Hadapi Regulasi Eropa, ISPO Harus Jadi Instrumen Sistemik, Bukan Sekadar Pendampingan

0

 

Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) tidak boleh lagi dipandang sebatas program pendampingan. Ia harus ditopang sistem yang terintegrasi, mampu memberi kedaulatan data kepada petani, sekaligus menjembatani mereka menghadapi regulasi global seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR).

Pesan itu ditegaskan Country Manager Solidaridad Indonesia, Yeni Fitriyanti, dalam forum IPORICE 2025 di Jakarta.

“Kalau kita bicara ISPO, ini bukan lagi soal nilai tambah, tapi benteng terakhir petani. Tanpa sertifikasi, mereka akan terlempar dari pasar domestik maupun global,” ujar Yeni. Ia menekankan perlunya integrasi antara e-STDB, Sarpras BPDPKS, dan sistem sertifikasi dalam satu portal nasional. Menurutnya, pendekatan top-down dari pemerintah harus berjalan bersamaan dengan inisiatif bottom-up dari petani, termasuk pengelolaan platform digital koperasi untuk menjamin kedaulatan data.

Pandangan itu lahir dari stagnasi di lapangan. Hingga Juli 2025, baru 9 persen atau sekitar 69 ribu hektar lahan petani swadaya yang tersertifikasi ISPO, dari total potensi 6,7 juta hektar. Angka ini menunjukkan jurang besar yang mengancam posisi petani, apalagi di tengah ketatnya regulasi global.

Sejak Desember 2024, Uni Eropa resmi memberlakukan EUDR yang melarang masuknya produk berbasis deforestasi. Setiap produk sawit yang diekspor harus punya bukti transparan bahwa kebun asalnya tidak berasal dari kawasan hutan pasca tahun 2020. Aturan ini menuntut legalitas lahan, data spasial, dan keterlacakan penuh. Bagi perusahaan besar, kewajiban itu masih mungkin dipenuhi lewat teknologi satelit dan sertifikasi internasional. Namun, bagi petani swadaya yang rata-rata mengelola lahan 2–3 hektar, EUDR justru menjadi tembok tinggi.

Di tingkat nasional, persoalan makin kompleks. Petani masih mengeluhkan biaya berat dalam mengurus STDB, sementara penyerapan Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit untuk mendukung sertifikasi belum maksimal. “Kita tidak bisa berharap petani jalan sendiri. Sistem harus hadir untuk memangkas birokrasi dan menyediakan pembiayaan,” kata Yeni.

Solidaridad mendorong lahirnya gugus tugas yurisdiksi di tingkat kabupaten yang melibatkan pemerintah daerah, perusahaan, lembaga keuangan, dan organisasi masyarakat sipil. Menurut Yeni, model ini lebih realistis dibanding pendekatan parsial. “Waktu kita tidak banyak. Kalau tidak ada kolaborasi nyata, petani akan ditinggalkan pasar global,” ujarnya.

Beberapa daerah mulai mengambil langkah. Di Riau dan Kalimantan Barat, pilot project berbasis yurisdiksi telah dikembangkan untuk mengintegrasikan legalitas, sertifikasi, dan akses modal petani. Sementara di Jakarta, pemerintah pusat tengah melanjutkan diplomasi agar ISPO diakui setara dengan skema internasional. Negosiasi berlangsung alot, namun peluang tetap terbuka jika Indonesia bisa menunjukkan sistem audit yang kredibel.

Aspek pembiayaan juga tak kalah penting. Sebagian DBH Sawit yang kini dialirkan ke daerah didorong bisa diprioritaskan untuk mendukung sertifikasi petani swadaya. Tanpa subsidi, biaya audit dan pengelolaan data mustahil ditanggung petani kecil.

Di tengah situasi ini, ISPO menghadapi ujian besar: apakah ia bisa menjelma menjadi instrumen nasional yang sistemik, atau tetap terjebak sebagai sekadar program pendampingan. Jawabannya akan menentukan masa depan 2,6 juta petani sawit swadaya Indonesia dalam rantai pasok global.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini