Petani Sawit Gelar Aksi Keprihatinan Soal EUDR di Kedubes Uni Eropa

0

Merespon Undang Undang anti Deforestasi Uni Eropa (EUDR/ European Union Deforestation Regulation), petani sawit Indonesia gelar ‘Aksi Keprihatinan; di depan kantor Kedutaan Besar Uni Eropa di Jakarta, Rabu, 29 Maret 2023.

Perwakilan petani sawit yang akan melakukan Aksi Keprihatinan adalah APKASIND0 (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), ASPEK-PIR (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat), SAMADE (Sawitku, Masa Depanku), Santri Tani Nahdlatul Ulama, dan FORMASI (Forum Mahasiswa Sawit) Indonesia yang berasal dari perwakilan 22 provinsi sawit Indonesia.

Komisi Uni Eropa sudah menyetujui untuk memberlakukan Undang-undang anti deforestasi EUDR (EU Deforestation Regulation) pada 6 Desember 2022 lalu. Ketentuan ini akan mengatur dan memastikan konsumen di Uni Eropa (UE) untuk tidak membeli produk yang terkait deforestasi dan degradasi hutan dimana salah satu pasalnya mengelompokkan sawit sebagai tanaman beresiko tinggi.

Undang-undang tersebut berlaku untuk sejumlah komoditas, antara lain minyak kelapa sawit, ternak, coklat, kopi, kedelai, karet dan kayu. Ini juga termasuk beberapa produk turunan, seperti kulit, cokelat, dan furniture.

“Ketentuan itu tentu saja sangat mempengaruhi salah satu produk andalan Indonesia yaitu kelapa sawit,” ujar Dr. Gulat ME Manurung saat orasi.

Sebenarnya Indonesia sudah mencangkan sawit berkelanjutan melalui sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) sejak tahun 2011 dan dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) tahun 2019, kemudian semua pelaku usaha tani baik korporasi maupun petani sawit diwajibkan memiliki ISPO melalui Perpres Nomor 44 Tahun 2020 Tentang Sistem Sertifikasi ISPO.

Diperaturan ISPO sebelumnya hanya korporasi yang diwajibkan (mandatory), sementara petani sawit tadinya hanya sukarela (voluntary). Demikian juga dengan sertifikasi RSPO yang sudah cukup banyak diadopsi oleh korporasi. Pun demikian, petani yang berhasil lolos mendapatlan sertifikasi ISPO per tahun 2022, baru 24.388 hektar atau 0,35% dari luas total lahan sawit petani 6,87 juta hektar.

“Memang ini menjadi masalah besar karena batas wajib ISPO untuk petani dan korporasi sudah dipatok oleh pemerintah di tahun 2025. Namun demikian yang perlu dicatat adalah semangatnya pemerintah dalam mencapai dan menuju sawit Indonesia berkelanjutan,” ujar Gulat.

Apalagi mengingat sawit merupakan pemasukan negara tertinggi khususnya pada 5 tahun terakhir dan sawit merupakan simbol kejayaan ekspor negara Indonesia. Wajar pemerintah sangat serius dengan upaya sawit berkelanjutan ini.

Dengan demikian, seharusnya UE cukup dengan mempertegas wajib sertifikasi bagi minyak sawit yang memasuki negara-negara UE, dengan memilih salah satu sertifikasi baik ISPO atau RSPO. Tidak perlu menerbitkan EUDR, karena sesungguhnya EUDR juga sudah terakomodir melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan bahkan sangat tegas dalam pola ruang peruntukan pemanfaatan lahan. Pernyataan sawit tanaman beresiko tinggi dalam EUDR adalah antithesis atas upaya Indonesia menuju keberlanjutan sawit.

Namun dalam perjalanan ISPO dan RSPO, justru produk minyak sawit yang sudah berhasil meraih sertifikat ISPO dan RSPO tidak terserap habis oleh pasar global. Bahkan hanya 60% dari produksi yang bersertifikasi ISPO atau RSPO.

“Hal inilah yang menimbulkan tanda tanya bagi kami petani sawit. CPO yang bersertifikasi sustain saja tidak terserap, untuk apa malah menerbitkan peraturan baru EUDR?” tanya Gulat.

Ini seperti permainan sepak bola, yang gawangnya selalu dipindah-pindah oleh UE. Ketika UE tahu bahwa Indonesia sudah mengarah ke keberlanjutan (ISPO), maka dengan cekatan UE merubah dengan regulasi baru (memindahkan gawang).

Perihal EUDR tersebut, Gulat menjelaskan bahwa dalam usaha lobi-lobi tentang penerapan nya paling tidak sudah 5 kali diadakan pertemuan antara APKASINDO dengan delegasi UE, dan sekali diantaranya dilakukan di Riau. Namun sepertinya tidak membuahkan hasil yang menggugah hati delegasi UE tentang nasib petani petani kecil pasca EUDR tersebut.

Dikisahkan Gulat bahwa dari beberapa kali pertemuan tersebut, yang paling membuat petani sawit sesak nafas adalah pertemuan diskusi terbatas yang terakhir (06/03/2023) yang difasilitasi oleh Kemenko Perekonomian.

Dipertemuan pertama, kedua, ketiga dan keempat, pemaparan tim delegasi UE masih mengatakan bahwa regulasi tersebut tidak akan menyakiti petani kecil, tapi dipertemuan selanjutnya lama-lama semakin melunjak dan memang dari dulu seperti itu untuk memojokkan sawit Indonesia.

“Saat Dubes UE dan rombongannya bersilaturahmi ke kantor Pusat DPP APKASINDO (10/2),dialog keterbukaan masih berjalan dan kami mencoba mempelajari pasal demi pasal dalam EUDR tersebut,” kisah Gulat.

Tapi dalam diskusi terbatas terakhir (06/03/2023) yang difasilitasi oleh Kemenko Ekonomi, malah membuat putus harapan petani sawit dan akan menimbulkan masalah baru kedepannya.

“Berbeda dengan pertemuan sebelumnya, pada diskusi terbatas tersebut, delegasi UE semakin tegas mengatakan “silahkan patuh kepada regulasi kami, maka kami akan membukakan pasar”. Ini artinya kalau tidak patuh ya jangan masuk ke UE,” tandas Gulat.

Gulat menambahkan, jika saja regulasi yang dikeluarkan UE masik akal tentu pihaknya tak berkeberatan.

“Tapi justru yang ada di EUDR itu adalah memojokkan sawit yang merupakan sebagai sumber pendapatan keluarga kami yang kami gunakan untuk biaya hidup sehari-hari, biaya sekolah anak-anak, biaya kesehatan dan lain-lain,” lanjutnya.

Memang UE yang terdiri dari 27 Negara bukanlah pengimpor tertinggi minyak sawit dari Indonesia, tapi ranking ke empat kadang kelima (4-4,5 juta ton/tahun). Menurut data Kemendag, Tiongkok dan India merupakan pangsa pasar terbesar ekspor minyak sawit nasional. Ekspor CPO ke kedua negara tersebut mencapai 29% dari total nilai ekspor sawit Indonesia. Anehnya meskipun UE sibuk mendiskreditkan minyak sawit, tapi impor 27 negara² yang tergabung dalam UE dari tahun ke tahun stabil dikisaran 4-4,5 juta ton per tahun.

Namun mendiskreditkan sawit sebagai sumber penghidupan 17 juta petani sawit dan pekerja sawit dengan modus deforestasi, sudah merupakan pelanggaran HAM.

Sebagai doktor di bidang Agro Ekosistem, Gulat mengingatkan bahwa berbicara mengenai keberlanjutan mencakup tiga dimensi utama, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial dan dimensi lingkungan. Dan ini harus saling seimbang dan berjalan setara.
“Tidak boleh salah satu dimensi justru meniadakan fungsi dimensi lain. Dan itulah yang sedang terjadi dengan regulasi EUDR ini dimana dimensi lingkungan sudah mengesampingkan dua dimensi lainnya dan kami memprotesnya,” terang Gulat.

“Semua pasti tahu bahwa akibat dari aturan UEDR ini pasti berdampak langsung kepada harga TBS (tandan buah segar) kami dan sekarang saja sudah anjlok dari Rp2.950/kg TBS sudah tinggal Rp2.100. Walaupun memang EUDR bukan satu-satu nya penyebab anjloknya harga TBS petani pada satu bulan terakhir,” tandasnya.

Pengurangan pasar ke UE diduga karena wajib menunjukkan sertifikasi bebas deforestasi dan ketelusuran lainnya, dan ini merupakan suatu hal yang memberatkan petani sawit kecil dan mustahil itu untuk penuhi karena harus dikerjakan oleh lembaga sertifikasi internasional dan berbiaya mahal.

“Asal muasal TBS kami harus terpetakan by name, by addres dan by koordinat. Itu mustahil,” tegas Gulat.

Mungkin UE lupa bahwa dari 16,38 juta hektar sawit di Indonesia, 42% atau 6,87 juta ha dikelola petani kecil yang merupakan sasaran empuk dari berbagai regulasi yang diterapkan tentang hulu-hilir sawit, seperti regulasi EUDR ini.

“Bukan rahasia lagi bahwa semua beban dihilir akan ditimpakan ke sektor hulu (TBS) dan peraturan UE ini secara nyata akan mengurangi harga TBS petani dan menurunnya serapan CPO juga dipastikan akan terkoneksi ke harga TBS kami petani sawit”, kata Gulat didamping Sekjend DPP APKASINDO, Rino Afrino.

“Kami minta keadilan dan saya yakin, warga masyarakat UE pasti tidak setuju jika dampak UEDR ini justru mengancam masa depan kami petani sawit. Kami ke kantor Dubes UE melakukan aksi keprihatinan untuk memastikan “kontruksi” pembicaraan saat Delegasi UE berkunjung ke kantor Pusat DPP APKASINDO dan dipertemuan sebelum dan setelahnya dengan asosiasi sawit lainnya,” lanjut Gulat.

Melalui aksi ini, terang Gulat, kami ingin Dubes UE membuat pernyataan tertulis bahwa regulasi EUDR itu tidak merugikan dan mengancam petani sawit dan menghapus label sawit tanaman beresiko tinggi.

“Kami sangat menghargai dan menghormati pertemuan-pertemuan yang sudah digagas sebelumnya terutama kunjungan Dubes dan pertemuan delegasi UE ke kantor pusat DPP APKASINDO, tapi kami juga punya hak mengatakan bahwa EUDR itu akan mengancam mata pencaharian kami dan nasib kami kedepannya,” tegasnya.

Aksi keprihatinan ke kantor Dubes UE yang dilaksanakan tanggal 29 Maret 2023 pada pukul 09.00 hingga 12.00 WIB ini karena kami ingin memastikan pasal-pasal terkait yang berdampak ke kami petani kecil dicabut. Demikian juga pasal sawit sebagai tanaman beresiko tinggi karena ini sangat menyakitkan petani kecil.

“Kami datang ke kantor Dubes UE dengan cara terhormat ingin meminta keadilan supaya peraturan yang sama juga diberlakukan ke petani penghasil minyak nabati di UE dan semuanya kami tuangkan dalam bentuk petisi petani sawit Indonesia yang akan kami serahkan langsung ke Dubes UE,” kata Gulat.

Intinya, tekan Gulat, adalah stop mendiskreditkan sawit, karena sawit adalah masa depan kami petani sawit Indonesia.

Diterangkan Gulat bahwa sesudah dari kantor UE, massa akan melanjutkan ke kantor Kementerian Luar Neger (Kemenlu) untuk memastikan Kemenlu menjadi yang terdepan dalam menjaga kami petani sawit dalam hal lobi perdagangan minyak sawit.

Mengamati kondisi derasnya kampanye negative sawit, maka petani sawit juga mendesak pemerintah melalui petisi kepada Presiden Jokowi untuk mempercepat program intensifikasi Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), sarana prasarana, terkhusus penyelesaian status kawasan hutan yang masuk ke perkebunan sawit rakyat.

Menurut Gulat, penyelesaian kawasan hutan yang masuk ke perkebunan sawit rakyat dapat diselesaikan melalui pendekatan Undang Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya atau dengan pendekatan konsep penyelesaian Affirmative Action (tujuan tertentu dengan kekhususan sasaran). Lambannya realisasi program tersebut menjadi kerugian yang besar bagi petani sawit dan negara Indonesia.

Untuk itu, setelah ke kantor Dubes EU dan Kemenlu, maka perwakilan dari 5 asosiasi (APKASINDO, ASPEK-PIR, SAMADE, SANTRI TANI NU dan Forum Mahasiswa Sawit Indonesia) akan lanjut ke Istana Presiden untuk mengantarkan surat petisi secara terbuka kepada Presiden Jokowi perihal EUDR ini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini