak marketable, sehingga bergantung pada tengkulak.

“Harganya kalau tengkulak panen di kebunnya atau sawahnya itu pasti jauh lebih murah. Itulah mengapa orang tua petani, anaknya tidak boleh jadi petani. Jadi, ada problem. Tidak sama di Belanda petani gagah dan keren karena mereka punya penghasilan yang sama dengan pegawai pemerintahan,” kata Esther.

Keempat, alternative livelihood. Menurut Esther, petani yang sukses harus punya side income (penghasilan tambahan). Sebab, jika petani hanya mengandalkan hasil panen mereka akan terjebak dalam interlock deep dan akan tetap miskin.

“Jadi, dia terjebak dalam interlock deep, nggak punya penghasilan sehari-hari, dia ngutang dari warung. Nah, ketika panen dia memberikan hasil panennya kepada tengkulak itu. Jadi, ya, rugilah. Nah, petani yang bisa suskes adalah petani yang punya penghasilan lain. Misalnya, jadi tukang ngojek. Nah, nanti hasil panennya mereka simpan,” ujar Esther.

Di tempat yang sama, Fenny mengatakan, dari 12 komoditas pangan strategis yang dijaga pemerintah hanya sawit tidak pernah impor. “Jadi, 12 pangan yang strategis, hanya sawit yang tidak impor. Itu yang harus digarisbawahi,” kata dia.

Meski demikian, Fenny mengingatkan bahwa sawit dalam lima tahun terakhir mengalami stagnasi produksi yang hanya di 51 juta ton. Sehingga, ini harus menjadi perhatian pemerintah ke depannya.

“Jadi, kalau misalnya dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sawit itu berkembang di tahun 1980 dan berkembang pesat lagi pada 1986. Artinya itu sudah 38 tahun yang lalu,” ujar Fenny.

Terkait dengan kebijakan, kata Fenny, industri kelapa sawit masih menghadapi ketidakpastian dalam hal investasi. Padahal, sejak 2006 sawit sudah memberikan sumbangsi terhadap devisa negara.

Salah satu alasannya adalah banyaknya kementerian/lembaga yang mengurusi komoditas terbesar Indonesia ini. Nah, bagi investor, ini sangat menggangu. Belum lagi kebijakan yang tumpang tindih.

“Saya berharap ke depannya ada kebijakan satu pintu terkait industri kelapa sawit ini, mau dibawa ke mana, raodmapnya itu seperti apa, roadmapnya 10 tahun, 50 tahun lagi mau kemana, sehingga strateginya akan seperti apa, peusahan ini akan dibawa ke mana, petani ini akan gimana dan sinerginya akan seperti apa, termasuk juga harganya,” imbuh Fenny.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini