Presiden Joko Widodo (Jokowi) meyakini bahwa Indonesia akan mencapai swasembada gula dalam lima tahun ke depan. Namun, petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) meragukan ihwal itu. Sebab, prasarananya tidak memadai mulai bibit dan pupuk untuk menghasilkan tebu dengan kualitas baik susah didapatkan.
Dalam melakukan kunjungan kerjanya ke Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, baru-baru ini, Jokowi menyatakan rasa optimismenya terhadap pencapaian target swasembada gula dalam lima tahun ke depan.
Dia menjelaskan, sistem tanam yang baik, tingkat kesuburan tanah, serta varietas unggul dari tebu yang ditanam saat ini mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi gula secara nasional.
“Ini kita telah memulai sesuatu yang baru untuk urusan tebu karena kita gunakan varietas yang paling baru,” kata Jokowi.
Penanaman tebu seperti yang dilakukan di Kebun Tebu Temu Giring, ujarnya, menjanjikan hasil maksimal. Selain tanahnya yang subur, varietas tebu yang ditanam juga lebih unggul daripada varietas tebu lainnya.
“Di sini tidak perlu pemupukan untuk yang nitrat, kemudian potas. Karena tanahnya sudah subur, tanahnya sangat bagus. Kedua, yang sudah ditanam ini yang sudah 26 hari, biasanya nongolnya (tumbuh) dua (batang), tapi di sini bisa nongol empat atau lima,” paparnya.
Dikatakannya, untuk meningkatkan produksi gula nasional hingga bisa mencapai swasembada gula lima tahun ke depan, pemerintah berencana membuka 700.000 hektar lahan untuk penanaman tebu.
Sejauh ini, lanjut dia, dari lahan 700.000 hektar yang dipersiapkan untuk pencapaian target swasembada gula sudah terealisasi seluas 180.000 hektar. “Kalau kita bisa menyiapkan 700.000 hektar, kita akan mandiri, kita akan swasembada gula dalam lima tahun. Sekarang baru dapat 180.000 hektar, sementara yang kita butuhkan 700.000 hektar,” paparnya.
Menurutnya, untuk membuka lahan 700.000 hektar sebagai lahan penanaman tebu, diperlukan langkah bertahap. Selain di wilayah Jawa, Jokowi juga membuka opsi untuk melakukan pembukaan lahan di luar Jawa.
“Ini tersebar. Budaya menanam tebu di Jawa Tengah bagus, Jawa Timur bagus, Jawa Barat juga bagus. Nanti kita juga akan lari ke luar Jawa, karena lahan 700.000 hektar itu juga bukan lahan yang kecil,” katanya.
Sebelumnya, pemerintah telah meluncurkan program revitalisasi industri gula nasional yang bertujuan untuk meningkatkan produksi gula hingga menciptakan swasembada gula di Indonesia, guna menjaga ketahanan maupun stabilitas pangan dan energi.
Untuk menciptakan swasembada gula, diperlukan peningkatan produksi gula dari 2,7 juta ton menjadi 4,7 juta ton, kemudian meningkat menjadi 5,7 juta ton. Kemudian, untuk mendukung peningkatan produksi gula nasional, diperlukan perluasan lahan sehingga pemerintah kemudian memutuskan untuk membuka lahan seluas 700.000 hektar.
Terlalu Banyak Regulasi
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan, swasembada gula memerlukan ketersediaan perkebunan tebu yang memadai. Untuk mencapai swasembada gula konsumsi, dibutuhkan tambahan lahan baru sekitar 200 ribu hektar (ha).
Sementara, untuk mencapai swasembada gula konsumsi dan industri, perlu tambahan lahan 600.000 ha. Sebab, dari tahun ke tahun, lahan tebu terus berkurang, dan saat ini hanya 410 ribuan ha.
Dia menilai, regulasi yang tidak dijalankan secara konsisten dan tidak berpihak pada petani merupakan salah satu penyebab penurunan kebun tebu. Pabrik gula baru atau perluasan yang seyogianya bermitra dengan petani tebu atau memiliki lahan tebu sendiri justru tidak memenuhi kewajiban tersebut. Karena pengawasan lemah, mereka lolos dari sanksi.
“Industri gula merupakan salah satu komoditas yang banyak aturan (over-regulated), terutama di hilir. Ironisnya, sebagian besar aturan itu tidak dilaksanakan secara konsisten. Karena dinilai tak efektif, dibuat aturan baru. Padahal, masalahnya ada pada pelaksanaan. Aturan-aturan yang ada, termasuk Permenperin 31/2021 diduga dibuat karena ada kepentingan tertentu,” urainya.
Khudori menjelaskan, secara umum, di Indonesia, saat ini ada dua jenis pabrik gula, yakni pabrik gula rafinasi untuk memasok keperluan industri makanan dan minuman (mamin). Lokasi pabriknya tidak jauh dari pelabuhan. Bahan baku pabrik gula ini sepenuhnya tergantung pada gula mentah impor.
Padahal, menurut UU No 39/2014 tentang Perkebunan, pabrik tersebut memiliki kewajiban untuk membangun kebun tiga tahun setelah unit olahan beroperasi. Tetapi, lewat UU Cipta Kerja No 11/2020 dan aturan turunannya, kewajiban itu menguap.
Lainnya, kata dia, adalah pabrik gula konsumsi, yaitu pabrik gula konsumsi warisan era kolonial Belanda. Pabrik-pabrik gula ini tergolong tua, berkapasitas kecil, kurang efisien, dan sebagian besar rata-rata tak punya lahan sendiri. Bahan baku tebu sepenuhnya mengandalkan dari petani, yang panennya tidak dapat memenuhi satu tahun giling.
Tipe pabrik gula lainnya, kata dia, adalah yang teknologinya modern, berkapasitas besar, efisien, dan punya lahan sendiri. Pabrik gula ini bisa memproduksi aneka produk, juga bisa menghasilkan gula konsumsi dan gula rafinasi sesuai perizinannya.
Namun, setelah memperoleh izin tersebut, kuota impor gula mentah malah dicabut, sehingga investasi yang sudah dikeluarkan menjadi sia-sia.
Menurut Khudori, kehadiran Permenperin 31/2021 memperkeruh keadaan. Karena dalam beleid itu, izin impor gula mentah untuk produksi gula rafinasi hanya diberikan kepada industri yang izin usahanya keluar sebelum 25 Mei 2010, sedangkan pabrik gula baru tidak mendapatkan jatah impor gula mentah lagi. Akibatnya, industri pengguna gula rafinasi di Jawa Timur berteriak.
Khudori mengaku heran mengapa ada Permenperin 3/2021. Sebelum beleid ini ada, impor gula mentah dan pasokan gula aman-aman saja. Seharusnya, pemerintah tidak mengeluarkan aturan baru yang membikin keruh dan bersifat diskriminatif.
Dalam jangka pendek, kebutuhan gula rafinasi industri di Jawa Timur dan Indonesia timur harus dijamin dengan harga kompetitif. “Pemerintah yang mengeluarkan perizinan usaha, pemerintah pula yang wajib memastikan semua industri mendapat jaminan bahan baku gula mentah impor dan gula rafinasi. Kebijakan seharusnya tidak menyulitkan. Ada baiknya Permenperin 3/2021 segera direvisi,” pintanya.
Perlu Ada kolaborasi
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengaku pesimistis terhadap target pemerintah dalam mewujudkan swasembada gula pada tahun 2027.
Pangkal soalnya, selama ini antara petani, pabrik dan pemerintah masih terdapat jarak yang jauh.
Selain itu, kebutuhan dari petani, mulai dari bibit dan pupuk untuk menghasilkan tebu dengan kualitas baik masih susah didapatkan.
“Kalau kebutuhan-kebutahan kami didengarkan atau di-manage dengan baik oleh pemerintah, pabrik gula terkait bibit yang akan ditanam dan sebagainya, maka saya yakin swasembada pangan akan terwujud,” katanya.
“Yang menjadi pertanyaan itu, 700 ribu lahan yang akan disediakan itu, dimana? Apakah mudah lahan dengan 700 ribu hektar berdekatan dengan pabrik? Tebu kan harus digiling di pabrik. Dan itu belum tentu,” tambahnya.
Jika kondisi tersebut sampai terjadi, menurut Soemitro, swasembada gula akan mengalami kegagalan seperti yang sudah-sudah dilakukan pemerintah terdahulu.
Hal itu dikarenakan tidak adanya kolaborasi antara para petani dengan pabriknya. “Kita pengalaman di Kalimantan pada zamannya Orde Baru, yang begitu terhadap pertanian, toh itu gagal juga kan. Karena tidak ada sinkronisasi antara petani dengan pabriknya,” katanya.
Dia juga mencontohkan rencana lain yang gagal di Sulawesi Selatan. Kegagalan tersebut juga disebabkan karena jarak pabrik gula dan lahannya itu berjauhan.
“Pabrik gula di Sulawesi Selatan, dulu pertama kali berdiri itu menghasilkan 75 ribu ton gula. Sekarang tinggal separuhnya saja. Hal itu karena pabrik dan tanamnya tidak bersinergi,” katanya. ***