Produksi, Konsumsi, dan Ekspor Sawit Anjlok pada September: Sinyal Hati-Hati bagi Industri

0

Industri sawit Indonesia melewati September 2025 dengan catatan kurang meyakinkan. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) melaporkan penurunan tajam pada tiga indikator utama: produksi, konsumsi domestik, dan ekspor. Grafik yang biasanya menunjukkan pola kenaikan pada periode semester kedua justru bergerak melandai. Situasi ini membuat pelaku industri kembali menimbang ulang prospek penguatan pasar hingga akhir tahun.

Produksi minyak sawit mentah (CPO) pada September hanya mencapai 3,932 juta ton, merosot 22,32 persen dibanding Agustus yang mencapai 5,062 juta ton. Penurunan serupa terjadi pada produksi minyak inti sawit (PKO) yang turun dari 481 ribu ton menjadi 366 ribu ton. Meski secara bulanan industri mengalami perlambatan, performa tahunan justru lebih optimistis. Hingga September, total produksi CPO dan PKO mencapai 43,335 juta ton, naik 11,3 persen dibanding periode sama tahun lalu yang sebesar 38,937 juta ton.

Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sardjono mengatakan penurunan produksi bulanannya bukan kejadian luar biasa, tetapi intensitas koreksi tahun ini lebih tajam dari perkiraan. Menurut dia, beberapa faktor seperti curah hujan tidak merata, perawatan kebun yang tertunda, serta efisiensi pabrik yang belum stabil ikut menekan capaian produksi. “Siklus musiman tetap ada, tetapi penurunannya lebih dalam. Ini harus dicermati sebagai sinyal agar perbaikan produktivitas kembali menjadi prioritas,” ujar Mukti.

Selain produksi, konsumsi domestik juga melemah. GAPKI mencatat penurunan dari 2,1 juta ton pada Agustus menjadi 2,053 juta ton pada September. Penurunan terbesar terjadi pada segmen biodiesel yang turun 3,69 persen menjadi 1,07 juta ton. Meskipun program biodiesel masih menjadi motor stabilisasi serapan domestik, realisasinya melambat seiring penjadwalan ulang distribusi dan penurunan permintaan dari wilayah tertentu.

Konsumsi pangan juga tak luput dari pelemahan. Total serapan minyak sawit untuk industri makanan turun dari 806 ribu ton menjadi 793 ribu ton atau terkoreksi 1,61 persen. Satu-satunya sektor yang bergerak naik adalah industri oleokimia. Konsumsi segmen ini meningkat 3,83 persen dari 183 ribu ton menjadi 190 ribu ton. Meski volumenya tidak sebesar biodiesel atau pangan, oleokimia tetap menjadi indikator penting diversifikasi industri sawit karena permintaannya cenderung stabil untuk produk personal care, detergen, hingga farmasi.

Di sisi ekspor, kejatuhan jauh lebih tajam. Pengiriman produk sawit ke pasar global anjlok hingga 36,65 persen dibanding bulan sebelumnya. Total ekspor September hanya 2,2 juta ton, padahal pada Agustus masih mencatat 3,473 juta ton. Minyak sawit olahan sebagai kontributor utama ekspor ambles dari 2,343 juta ton menjadi 1,573 juta ton. CPO turun lebih dalam, dari 494 ribu ton menjadi hanya 91 ribu ton. Produk oleokimia yang biasanya lebih stabil ikut terkontraksi hampir separuhnya.

Pelemahan ini menunjukkan tekanan permintaan dari berbagai negara tujuan. India, pasar terbesar sawit Indonesia, mencatat penurunan impor hingga 409 ribu ton. China menyusul dengan penurunan 212 ribu ton, kemudian Malaysia, Afrika, Pakistan, Amerika Serikat, Uni Eropa, Bangladesh, hingga negara-negara Timur Tengah. Penurunan permintaan terjadi hampir merata, mencerminkan perubahan stok dan strategi pembelian negara-negara tersebut. Hanya Rusia yang mencatat kenaikan impor sebesar 18 ribu ton.

Mukti menjelaskan penurunan ekspor September bukan sekadar dampak pelemahan permintaan, tetapi juga penyesuaian rantai pasok global. Beberapa negara tengah menambah stok alternatif atau menahan pembelian karena menunggu harga lebih kompetitif. “Harga global sempat bergerak naik sehingga sejumlah negara menunda pembelian. Ini memengaruhi ekspor bulanan, walaupun secara tahunan nilai ekspor kita masih tumbuh,” katanya.

Nilai ekspor sawit September merosot 33,8 persen dari US$ 3,819 miliar menjadi US$ 2,528 miliar. Namun secara tahunan, nilai ekspor sepanjang Januari–September masih meningkat tajam, mencapai US$ 27,313 miliar atau melonjak 39,85 persen dibanding periode sama 2024. Kenaikan nilai tahunan ini dipengaruhi harga rata-rata minyak sawit global yang lebih tinggi. Sepanjang sembilan bulan 2025, harga CPO di Rotterdam berada di level rata-rata US$ 1.210 per ton, lebih tinggi dibanding rata-rata tahun sebelumnya yang sebesar US$ 1.020 per ton.

Dalam situasi menurunnya produksi, konsumsi, dan ekspor secara bersamaan, stok akhir September justru meningkat. Dengan stok awal 2,543 juta ton, produksi gabungan CPO dan PKO sebesar 4,298 juta ton, konsumsi domestik 2,053 juta ton, serta ekspor 2,2 juta ton, stok akhir bulan naik menjadi 2,592 juta ton. Kenaikan stok ini menandai pelemahan serapan dan potensi tekanan harga ke depan bila tidak diimbangi dengan pemulihan ekspor atau konsumsi.

Mukti menilai peningkatan stok tidak serta-merta buruk. Stok yang lebih tinggi dapat menjadi bantalan bagi industri ketika produksi menurun, tetapi ia mengingatkan agar pemerintah dan pelaku usaha memperkuat strategi pasar. Menurut dia, perlu ada dorongan diplomasi perdagangan yang lebih agresif, terutama ke pasar nontradisional. “Kita butuh penetrasi pasar baru. Ketergantungan pada negara besar membuat fluktuasi terasa sangat tajam,” ujarnya.

Dalam pandangan pelaku industri, tantangan di sisa 2025 terletak pada dua hal: memastikan produktivitas tetap terjaga di tengah kondisi kebun yang tidak merata, serta menstabilkan ekspor di tengah dinamika pasar global. Sembari itu, konsumsi domestik masih menjadi kunci penyangga, terutama melalui program biodiesel yang diharapkan kembali stabil dalam beberapa bulan ke depan.

Industri sawit Indonesia pernah lebih tangguh menghadapi tekanan permintaan global. Dengan catatan bulanan yang kini bergerak turun, pelaku usaha menanti apakah pertumbuhan tahunan yang masih positif cukup kuat untuk menopang kinerja hingga akhir tahun atau justru menjadi sinyal awal koreksi lebih panjang.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini