BPDPKS Ungkap Tantangan Industri Perkebunan Sawit

0
Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Sunari, pada Seminar Sawit 'Kontribusi Hulu-Hilir Kelapa Sawit dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Nasional', Kamis (29/8).

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyampaikan sejumlah tantangan industri perkebunan sawit yang memerlukan upaya bersama untuk mengatasinya. Tantangan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari hulu hingga hilir.

Tantangan pertama yang disebutkan Direktur Penghimpunan Dana BPDPKS, Sunari, adalah rendahnya produktivitas sawit rakyat.

“Angka di kami, produktivitasnya adalah 3,6 ton per hektare per tahun CPO. Kalau kita tanya TBS-nya, kali 4 saja. Jadi, antara 10, ya 12 ton TBS per hektare per tahun,” ujar Sunari pada Seminar Sawit ‘Kontribusi Hulu-Hilir Kelapa Sawit dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Nasional’, Kamis (29/8).

Tantangan selanjutnya adalah keberadaan lahan sawit dalam kawasan hutan. Saat ini, terindikasi sekitar 3 juta hektare sawit berada dalam kawasan hutan.

Selain itu, masalah legalitas perizinan juga masih menjadi tantangan. Banyak lahan kebun sawit yang belum memiliki legalitas yang lengkap, seperti Sertifikat Hak Milik (SHM), Hak Guna Usaha (HGU), dan Surat Tanda Bukti Daftar (STBD).

“Kemudian, perizinan. Ya, memang kalau ikut program replanting (peremajaan sawit) tidak perlu SHM gitu, ya. Boleh letter C, maupun bahkan hak komunal pun boleh,” kata Sunari.

Tantangan berikutnya adalah sarana prsarana yang kurang memadai. “Inilah mengapa sistem logistik dan harga di pekebun meningkat, serta cost production-nya juga ikut naik,” ungkap Sunari.

Dia menambahkan, BPDPKS telah menyediakan anggaran untuk perbaikan sarana dan prasarana. Proses pendanaan dapat dilakukan melalui Rekomendasi Teknis (Rekomtek). Setelah mendapatkan rekomendasi, BPDPKS akan segera mengalokasikan pendanaan untuk kebutuhan tersebut.

“Itu ada anggarannya di BPDPKS tinggal direkomtek CPCL ke kami, kami salurkan. Belum lagi DBH, dengan jalan-jalan yang semakin baik. Itu kita harapkan jadi pengungkit sistem logistik sawit lebih baik,” ujar dia.

Tantangan berikutnya adalah regulasi terkait industri perkebunan sawit. Regulasi perlu dibenahi karena, dalam setiap proses bisnis, kerangka kelembagaan, dan pendanaan, regulasi berfungsi sebagai komandan di depan.

“Jadi, kerangka regulasi harus kita benahi, termasuk saat ini memang saya sampaikan,  Perpres Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit sedang mengalami proses revisi,” kata dia.

Selanjutnya, tantangan lain yang perlu diatasi adalah hambatan akses pasar di beberapa negara tujuan ekspor, terutama Uni Eropa. Dalam era forum internasional saat ini, penting untuk mengikuti standar traceability guna memastikan akses pasar.

“Namun demikian, kita juga ke dalam memang begitu. Tapi kalau keluar, kita harus berani menyatakan, masa kita mau kaya nggak boleh. Kita kan sekarang tidak ada lagi negara donor, udah nggak ada lagi. Berdasarkan Paris Declaration, kita partner development. Jadi, sejajar kita nggak boleh, nggak bisa diatur sama Eropa,” tegas dia.

Selanjutnya, tantangan yang dihadapi adalah kampanye hitam atau Black Campaign. Ini adalah isu yang perlu ditangani secara serius. “Kita harus tegas mengatakan say no to black campaign,” ujar Sunari.

Tantangan berikutnya adalah hilirisasi produk sawit. Saat ini, pengembangan produk turunan dari CPO masih belum optimal. Namun, tren menunjukkan ekspor kini lebih fokus pada produk oleochemical dan produk hilir lainnya, bukan hanya CPO.

Selanjutnya, energi adalah aspek penting yang perlu diperhatikan. Sawit berperan krusial sebagai sumber energi terbarukan di Indonesia.

“Karena energi merupakan salah satu resource base yang memang harus kita kuasai. Kalau untuk Indonesia, sumber energi terbarukan adalah dari sawit. Karena tidak ada yang dapat menyaingi sawit,” ujar dia.

Terkait dengan sumber daya manusia, tantangan utama adalah meningkatkan pendidikan dan keterampilan pekebun. Banyak pekebun yang masih memiliki tingkat pendidikan rendah, seperti SMP ke bawah.

“Dengan stakeholder bersama-sama dengan stakeholder berjasa untuk bagaimana menjaring, bersama-sama dengan stakeholder kita dapat diserap belanja program untuk pengembangan sumber daya manusia melalui beasiswa D1 sampai D4,” kata Sunari.

“Tidak hanya siswanya, tidak hanya pendidikannya, tetapi kita juga mengadakan pelatihan bagi para pekabun dan penyuluhan kita tingkatkan. Karena dipundak mereka lah di aspek hulu,” kata dia menambahkan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini