Di layar besar Nusa Dua Convention Center terpampang peta hijau kelapa sawit Indonesia. Dari podium, Plt. Direktur Jenderal Perkebunan Roni Angkat menatap hadirin, seolah hendak mengingatkan: masa depan sawit Indonesia bukan hanya soal ekspor, tapi kemandirian di negeri sendiri.
“Industri sawit harus kuat dari hulu sampai hilir, dari kebun rakyat hingga pabrik biodiesel,” ujarnya membuka presentasi bertajuk Memperkuat Kebijakan Domestik Kelapa Sawit Indonesia dalam forum Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) ke-21, Kamis (13/11), di Bali.
Nada suaranya tenang, tapi setiap kalimat menancap seperti pengingat: bahwa sawit telah menjadi denyut nadi ekonomi desa dan penopang energi nasional. Data yang ia tampilkan tak main-main: total 16,38 juta hektare kebun sawit tersebar di seluruh nusantara. Dari luas itu, 6,94 juta hektare atau 42 persen dikelola petani rakyat, sisanya oleh perusahaan swasta dan BUMN. Sektor ini menampung 4,2 juta pekerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung.
“Ini bukan sekadar komoditas, ini sumber penghidupan,” kata Roni.
Sejak 2017, pemerintah menjalankan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dengan target 2,4 juta hektare. Namun, jalan menuju kebun produktif tidak selalu mulus. Syarat yang rumit dan verifikasi berlapis kerap membuat petani enggan mengurus.
Kini, kata Roni, semua disederhanakan. Dari 14 syarat pada 2017, kini hanya dua dokumen utama yang diminta: legalitas lahan dan kelembagaan pekebun. Proses verifikasi pun tak lagi melelahkan; cukup sekali lewat sistem daring terpadu antara pusat, provinsi, dan kabupaten.
“Kami ingin birokrasi jadi jembatan, bukan tembok,” ujarnya disambut tepuk tangan.
Hingga akhir Oktober 2025, luas kebun yang sudah diremajakan mencapai hampir 400 ribu hektare. Bukan hanya menanam ulang, tapi juga membangun kesadaran kolektif petani agar masuk dalam kelembagaan yang kuat dan transparan.
Kementerian, lanjut Roni, juga memperkuat kemitraan antara perusahaan dan petani. Regulasi baru mewajibkan setiap perusahaan perkebunan memiliki pola kerja sama yang adil—mulai dari penyediaan sarana produksi, pengolahan, hingga kepemilikan saham bersama masyarakat sekitar. “Kemitraan bukan belas kasih, tapi bagian dari ekosistem bisnis yang sehat,” tuturnya.
Sorotan Roni berikutnya tertuju pada hilirisasi. Dalam proyeksi pemerintah, produksi minyak sawit Indonesia bakal tembus 100 juta ton pada 2045. Dari angka itu, sebagian besar akan diserap pasar dalam negeri untuk biodiesel, pangan, dan produk turunan lainnya.
Tahun ini saja, kebutuhan biodiesel nasional mencapai 15,86 juta kiloliter CPO, sementara konsumsi minyak goreng domestik sekitar 10,59 juta ton. “Kita tidak boleh lagi mengekspor mentah besar-besaran. Nilai tambah harus diciptakan di dalam negeri,” kata Roni.
Kementan telah menyiapkan peta hilirisasi di sembilan provinsi, termasuk Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, hingga Sulawesi Selatan. Di wilayah-wilayah itu akan dibangun kebun inti 200 ribu hektare dan kebun plasma 400 ribu hektare lengkap dengan fasilitas pengolahan: pabrik biodiesel, margarin, hingga bio-propylene glycol. Program ini diperkirakan menyerap lebih dari 800 ribu tenaga kerja baru.
Bagi Roni, hilirisasi bukan sekadar strategi ekonomi, tapi juga pemerataan pembangunan. “Kalau sawit hanya berhenti di pabrik pengolahan, desa tidak akan tumbuh. Tapi kalau nilai tambahnya kita bawa ke daerah, masyarakat bisa naik kelas,” ujarnya.
Menjelang akhir presentasi, Roni menampilkan rangkaian kebijakan sawit berkelanjutan yang ditempuh pemerintah sejak 2007. Mulai dari moratorium hutan primer, pembentukan Badan Restorasi Gambut, hingga lahirnya sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang kini tengah direvisi agar lebih inklusif bagi petani rakyat.
Pemerintah juga menyiapkan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan 2025–2029, yang akan menegaskan keseimbangan antara produktivitas, konservasi, dan kesejahteraan sosial.
“Sudah saatnya kita berhenti membenturkan ekonomi dan lingkungan,” kata Roni dengan nada reflektif. “Keduanya harus tumbuh bersama. Sawit berkelanjutan bukan cita-cita masa depan, tapi kewajiban hari ini.”
Di akhir sesi, suasana ruang konferensi bergemuruh oleh tepuk tangan peserta—para pelaku industri, akademisi, dan petani yang datang dari berbagai penjuru negeri. Di layar, satu kalimat terakhir muncul dalam huruf besar: “Memperkuat Sawit Indonesia, dari Akar hingga Dunia.”





























