Beberapa seminar akhir-akhir ini menyajikan beberapa indikator akan kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar global. Sehingga, keberadaan bisnis minyak nabati global ini, memberikan peluang besar bagi produk CPO dan turunannya di masa depan.
Bisnis minyak nabati termasuk CPO dan turunannya, kerap menjadi indikator pula bagi kesejahteraan masyarakat yang mengonsumsinya. Jika kesejahteraan meningkat, maka konsumsi minyak nabati juga akan bertambah. Produk CPO dan turunanya, kerap menjadi subtitusi bagi minyak nabati lainnya, lantaran penggunaannya yang paling lengkap dibandingkan yang lainnya.
Kejatuhan harga selama 2 tahun lebih, memang cukup mengguncang keberadaan bisnis CPO dan turunannya. Namun, kerjasama perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit yang erat, telah menyelamatkan industri ini dari kehancuran. Di sisi lain, perkebunan kelapa sawit memiliki peranan besar bagi ketahanan pangan masyarakat desa.
Akibat menurunnya harga CPO, berbagai aktivitas perkebunan banyak mendapatkan hambatan. Berkurangnya pendapatan yang diterima pekebun dari menjual hasil panennya, menjadi pemicu utama dari melesunya aktivitas perkebunan kelapa sawit.
Alhasil, hasil panen Tandan Buah Segar (TBS), ikut anjlok di kemudian hari. Salah satu caranya, melalui pengelolaan berkelanjutan, dimana pendapatan dari penjualan hasil panen, bisa didapatkan dari jumlah hasil panen yang selalu bertumbuh.
Kendati ada penurunan harga, namun dari hasil panen yang didapat selalu bertumbuh, maka jumlah pendapatan dari hasil panen bisa jadi tetap atau bertambah walaupun sedikit.
Menjaga pasar minyak sawit yang sudah ada, serta membuka berbagai peluang terciptanya pasar baru, juga menjadi kunci keberhasilan bagi minyak sawit Indonesia. Berbagai potensi terciptanya pasar, tentu saja perlu dukungan promosi minyak sawit kepada pasar global, sekaligus dukungan kuat dari Pemerintah Indonesia.
Selain tentu saja tetap menerapkan prinsip berkelanjutan, dikatakan Direktur Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO), Tiur Rumondang, memang kerap muncul pertanyaan dari berbagai pihak bila sudah masuk anggota RSPO apakah kemudian perkebunan kelapa sawit tersebut sudah sustainable?
Kata Tiur, untuk para pelaku sawit yang telah menerapkan praktik berkelanjutan, RSPO menjadi salah stau tools untuk mengukur sampai sejauh mana praktik berkelanjutan itu diterapkan dan dampaknya kepada perlindungan lingkungan. “Apakah dampaknya bisa mengurangi bencana atau justru menambah bencana, namun standar itu dibuat sebagai
tools pengukur dampak positif,” katanya.
Lebih lanjut kata Tiur, melalui theory of Change RSPO, menjadi upaya bagaimana pelaku perkebunan tidak memiliki pengaruh buruk terhadap lingkungan. “Misalnya dalam konteks sosial, banyak masyarakat yang tidak mengetahui haknya, maka itu kita perlu melakukan perbaikan secara bersama dalam proses pembukaan lahan sehingga, masyarakat tidak kehilangan lahan,” katanya dalam FGD Sawit Berkelanjutan Bertema
“Ketahanan Pangan Indonesia: Sawit Berkelanjutan,” Kamis (19/12/2019) diadakan InfoSAWIT di Jakarta.
Sementara dikatakan Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR), Herry Purnomo, pengembangan perkebunan kelapa sawit perlu terus dilakukan perbaikan, apalagi merujuk UUD 45 pasal 33 ayat 4 telah mengamanatkan pengembangan ekonomi berbasis praktik berkelanjutan. “Jadi jangan salah pada UUD 1945 amandemen telah mengamatkan pengembangan ekonomi berwawasan berkelanjutan,” katanya.
Peranan sektor sawit yang sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini semakin didukung oleh kebijakan dan arahan pemerintah. Pemerintah Indonesia telah menentukan target untuk mencapai produksi minyak sawit atau crude palm oil (CPO) sebesar 40 juta ton pada tahun 2020.
Selain itu, pemerintah juga memiliki target produktivitas yang disebut ‘Visi 35:26’ yaitu untuk dapat memproduksi buah sawit atau fresh fruit bunches (FFBs) sebanyak 35 ton per hektar dengan tingkat ekstraksi 26%.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah mencoba berbagai inisiatif untuk mendukung sektor swasta maupun petani sakala kecil diantaranya dengan mengalokasikan sejumlah lahan di kawasan hutan untuk penggunaan diluar kehutanan dan juga program reformasi agraria bagi petani skala kecil dan masyarakat.
Pembangunan sektor sawit erat kaitannya dengan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi ekosistem hutan dan gambut di Indonesia. “Dampak lingkungan tersebut tidak terkait dengan karakteristik tanaman sawit itu sendiri, namun lebih terkait ke proses pembangunan dan budidaya perkebunan sawit,” katanya.
Berbagai penelitian mengkaitkan perluasan sawit dengan alih fungsi hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan sehingga menyebabkan emisi gas rumah kaca yang cukup signifikan, serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Di sisi yang lain, pemerintah Indonesia telah memiliki komitmen terhadap dunia dalam upaya mengatasi dan mengurangi dampak perubahan iklim. Komitmen nasional yang merupakan bagian dari kerangka implementasi Kesepakatan Paris dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim menyebutkan, bahwa Indonesia akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030 tanpa bantuan dana internasional dan sebesar 41% jika dibantu dana internasional.
Salah satu upaya pengurangan emisi adalah melalui kegiatan berbasis lahan diantaranya pelaksanaan pertanian dan perkebunan berkelanjutan, pengurangan degradasi hutan dan deforestasi, konservasi lahan, dan energi terbarukan dari lahan yang terdegradasi.
Beberapa aspek keberlanjutan lingkungan menjadi lebih penting untuk
dipertimbangkan dalam strategi pengembangan sektor sawit untuk pertumbuhan ekonomi, diantaranya dengan tidak melakukan konversi lahan hutan untuk perkebunan dan aspek budidaya seperti persiapan lahan tanpa bakar.
Namun secara umum, negara telah mengamanatkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dalam konstitusinya. Regulasi nasional menyebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar berbagai prinsip, salah satunya adalah prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
“Oleh karena itu, pengembangan sektor sawit untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan tidak hanya berhubungan dengan komitmen Indonesia terhadap bangsa lain namun juga menyangkut dengan kepentingan bangsa Indonesia sendiri,” kata Herry.
Sektor hilir kerap didengungkan pemerintah, namun apa sejatinya pasar hilir sawit berpeluang dikembangkan? Toh buktinya sudah semenjak 2015 lalu porsi ekspor produk minyak sawit nasional sudah di dominasi produk hilir sawit.
Lantas sektor hilir mana yang menjadi fous kedepan? Terlebih pasar hilir sawit bila terkait oleokimia, maka akan masih sangat terbatas. Sementara bila terkait bodiesel bagaimana dengan potensi pasarnya sebab, bila harga minyak mentah terus lebih murah maka biodiesel menjadi tidak menarik.
Dikatakan Indra Budi Susetyo dari Tim Sawit Pusat Teknologi Agroindustri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), saat ini Industri oleokimia dasar Indonesia memiliki kapasitas terpasang cukup besar tetapi oleokimia hilir masih terbatas pada beberapa produk, seperti fatty alcohol ethoxylate dan Betain.
“Oleokimia hilir memiliki ratusan jenis produk,” katanya.
Lebih lenjut kata Indra, sejatinya sawit sangat strategis secara ekonomi, sebab itu perlu menjaga penyerapan produk sawit, perluasan peningkatan pasar, menjaga nilai tukar produk, lantas melakukan kontrol Supply.
“Meningkatkan nilai tambah dengan hilirisasi namun menjaga kecukupan kebutuhan dalam negeri, baik untuk pangan, energy, feed stock industry,” katanya.
Saat ini diakui atau tidak sawit telah menjadi perhatian pemerintah, lantaran keunggulan yang dimiliki dan kontribusinya terhadap devisa negara. “Sebelumnya sawit belum jadi perhatian,” kata Deputy Head of Corporate Sustainability Bumiatam Gunajaya Agro Group, Agam Fatchurrochman.
Terlebih harga sawit terus melonjak, bahkan hanya dalam waktu 2 bulan
kenaikannya sudah mencapai US$ 150/ton. Sehingga harga minyak sawit dan soyabean oil sudah hampir tidak ada perbedaan.
Kendati demikain pola pengembangan perkebunan kelapa sawit tetap mengacu pada praktik budidaya berkelanjutan. Misalnya kata Agam, untuk mengajak masyarakat menjauhi cara membuka lahan dengan cara bakar, perusahaan telah melakukan perjanjian sekitar 2 km dari batas kebun, perusahaan bisa membantu masyarakat dalam kegiatan pembukaan lahan pangan tanpa bakar.
“Itu salah satu cara kami dalam mengajak masyarakat dalam menjaga lingkungan,” tandas dia.