The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) bersama Pemerintah Provinsi Jambi dan pemerintah kabupaten serta organisasi setempat telah mengadakan program nota kesepahaman (MoU) yang bertujuan untuk meningkatkan inklusi pekebun sawit dalam ekosistem yang berkelanjutan melalui skema sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Provinsi Jambi telah ditunjuk sebagai basis bagi projek percontohan ini. Pada 2021, data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa jumlah pekebun swadaya di Jambi mencapai lebih dari 290.000 rumah tangga, sehingga menjadikannya sebagai provinsi dengan jumlah pekebun swadaya terbesar setelah Riau dan Sumatra Selatan. MoU ini menunjukkan adanya upaya bersama untuk mendukung agar lebih banyak pekebun swadaya yang terlibat dalam pasar sawit berkelanjutan, mengingat sedikitnya jumlah pekebun swadaya yang bersertifikat saat ini.
Menurut data dari Kementerian Pertanian, meskipun pekebun menggunakan 40% dari total lahan pengembangan sawit di Indonesia untuk kegiatan produksi, tidak sampai 1% pekebun swadaya yang sudah bersertifikat RSPO atau ISPO. Program MoU ini menyediakan bantuan dan dukungan timbal balik untuk menerapkan sertifikasi ISPO bagi pekebun swadaya di Jambi sekaligus mendukung pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Program MoU ini diumumkan pada tanggal 11 Mei 2022.
“Ini merupakan skema percontohan pertama RSPO yang memanfaatkan kebijakan pemerintah untuk mendukung praktik berkelanjutan dalam produksi sawit oleh pekebun, dan kami berharap hal ini dapat menanamkan konsep pelibatan yang nyata dan efektif,” ujar Guntur Cahyo Prabowo, Senior Manager RSPO Smallholder Programme Indonesia.
Menurutnya, dengan kerja sama pemerintah dan para pihak lainnya, termasuk skema, standar atau inisiatif nasional, RSPO dapat mengatasi hambatan struktural bagi para pekebun sekaligus memastikan penegakan kebijakan yang konsisten untuk mendorong terjadinya perubahan berskala besar. Melalui hubungan dengan pemerintah sebagaimana dikehendaki, RSPO berupaya menjembatani antara pemerintah beserta para pihak berkepentingan yang memengaruhi kebijakan dengan sumber daya dan pengetahuan teknis yang dibutuhkan untuk memajukan kebijakan dan praktik sawit berkelanjutan yang bersertifikat.
Dedi Junaedi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, menyampaikan, sertifikasi ISPO di tingkat negara membuka jalan bagi produksi minyak sawit yang lebih berkelanjutan, dan kolaborasi dengan para pemangku kepentingan adalah jalan ke depan untuk mendorong perubahan berkelanjutan yang sistemik dan meningkatkan daya saing perkelapasawitan Indonesia.
“Dengan semakin minimnya ketersediaan lahan, rendahnya hasil panen yang dicapai oleh pekebun swadaya saat ini memberikan peluang luar biasa untuk meningkatkan produksi minyak sawit bersertifikat secara signifikan dari area tanam yang sudah ada,” tambah Agus Rizal, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi.
Selama ini, RSPO dan ISPO memiliki kendala yang sama dalam memberikan insentif kepada pekebun untuk memproduksi sawit berkelanjutan yang bersertifikat. Salah satunya adalah persyaratan pendaftaran lahan secara resmi sebelum dilakukannya proses sertifikasi, di mana hal ini bergantung pada kapasitas dan sumber daya pihak ketiga yang membantu pekebun. Kendala lain yang menghambat pekebun swadaya dalam mengajukan sertifikasi adalah rumitnya persyaratan untuk mematuhi dokumen-dokumen legalitas lahan.
“Dengan beralih dari pendekatan yang dapat digunakan untuk semua keadaan (one size fits all) ke strategi yang lebih terfokus dan berorientasi pada dampak, disertai model yang dirumuskan dengan baik dan terukur di kawasan-kawasan dan negara utama seperti Indonesia, RSPO hendak menyesuaikan jasa yang diberikannya kepada pekebun swadaya,” jelasnya.
Menanggapi kendala ini, Dewan Gubernur RSPO meminta Sekretariat RSPO untuk menjajaki potensi kerja sama dengan standar nasional. Sekretariat RSPO mengusulkan diberikannya dukungan teknis kepada petani agar dapat memperoleh sertifikat nasional karena dukungan ini akan membantu petani, khususnya di Indonesia, untuk bergabung dalam program yang memfasilitasi perolehan legalitas lahan.
ISPO telah memiliki kapasitas sendiri untuk mendukung petani dalam mendapatkan legalitas lahan untuk perkebunan sawit, tetapi kewenangannya masih dipegang oleh pemerintah daerah yang dalam hal ini masih memerlukan dukungan agar dapat memenuhi standar nasional.
Oleh karena itu, Dewan Gubernur RSPO telah menyetujui alokasi dukungan teknis kepada pekebun swadaya dengan menggunakan standar nasional. Penerapan program ini membutuhkan kerja sama berbagai pihak terkait di Indonesia untuk mendapatkan dukungan, termasuk di tingkat provinsi.
“Kolaborasi yang dilakukan dengan pemerintah daerah merupakan kunci untuk menciptakan keadaan yang dapat membantu mendorong peningkatan jumlah pekebun yang bisa memasuki sektor sawit yang berkelanjutan,” ujar Guntur. MoU ini bertujuan untuk membantu mendorong proses kerja sama agar pekebun dapat menerapkan agenda keberlanjutan dengan mendukung kepatuhan terhadap standar keberlanjutan nasional melalui sertifikasi ISPO.
Ia juga menambahkan bahwa dalam merancang MoU, terlihat jelas bahwa Pemerintah memegang kunci transformasi pasar, dan persyaratan hukum saat ini sangat membebani pekebun swadaya.
RSPO bekerja sama dengan Pemprov Jambi yang akan memfasilitasi pengambilan data untuk memenuhi persyaratan legal pekebun, serta dengan Pemerintah Kabupaten Tebo, Tanjung Jabung Barat, dan Sarolangun, yang akan mengoordinasikan penerbitan Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya (STD-B) dan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan Hidup (SPPL). Para pihak tersebut juga akan menyediakan fasilitator setempat untuk melatih dan membantu pekebun swadaya dalam menerapkan praktik perkebunan sawit yang sesuai dengan standar ISPO. LSM asal Jambi, SETARA, juga akan ikut mendukung penerapan praktik ini di tingkat lokal.