Papua sering menjadi sasaran Non Governmental Organization (NGO) dalam mengkampanyekan isu lingkungan. Bukan rahasia lagi, mereka diduga bekerja sesuai dengan proposal atau orderan oleh lembaga donor luar negeri.
Ketua DPW APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) Provinsi Papua, Albert Yoku mengatakan, Papua sering kali menjadi sasaran para aktivis atau NGO dalam mengkampanyekan isu lingkungan, hal ini harus ditertibkan pemerintah.
“Jadi pemerintah gak boleh mundur sejengkalpun dengan resolusi yang sudah ditawarkan Satgas Tata Kelola Industri sawit, hanya karena opini mereka para ‘penerima order’,” kata Yoku dalam jumpa pers mengenai peningkatan tata kelola industri kelapa sawit di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jakarta, Jumat (23/6/2023).
Yoku sependapat dengan petani di berbagai daerah, bahwa kebijakan pemerintah sudah benar dan resolusif. Ini semua untuk memastikan sawit Indonesia benar-benar clear dari kawasan hutan.
“Saya sependapat dengaan pendapat rekan-rekan petani di medsos bahwa Kebijakan Pemerintah sudah benar dan resolusif. Ini semua untuk memastikan sawit Indonesia benar-benar clear dari kawasan hutan. Kami tidak makan dari kawasan hutan tapi kami sejahtera dari usaha perkebunan sawit kami,” tegasnya.
Albert menegaskan urusan kawasan hutan jangan diatur-atur oleh mereka dengan mengatasnamakan oganisasi penyelamat lingkungan/NGO.
Albert yang juga merupakan Anggota Badan Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) dibawah kordinasi Wakil Presiden heran dengan tingkah NGO, kenapa mereka tidak berteriak ke Uni Eropa yang sudah membabat hutannya untuk pertumbuhan ekonominya.
“Mengapa para aktivis lingkungan ini tidak berteriak ke Uni Eropa sana yang sudah membabat hutannya (periode 2001-2021), kabarnya hampir dua kali lipat (21 juta hektar) dari total perkebunan sawit Indonesia ?,” tanya Yoku
Yoku menduga, akan banyak yang dirugikan jika permasalahan kawasan hutan ini di clearkan oleh pemerintah dan saya pikir sudah cukup selama ini mereka menikmati pundi-pundi dollar diatas penderitaan kami masyarakat Papua.
“Kami tidak boleh itu, tidak boleh ini, mereka lupa bahwa Papua itu memiliki tatatan adat budaya dimana hutan itu adalah dikuasai dan dikelola oleh masyarakat adat Papua dan kami jangan diajarin mereka bagaimana menjaga hutan kami,” ujar Albert.
Kami masyarakat Papua juga berhak bahagia dengan kekayaan sumber daya alam kami, kami juga menginginkan bentangan perkebunan sawit yang akan mensejahterakan masyarakat Papua.
“Saya juga tidak sependapat dengan istilah ‘pemutihan’ karena masyarakat sudah duluan ada disana baru muncul regulasi dan tugas pemerintah menyelesaikan itu kalaupun harus menggunakan istilah pemutihan,” jelas Albert.
Ia mengatakan seharusnya sebelum ditetapkan suatu kawasan hutan harusnya KLHK patuh dan tunduk dengan UU Nomor 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan, jadi tidak asal main sebut ini kawasan hutan, itu kawasan hutan.
“Sekali lagi saya berharap pemerintah tidak mundur sejengkalpun tentang resolusi yang sudah disampaikan oleh Pak Luhut Panjaitan. Namun demikian kami juga menaruh harapan supaya khusus petani sawit penyelesaiannya melalui jalur affirmative untuk resolusi tersebut,” ujarnya.
Lihat saja banyak sekali progam-program strategis pemerintah nyaris gagal total karena klaim-klaim kawasan hutan ini. Seperti misalnya PSR (peremajaan sawit rakyat), padahal program PSR ini adalah rohnya intensifikasi.
“Jadi dengan intensifikasi tidak perlu lagi menambah lahan, karena dengan PSR (intensifikasi) produktivitas lahan kami petani sawit akan melonjak 2-3 kali lipat,” tegasnya.
Menurut Albert bahwa resolusi sengkarut kawasan hutan ini harus kita jadikan kilometer nol kedepannya, ini adalah peluang untuk lebih baik, karena nantinya kepastian data akan terbuka dan negara akan mendapatkan haknya melalui pajak dan kewajiban lainnya.
Menurut Yoku, kebijakan pemerintah berencana untuk menyelesaikan perdebatan 3,3 juta hektar perkebunan sawit yang diklaim oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berada di kawasan hutan sudah tepat.
“Menyelesaikan saling klaim lembaga dan kementerian ini sering disebut dengan istilah pemutihan, meskipun istilah ini kurang tepat karena yang salah itu belum tentu sawitnya tapi “warna kawasan” yang berubah-ubah. Tentu menjadi catatan penting menjelang 78 tahun Indonesia merdeka, karena peramasalahan ini tidak kunjung terselesaikan,” kata Yoku.
Menurutnya, pemutihan merupakan upaya perbaikan tata kelola industri sawit yang dianggap semrawut. Dengan demikian, luas perkebunan sawit milik perusahaan, koperasi, serta rakyat menjadi jelas, taat hukum dan pajak negara pun lebih transparan.
Melihat kebelakang, lanjutnya, tentu akan sangat banyak yang disalahkan mulai dari KLHK, ATRBPN, Gubernur, Bupati, Camat, Kepala Desa, Rukun Warga (RW), Rukun Tetangga (RT), korporasi, koperasi dan petani sawit. Semua pihak ini memiliki andil terhadap kondisi saling klaimnya perkebunan sawit dan kawasan hutan.
”Perkebunan sawit yang ada di kawasan akan diputihkan. Mau diapakan lagi? Tak mungkin dicabut karena itu terpaksa diputihkan,” ujarnya.
Statemen Pak LBP ini langsung membuat ramai tanggapan dari berbagai pihak, ada yang mendukung, ada juga sedikit yang menolak.
“Disisi lain, petani sawit yang merasa teraniaya dan korban dengan klaim sepihak dari KLHK ini menyambut baik usulan dan strategi tuntas dari Pemerintah melalui Satgas Sawit yang berencana menyelesaikan saling klaim kawasan lintas kementerian dan lembaga pemerintah,” pungkasnya.