Budidaya kopi di Indonesia masih banyak menghadapi tantangan, sehingga produktifitasnya rendah dengan mutu yang tidak standar. Padahal, kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan sumber devisa negara. Pada tahun 2018 nilai ekspor kopi mencapai USD 815,9 juta, dengan volume mencapai 279,9 ribu ton.
Hal tersebut disampaikan Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) PT Riset Perkebunan Nusantara (PT RPN), Dr. Agung Wahyu Susilo saat peringatana Hari Kopi Nasional yang dihelat di Auditorium Gedung F Kementerian Pertanian, Rabu (11/3).
Menurut Agung, setidaknya ada beberapa permasalahan utama dalam budidaya kopi. Pertama, sebagian besar tanaman tua sehingga produktifitasnya rendah, baru mencapai 0,77 ton per hektare (ha) dinilai masih sangat kecil bila dibandingkan dengan potensinya yang mencapai 3 ton per ha.
“Solusinya adalah perlu peremajaan dengan bibit unggul yang memiliki produktifitas tinggi serta tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Selain itu, perlu perluasan area di luar sentra-sentra kopi yang sudah ada selama ini,” kata Agung.
Kedua, adanya kesenjangan penyediaan bahan tanam unggul, sehingga diperlukan metode perbanyakan massal dan sistem distribusinya.
Ketiga, belum seluruh petani mampu menerapkan Good Agricultural Practices (GAP) dengan baik. Untuk pelaksanaanya, Petani perlu pelatihan dan pendampingan. Sayang, masih ada keterbatasan tenaga penyuluh.
“Sedangkan yang keempat adalah, rendahnya minat generasi muda. Generasi muda lebih tertarik bekerja di perkotaan dibandingkan dengan menjadi petani,” jelasnya.
Menurut Agung, permasalahaan utama ini harus segera diperbaiki, sebab kopi merupakan sumber pendapatan utama > 2 juta keluarga petani dengan total luas areal pengembangan 1,2 juta ha.
Selain itu, lanjut Agung, perlu dilakukan sejumlah usaha lain seperti penyiapan bahan tanam unggul tahan hama/penyakit, metode perbanyakan bibit unggul secara massal, teknologi GAP yang tidak padat karya, efisien input produksi & keamanan pangan serta transfer teknologi dan kelembagaan petani.
“Pemberdayaan kelembagaan petani, pandampingan intensif dan berkelanjutan, peningkatan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia, pengaturan tata niaga, peningkatan ketersediaan investasi usaha, pengembangan kopi berdasarkan indikasi geografis, serta mendorong pengembangan kopi specialty atau produksi kopi khas daerah Indonesia,” jelas Agung.
Dengan berbagai upaya ini diharapkan pada 2045 Indonesia bisa menghasilkan 1,742 juta ton kopi per tahun dengan ekspor sebanyak 643.835 ton kopi. Adapun kebutuhan dalam negeri pada saat itu diperkirakan mencapai 1,033 juta ton.
Sementara itu, saat ini produksi kopi Indonesia baru mencapai 778.000 ton setara dengan 6,5 % produksi dunia. Produsen terbesar masih dipegang Brazil dengan kontribusi sebesar 27,3 %, disusul Vietnam dan Kolombia dengan dengan kontribusi masing-masing sebesar 21% dan 8,5 %.
Dalam kesempatan, itu Agung juga menyampaikan saat ini pasar kopi Indonesia banyak terdistori oleh ketiadaan jaminan mutu di mana produk-produk yang dijual kerap mendompleng nama kopi-kopi yang terkenal kualitas dan kenikmatannya.
Adanya praktik seperti ini menurutnya berpotensi membuat kopi asli dari Indonesia yang benar-benar terjamin kualitas dan mutunya masuk dalam daftar hitam di pasar luar negeri. Hal ini tentu akan mempersulit ekspor kopi.
Untuk menjawab tantangan ini, pengembangan kopi berdasarkan indikasi geografis dinilai bisa menjadi jawaban.
“Itulah misinya indikasi geografis. Kami memberi jaminan bahwa kopi yang menggunakan nama wilayah dengan standar kualitas maksimal dari wilayah itu dilindungi secara hukum,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Agung, untuk meningkatkan pendapatan petani perlu dilakukan budidaya kopi dengan terintegrasi.
“Misalnya, tumpangsari dengan aneka tanaman lainnya, jeruk keprok Siam, cengkih, makadamia, pala, lada dan yang lainnya,” pungkasnya.