Banyak tantangan dan permasalahan yang dihadapi industri sawit saat ini dan ke depan. Sebagian di antaranya terkait dengan kemitraan usaha, status lahan dan legalitas usaha perkebunan, serta peremajaan sawit rakyat. Kemudian juga larangan pemakaian sawit di Eropa karena budidaya sawit dinilai sebagai penyebab deforestasi.
Kelapa sawit merupakan anugerah Tuhan YME bagi Indonesia yang patut disyukuri karena potensi pengembangannya cukup besar. Namun, pengembangannya masih menghadapi berbagai kendala.
Hal tersebut disampaikan Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB), Achmad Mangga Barani dalam seminar bertajuk “Tantangan Perkelapasawitan Indonesia ke Depan: Menjawab Permasalahan Kemitraan Usaha”, di Jakarta, baru-baru ini.
Menurut Mangga Barani, kelapa sawit mempunyai peran penting bagi kepentingan nasional maupun global dan dari multiaspek; baik aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup. Oleh karena itu, agribisnis kelapa sawit, khususnya di Indonesia dapat dikatakan sebagai agribisnis yang Pro-Growth, Pro-Job, Pro-Poor, Pro-Devisa, Pro-Environment. Di samping itu, juga sesuai dengan The Tripple Bottom Line yaitu 3 P: People, Planet, Profit.
“Namun, selain memiliki berbagai keunggulan, kelapa sawit Indonesia juga memiliki berbagai tantangan dan permasalahan serius, baik terkait dengan aspek hukum, ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan hidup,” katanya.
Adapun tantangan dan permasalahan konkret yang dihadapi sawit, lanjut Mangga Barani, terutama terkait beberapa isu: kemitraan usaha, tata niaga dan pasokan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, lahan, legalitas usaha perkebunan, peremajaan sawit rakyat.
Selain itu juga, tuntutan sustainable palm oil (ISPO), kelembagaan pekebun kelapa sawit, status dan keberadaan pabrik kelapa sawit (PKS) tanpa kebun, penghimpunan dana perkebunan kelapa sawit dan peruntukannya, serta data dasar perkebunan kelapa sawit
“Juga belum diakuinya kontribusi langsung/nyata bagi pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten dalam APBD-nya, penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit, program green fuel/biodiesel, serta penghentian pemberian izin baru pada hutan alam primer dan lahan gambut,” jelas Mangga Barani.
Selain permasalahan dan tantangan di atas, masih ada lagi tantangan yang juga harus diselesaikan. Di antaranya, Parlemen Uni Eropa pernah mengeluarkan resolusi soal kelapa sawit dan pelarangan biodiesel berbasis kelapa sawit karena dinilai masih menciptakan banyak masalah, antara lain, terkait deforestasi, korupsi, penggunaan pekerja anak, dan pelanggaran HAM.
Bahkan, pada 13 Maret 2019 lalu, Komisi Eropa akhirnya memutuskan untuk melarang penggunaan bahan bakar kendaraan yang berasal dari minyak sawit. Alasannya, budidaya tanaman kelapa sawit dinilai sebagai penyebab deforestasi.
“Tak hanya itu, Komisi Eropa juga menerbitkan sejumlah kriteria guna menentukan tanaman atau komoditas yang menyebabkan kerusakan hutan dan lingkungan,” kata Mangga Barani.
Selengkapnya baca di Majalah HORTUS Archipelago Edisi Oktober 2019. Dapat diperoleh di toko buku Gramedia dan Gunung Agung Terdekat