Produksi Kakao Nasional Terus Merosot

0
Komoditas kakao.

Penurunan produksi kakao nasional terjadi karena umumnya tanaman sudah berumur tua sehingga produktivitasnya sangat rendah. Bahkan diperkirakan hanya 217 kg/hektar/tahun, padahal potensinya bisa mencapai 2000 kg/ha/thn. Yang lebih menganggetkan, Indonesia bukan lagi produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia, tetapi sudah melorot menjadi urutan ke enam.

Pergantian Menteri Pertanian dan Direktur Jenderal Perkebunan ternyata belum membawa perubahan positif terhadap produksi biji kakao nasional. Berdasarkan data yang diunduh dari laman Badan Pusat Statistik (BPS) produksi biji kakao malah semakin menurun.

Dari data BPS diketahui biji kakao yang diekspor selama tahun 2019 sebesar 30.835 ton, kakao olahan yang diekspor sebesar 285.786 ton dan biji kakao yang diimpor sebesar 234.894 ton. Dengan melakukan metode konversi kakao olahan terhadap bahan baku didapatkan total produksi biji kakao tahun lalu hanya sebesar 217.090 ton. Sementara produksi biji kakao tahun 2018 sebesar 257.258 ton, artinya ada penurunan sebesar 40.169 ton atau 18%.

Menurut Sindra Wijaya, pelaku industri pengolahan kakao, penurunan produksi kakao nasional terjadi karena umumnya tanaman sudah berumur tua sehingga produktivitasnya sangat rendah.

“Jika kita asumsikan luas areal kakao yang produktif sekitar 1 juta hektar, maka produktivitasnya hanya sekitar 217 kg/hektar/tahun. Artinya produktivitas kakao nasional sangat rendah padahal potensinya bisa mencapai 2000 kg/ha/thn. Ditambah lagi dengan serangan hama PBK dan VSD yang hingga kini belum bisa diatasi dengan tuntas,” kata Sindra baru-baru ini.

Menurutnya, luas areal kakao nasional yang diklaim oleh Kementan seluas hampir 1,7 juta hektar diragukan keakuratannya, karena dalam beberapa tahun terakhir banyak perkebunan kakao terutama di Pulau Sulawesi telah beralih menjadi perkebunan Kelapa Sawit, Jagung, Padi dan lain-lain.

“Alih fungsi lahan terjadi karena pemerintah dalam beberapa tahun terakhir terus menggenjot produksi sawit, padi, jagung dan kedelai. Sementara lahan perkebunan semakin terbatas, akibatnya lahan perkebunan kakao menjadi sasaran alih fungsi lahan. Kondisi ini telah menyebabkan luas areal dan produksi kakao semakin tergerus secara signifikan,” jelasnya.

Sindra menjelaskan, harapan untuk peningkatan produksi kakao nasional sebenarnya ada pada saat Presiden Jokowi mencanangkan Indonesia sebagai produsen kakao terbesar dunia. Pencanangan diucapkan beliau pada saat mengunjungi Mamuju, Sulawesi Barat pada akhir tahun 2014. Program revitalisasi kakao dibuat dengan focus pada peremajaan dan rehabilitasi tanaman.

“Tapi sayang anggaran untuk program ini tidak konsisten diterapkan, sehingga harapan tinggal hanya harapan,” tambahnya.

Akibatnya industri kakao yang sudah terlanjur ekspansi dan investasi mesin-mesin pengolahan biji kakao terpaksa melakukan impor bahan baku dari Afrika. Sebenarnya sejak tahun 2014 Indonesia bukan lagi berstatus sebagai negara pengekspor biji kakao, tetapi sudah menjadi negara pengimpor biji kakao. Volume biji kakao yang diimpor pada saat itu sebesar 109.000 ton dan pada tahun 2019 sudah mencapai 234.894 ton.

Harapan berikutnya muncul pada akhir tahun 2018 dimana Wapres Jusuf Kalla menginstruksikan Menteri Pertanian untuk segera meningkatkan produksi kakao. Instruksi ini dijawab oleh Menteri Pertanian dengan membuat anggaran untuk kakao sebesar Rp.10 Triliun. Tapi lagi-lagi harapan tinggal hanya harapan, faktanya produksi kakao terus merosot secara signifikan.

Lucunya Kementerian Pertanian ternyata hingga saat ini masih belum mau mengakui bahwa produksi biji kakao telah merosot signifikan.

Menurut data yang diunduh dari laman Kementan didapat bahwa produksi kakao tahun 2019 diprediksi sebesar 596.477 ton dan produksi kakao tahun 2018 sebesar 593.833 ton. Artinya data produksi yang tidak akurat di Kementan selama bertahun-tahun belum juga ada perbaikan. Padahal Presiden dan Wakil Presiden dalam beberapa kesempatan meminta agar data di Kementan segera diperbaiki.

“Sebenarnya data yang tidak akurat ini juga yang menjadi bumerang bagi pemerintah dalam membuat kebijakan. Misalkan Kementan mengajukan anggaran untuk peningkatan produksi kakao kepada DPR, tapi argumentasinya menjadi tidak kuat karena menurut data Kementan produksi kakao masih berlimpah. Begitu juga pada saat Kementerian Perindustrian meminta agar ada kemudahan impor biji kakao karena kebutuhan industrinya tidak bisa dipenuhi oleh biji kakao local. Permintaan ini akhirnya tidak bisa dikabulkan karena menurut data Kementan produksi kakao masih berlimpah,” kata Mantan Wakil Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia.

Jika Kementan tidak percaya dengan kalkulasi yang dibuat oleh Asosiasi bisa mengambil data dari ICCO (International Cocoa Organization). Berdasarkan data yang diunduh dari laman ICCO produksi kakao Indonesia tahun 2018 sebesar 240.000 ton dan tahun 2019 diestimasi sebesar 220.000 ton, sementara menurut Kementan produksi tahun 2019 sebesar 596.833 ton. ICCO sebagai organisasi dunia tentunya tidak sembarangan dalam merilis data.

Karena produktivitasnya yang semakin rendah dan ditambah pengenaan PPN 10% atas transaksi biji kakao sejak tahun 2014 membuat para petani enggan untuk mengembangkan tanaman kakao. Ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah terutama Kementerian Pertanian. Jika tidak maka kakao yang pernah menjadi kebanggaan nasional hanya tinggal nama. Yang lebih menganggetkan lagi menurut data ICCO yang terbaru ternyata Indonesia bukan lagi produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia, tetapi sudah melorot menjadi urutan ke enam. Ini sangat miris, tetapi faktanya memang demikian.

Menurut Sindra, pemerintah perlu mengambil langkah segera demi untuk menyelamatkan kakao dari bumi nusantara. Langkahnya sebagai berikut :

1. Data produksi biji kakao di Kementan diperbaiki segera sesuai realita. Tunjuk pihak independen untuk membuat metode kalkulasi yang akurat. Libatkan semua dinas perkebunan di seluruh provinsi untuk membuat data yang akurat, jangan lagi data yang ABS (Asal Bapak Senang).

2. Undang semua stakeholder kakao dan para ahli untuk memberikan masukan yang konkret untuk peningkatan produksi kakao.

3. Buat anggaran revitalisasi kakao yang focus pada program peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi secara berkesinambungan. Wajibkan seluruh stakeholder untuk turut berpartisipasi seperti eksportir, industry kakao, industry hilir dan lain-lain.

4. Bebaskan biji kakao dari pengenaan PPN 10% karena biji kakao adalah komoditi primer yang tidak sepatutnya dikenakan PPN.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini