Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) memprediksi, tren penurunan produktivitas tebu dalam negeri akan kembali terjadi pada tahun ini. Terdapat sejumlah persoalan yang terjadi pada produksi gula dalam negeri, seperti gagal panen hingga penurunan jumlah produktivitas.
Hal tersebut disampaikan Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikoen dalam saat webinar bertajuk Permasalahan, Kelembagaan dan Kerja sama Petani Dengan Pabrik Gula yang diselenggarakan oleh PT Riset Perkebunan Nusantara dan Universitas Brawijaya, baru-baru ini.
Menurutnya, terdapat berbagai persoalan di lapangan terjadi. Mulai dari biaya ongkos petani yang lebih tinggi hingga produktivitas tebu yang rendah. Selain itu gagal panen dibeberapa daerah turut menjadi penyebab penurunan jumlah produksi.
“Saya tidak yakin produksi kita lebih tinggi dari tahun lalu. Ada yang mau bekerja tapi ongkosnya tambah dong untuk jamu, sehingga ada biaya ekstra meningkatkan biaya produksi,” kata Soemitro.
Selain itu, pihaknya meminta pemerintah fokus pada upaya intensifikasi ketimbang langkah ekstensifikasi yang mengandalkan perluasan lahan. Pasalnya, gairah petani untuk memperluas area penanaman akan timbul jika produktivtas tebu dengan benih unggul bisa dicapai.
Soemitro menambahkan, yang paling dibutuhkan saat ini yakni peningkatan kualitas dan produksi tebu per hektare (ha). Kemudian diikuti dengan peningkatan rendemen di pabrik gula sehingga produksi gula yang diperoleh bisa lebih besar sekaligus lebih berkualitas.
“Pemerintah setiap kekurangan produksi selalu dijawab dengan ekstensifikasi. Naikkan dulu produktivtas karena dengan itu kita bisa menekan biasa turunkan biaya produksi,” kata Soemitro.
Sebagai gambaran, rata-rata produktivitas tebu di perkebunan milik Holding PTPN III berkisar 67 ton per ha. Diperoleh produksi tebu 4,67 ton per ha dengan rendemen 7 persen. Dengan kondisi tersebut, biaya produksi gula saat ini di kisaran Rp 10 ribu per kg.
Soemitro menginginkan agar produktivitas tebu bisa dinaikkan menjadi 100 ton per hektare (ha). Adapun rendemen bisa meningkat menjadi 10 persen sehingga produksi gula bisa naik menjadi 10 ton per hektare.
“Dengan luas tanam saat ini yang seluas 418 ribu hektare, kita bisa peroleh produksi gula 4,18 juta ton. Kalau ini bisa dicapai, biaya pokok produksi gula saya yakin bisa turun jadi Rp 7.600 per kg,” kata Soemitro.
Dengan biaya pokok yang murah, harga jual gula dalam negeri pun bisa ditekan namun petani tetap bisa meningkatkan kesejahteraan. “Oke harga turun, tapi produktivitas naik, petani akan senang dan pertambahan areal tanam akan terjadi secara alami. Memang, itu tidak bisa langsung,” ujarnya.
Biaya Produksi Tinggi
Tingginya biaya produksi gula nasional menjadikan harga gula di Indonesia menjadi salah satu yang termahal di dunia. Diperlukan peningkatan efisiensi produksi gula dan peningkatan produktivitas untuk dapat menekan harga gula tanpa mengurangi pendapatan petani tebu.
Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bustanul Arifin, mengakui jika saat ini produksi tebu dalam negeri memang tergolong rendah. Hal ini akibat belum adanya pembaharuan dari sisi teknologi.
Untuk itu, Bustanul menyarankan supaya produksi gula bisa lebih efisien lagi. Salah satu caranya dengan meningkatkan investasi di sektor riset dan teknologi.
“Persoalan produksi rendah, lalu di hilir kita juga sudah paham soal pabrik gula yang sudah tua dan seterusnya,” katanya.
Bustanul, memaparkan, berdasarkan data International Trade Center tahun 2020, indeks biaya produksi gula di Indonesia mencapai 192 poin. Sementara Brazil, yang juga menjadi negara produsen gula hanya mencatat indeks dengan 100 poin.
“Kita sudah ditengarai indeks biaya produksi yang paling mahal, kita juga menjadi importir gula terbesar di dunia. Tahun lalu impor kita tercatat ada 4,1 juta ton. Melebihi China dan AS,” kata Bustanul.
Bustanul mencatat, areal pertanaman tebu tahun lalu tercatat turun 2 persen yakni tersisa 416 ribu hektare. Itu berdampak pada penurunan produksi tebu sekitar 3,2 persen menjadi sekitar 27,7 juta ton dan tercermin kepada turunnya produksi gula sebesar 3,6 persen, menjadi hanya 2,1 juta ton. Padahal, rata-rata kebutuhan total gula nasional baik untuk konsumsi maupun industri saat ini mencapai 6 juta ton.
Menurut Bustanul persoalan pada industri gula terjadi baik di level hulu maupun hilir. Pada sisi hulu, usaha tani tebu tidak efisien karena produktivitas yang rendah. Di sisi lain juga terjadi persaingan dengan komoditas pangan lain yang juga menjadi konsentrasi pemerintah.
Adapun di hilir, sebagian besar pabrik gula di Jawa sudah berusia tua dan membuat proses produksi tidak efisien karena teknologi sudah jauh tertinggal. Namun di sisi lain, industri makanan dan minuman dalam negeri terus berkembang pesat. Hal itu mau tidak mau meningkatkan kebutuhan gula yang jalan keluarnya dipenuhi melalui impor gula, termasuk gula rafinasi.
Ia menilai, salah satu terobosan yang harus segera dilakukan dengan berinvestasi pada penelitan dan pengembangan pabrik gula. Meliputi perbaikan sistem perbenihan dan pembibitan, bongkar ratoon, serta penyuluhan petani tebu yang lebih tersistematis.
Hal lain yang tak kalah penting, harus ada insentif bagi petani tebu. Saat ini, petani tebu setidaknya harus menunggu selama 10 bulan untuk bisa mengantongi pendapatan. Itu kemudian diperkuat dengan konsolidasi lahan petani menjadi 5 hektare untuk mencapai skala keenomian.
“Harus ada sistem pembiayaan petani tebu yang mendukung cashflow menjadi 2-3 bulan dan konsolidasi lahan untuk meningkatkan produktivitas,” kata dia.