Sawit, Deforestasi dan Keegoisan Uni Eropa

0

Kolom
Sulthan Muhammad Yusa, S.E., M.IB

Pada Desember 2022, Dewan dan Parlemen Uni Eropa mencapai kesepakatan sementara atas usulan untuk meminimalkan risiko deforestasi dan degradasi hutan yang terkait dengan produk yang diimpor atau diekspor oleh Uni Eropa.  EUDR atau European Union Deforestation Regulations telah mulai diimplementasikan di tahun 2023 ini.

Permintaan UE untuk CSPO atau certified sustainable palm oil akan memberi tantangan yg lebih berat bagi industri minyak sawit Indonesia untuk memenuhi persyaratan keberlanjutan dan ketertelusuran yang ketat. Sejak 2018, parlemen UE telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi dan bahkan melarang produk minyak sawit untuk masuk pasar Eropa dengan berbagai sudut pandang, dari alasan kesehatan hingga tuduhan deforestasi.

Pertanyaan terbesarnya, apakah larangan minyak sawit di Uni Eropa sungguh menurunkan deforestasi dunia? Kurang lebih 85% Produksi global minyak sawit berasal dari Indonesia dan Malaysia, dan 10 hingga 15% di masuk ke wilayah Uni Eropa, sehingga secara global, kurang dari 5% dari produksi minyak sawit dunia akan menjadi subyek dari efek larangan minyak sawit.

Produk minyak sawit indonesia yang telah tersertifikasi CSPO sesungguhnya secara volume jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata angka ekspor ke UE, disamping itu, EUDR mewajibkan produk yang masuk ke UE bebas deforestasi terhitung mulai 2020, dimana di tahun 2020 hampir tidak ada pembukaan lahan baru untuk kebun sawit dari kawasan hutan. Sehingga implementasi EUDR tidak perlu ditanggapi terlalu berlebihan, namun perlu dipandang sebagai kebijakan lain dari UE dalam rangka mengurangi atau melarang minyak sawit sebagai kompetitor utama minyak nabati UE (sunflower dan rapeseed).

Beberapa kemungkinan dampak dan reaksi pasar terhadap kebijakan larangan minyak sawit di UE yaitu:

* Harga yang lebih rendah akan meningkatkan permintaan minyak sawit dari luar UE, sehingga sebagian besar minyak sawit yang tidak diekspor ke UE akan diekspor ke tempat lain. Hal itu sama sekali tidak berdampak terhadap pengurangan deforestasi atau melindungi petani swadaya dan komunitas di sekitar perkebunan

* Harga minyak sawit yang lebih rendah akan memperlebar jarak antara minyak nabati lainnya. konsumen minyak sawit di luar UE akan memiliki insentif yang lebih tinggi untuk mengganti minyak nabati lain dengan minyak sawit, sehingga meningkatkan permintaan minyak sawit.

* Produsen yang memasok minyak sawit ke pasar Eropa diharuskan terlebih dahulu mendapatkan sertifikasi CSPO, tentu dengan tambahan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, produsen yang telah terbukti produknya tidak berasal dari lahan deforestasi dan disertifikasi oleh sistem yang kredibel akan berpotensi kehilangan pasarnya dengan harga yang lebih tinggi sementara minyak nabati lainnya masih dapat diekspor meskipun ada ancaman deforestasi serupa. Produsen minyak sawit yang belum memiliki sertifikasi dan memasok pasar lain tidak termasuk dalam larangan, tetapi produsen bersertifikat dan bebas deforestasi justru kehilangan pasarnya, Insentif yang aneh untuk praktik produksi yang lebih berkelanjutan.

Hal ini memberikan sinyal yang jelas kepada produsen bahwa produksi yang lebih berkelanjutan tidak cukup dihargai oleh UE.

Sertifikasi keberlanjutan memiliki dampak positif yang meluas dengan menempatkan aspek sosial dan ekologi lebih tinggi dalam agenda perusahaan, sehingga mendorong kemajuan teknis dalam proses untuk menurunkan gas rumah kaca, meningkatkan kesadaran tentang kondisi sosial, dan pada akhirnya mendorong investasi untuk memodernisasi rantai pasok kelapa sawit.

Tujuan utama larangan kelapa sawit atau regulasi deforestasi UE yang diusulkan adalah untuk membatasi atau bahkan menghentikan deforestasi untuk perkebunan kelapa sawit. Faktanya kurang dari 5% minyak sawit yang diproduksi secara global masuk ke pasar Eropa, sehingga larangan dan regulasi tersebut akan memiliki dampak yang sangat kecil terhadap kondisi produksi di negara-negara pengekspor.

Dari perspektif Indonesia, secara volume pasar Eropa bukan merupakan tujuan ekspor utama, namun memang perlu penanganan khusus karena kebijakan-kebijakan UE dilihat dan didengar oleh dunia. Saat ini industri sawit Indonesia terus berbenah dan banyak melakukan upaya-upaya penciptaan pasar baru di dalam negeri, sehingga ke depan akan mengurangi ketergantungan pasar ekspor. Indonesia saat ini sudah menerapkan pencampuran Biodiesel yang berasal dari kelapa sawit sebesar 35% dan saat ini sedang dilakukan penelitian-penelitian untuk meningkatkan campuran biodiesel.

Penelitian lain yang juga sudah dilakukan adalah menggantikan atau pencampuran untuk bensin yang dikenal dengan bensin sawit dan produk pangan bernutrisi tinggi. Keegoisan Eropa dengan implementasi berbagai kebijakan dengan tujuan mengurangi impor minyak sawit, sesungguhnya merupakan perang dagang dan strategi proteksionis terhadap industri minyak nabati mereka, serta memiliki dampak yang sangat minim atau tidak ada terhadap deforestasi dunia. Dengan permintaan minyak nabati global yang tumbuh cepat, pasar akan selalu mencari pasokan lebih banyak. Kelapa sawit berada dalam posisi terbaik untuk mengisi permintaan yang terus meningkat tanpa risiko deforestasi yang lebih luas dengan produktivitas tertinggi di antara minyak nabati yang lain. ~smy

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini