Produktivitas kakao di Indonesia mengalami penurunan signifikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk usia tanaman yang sudah tua, alih fungsi lahan, dan dampak cuaca ekstrem seperti El Nino.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI), Arief Zamroni memperkirakan, produksi kakao tahun ini antara 50 ribu-200 ribu ton, turun drastis dari angka biasanya yang mencapai sekitar 300 ribu ton per tahun.
“Ini belum bisa diprediksi, tapi feeling saya sih untuk tahun ini turun hampir separuh,” kata Arief saat dihubungi Majalah Hortus lewat aplikasi perpesanan, Jakarta, Jumat (28/6).
Menurut Arief, penurunan produksi ini karena sebagian besar lahan kakao saat ini sudah tua. Penurunan produktivitas ini diperparah oleh dampak cuaca ekstrem yaitu El Nino.
“Produktivitas kita turun akhir-akhir ini memang dampak El Nino. Ini juga luar biasa, sehingga mengakibatkan harga kakao menjadi anomali, tidak wajar,” tambah Arief.
Kemudian, lanjut Arief, penurunan produksi juga disebabkan oleh hama penggerek buah dan hewan seperti monyet dan tupai yang belum bisa diatasi.
“Memang adanya hama penggerak buah ada di beberapa tempat belum bisa diatasi. Termasuk hama dari hewan ada monyet, tupai itu juga ada beberapa tempat yang belum bisa diatasi,” kata dia.
Tantangan Industri Kakao
Arief mengatakan, tantangan yang dihadapi industri kakao saat ini adalah generasi petani kakao yang semakin menua tanpa adanya regenerasi yang memadai.
“Banyak petani kita yang sudah tua dan tidak dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Ini terjadi di beberapa tempat secara signifikan,” ujar Arief.
Kemudian, maraknya alih fungsi lahan. Menurut data Askindo, luas lahan kakao saat ini sekitar 500 ribu hektare, jauh dari angka 1,4 juta hektare yang dicatat Kementerian Pertanian (Kementan).
“Luas lahan 1,4 juta hektare itu data tahun berapa. 1,4 itu di puncak itu dan itu pasti datanya pemerintah. Kita sih kurang dari 1 juta hektare. Paling tinggal 500 ribu hektare,” kata dia.
Faktor menurunya luas lahan ini karena banyak petani yang beralih menanam tanaman lain seperti sawit dan tebu karena perawatan kakao yang lebih rumit.
Kakao itu tanaman kebun yang relatif harus dirawat, beda dengan sawit. Tanaman kakao dengan sekian luas butuh sangat perawatan biasanya kan tenanganya tidak cukup,” jelas dia.
Masalah lain mengapa lahan kakao dialih fungsikan karena fluktuasi harga komoditas ini sangat ekstrem.
Fluktuasi harga kakao juga sangat gila loh. Di tingkat petani itu sebelum El Nino, sebelum kenaikan gila-gilaan masih ada loh dibeli kurang dari Rp 20 ribu per kg. Jadi sudah prouktivitansya rendah dijualnya juga sekian itu kan tidak menarik,” papar Arief.
“Petani kita itu kan raja. Kalau merasa tidak untung dibabat, diganti. Mau pemerintah teriak-teriak, ngapain tanah saya kok. Ini terjadi di beberapa tempat,” sambung dia.
Menurut Arief, untuk menekan alih fungsi lahan diperlukan upaya masif dari pemerintah dan berbagai pihak terkait.
“Gerakan nasional kakao yang masif lagi bisa membantu mendongkrak produksi kakao. Selain itu, adanya pendamping lapangan yang mendukung petani juga sangat penting,” tambah dia.
Di samping itu, Arief menyoroti pentingnya dukungan dari pemerintah dan industri dalam negeri untuk menjaga kualitas dan produktivitas kakao.
“Konsentrasi pemerintah saat ini lebih ke sawit, jagung, dan kedelai. Diperlukan perhatian lebih pada komoditas kakao untuk memastikan keberlanjutan produksi,” kata dia.
Kakao merupakan salah satu komoditas strategis nasional yang memiliki peran penting dalam ekonomi Indonesia. Kakao menduduki posisi ketiga sebagai penyumbang devisa setelah sawit dan karet.
“Dengan dukungan yang tepat, Indonesia dapat mempertahankan dan meningkatkan produksi kakao, serta mengoptimalkan potensi kakao,” pungkas Arief.