Sejatinya pohon kelapa sawit bisa dikategorikan sebagai tanaman sektor kehutanan. Hal ini merujuk definisi hutan dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pada pasal 1 ayat 2 berbunyi, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Hal ini diungkapkan Pakar Kehutanan Yayasan Pusat Kajian Advokasi (Pusaka) dan Konservasi Alam (Kalam) yang juga Guru Besar IPB University, Prof. Yanto Santosa. Menurutnya, tumbuhan sawit yang termasuk dalam Genus Elaeis dan Ordo Arecaceae adalah tanaman hutan.
Dikatakannya, berdasarkan aturan undang-undang, suatu kawasan dikatakan hutan jika di dalamnya didominasi tanaman berkayu.
“Padahal, tanaman sawit jika sudah lebih dari 20 tahun, itu mulai berkayu, meskipun rendemennya lebih rendah, tidak seperti kayu mahoni atau ulin. Bahkan, Malaysia telah menjadikan tanaman sawit sebagai tanaman hutan,” tegas Prof Yanto, baru-baru ini, di Jakarta.
Menurut Prof Yanto, dari data Deforestation Watch Simon Chambers 2008, Malaysia bahkan memasukkan semua tanaman perkebunan tahunan sebagai kawasan atau penutupan hutan. Dari luas total daratan Malaysia 32.855.000 Ha, pertanian menggunakan lahan seluas 8.627.000 Ha dan kehutanan seluas 22.209.000 Ha. Sementara penggunaan lainnya hanya 2.019.000 Ha.
Indonesia yang memiliki luas darataan 187 juta hektar hanya menggunakan lahannya 57 juta hektar atau 31% untuk pertanian, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Kazhaktan yang menggunakan 80% lahannya untuk pertanian, atau Nigeria 78%, Ghana 69% dan Nigeria 78%, Sementara AS 44% dan Australia 48%.
Dengan demikian, pemerintah Indonesia seharusnya berani memasukkan tanaman sawit sebagai tanaman hutan. “Kalau sawit masuk tanaman hutan, berarti kan luas hutan kita akan secara otomatis bertambah 16 juta hektar,” katanya.
Meskipun demikian, Yanto menyayangkan sikap berbagai pihak yang menganggap tanaman sawit tidak bisa menjadi tanaman hutan. Padahal, jika potensi positif yang bisa didapatkan dari memasukkan sawit menjadi tanaman hutan sangat banyak. Salah satunya menambah tutupan hutan di Indonesia.
“Sebetulnya, banyak tanaman sawit itu ditanam di area lahan marjinal. Jadi ini merupakan bentuk perbaikan tutupan lahan,” katanya lagi.
Dengan demikian, lanjut Prof Yanto, anggapan bahwa sawit menyebabkan deforestrasi adalah keliru.
“Saya juga tidak setuju kalau tanaman sawit ditanam dengan membongkar hutan primer, kalau itu ya termasuk deforestrasi. Tapi aktivitas penanaman yang selama ini sudah dilakukan itu sebagian besar adalah menanam di kawasan marjinal, baik bekas bukaan lahan atau hutan sekunder yang sudah terdegradasi,” tambah dia.
Teguh Patriawan, CEO PT Nusantara Sawit Persada, sepakat sawit merupakan tanaman hutan. Bahkan, perkebunan sawit layak mendapat sebutan hutan sawit. Hal ini berdasarkan definisi yang disampaikan Badan Pangan PBB (FAO) bahwa hutan adalah lahan dengan tutupan tajuk pohon (atau tingkat tebar yang setara) lebih dari 10% dan luas lebih dari 0,5 ha. Pohon harus dapat mencapai ketinggian minimal 5 meter.
Sementara, menurut United Nation, hutan adalah lahan dengan tutupan tajuk pohon lebih dari 10% dan luas lebih dari 0,5 ha. Hutan ditentukan baik oleh keberadaan pohon dan tidak adanya penggunaan lahan utama lainnya. Pohon harus dapat mencapai ketinggian minimal 5 m. Tegakan muda yang belum tetapi diharapkan mencapai kerapatan tajuk 10% dan tinggi pohon 5 m termasuk dalam hutan, sebagai areal yang tidak ditebar untuk sementara.
Namun ironi, definisi tersebut menggecualikan sawit di dalamnya. “Sesuai definisi FAO, mestinya sawit termasuk hutan tanaman. Lantaran faktor muatan politis tertentu, tanaman sawit dikecualikan, tidak dimasukkan dalam kategori hutan,” kata Teguh.
Padahal, secara pertumbuhan, serapan karbon, serta peranannya dalam peningkatan tutupan hutan global tidak kalah dengan fungsi hutan konservasi.
Teguh berkisah kedatangan sawit di Indonesia. Tanaman sawit mulai masuk ke Kebun Raya Bogor pada tahun 1848. Hanya sebanyak empat pokok tanaman. Dua dari Bourbon, dan dua lainnya dari Hortus Botanicus Amsterdam.
Sampai tahun 1870 kelapa sawit hanya dipergunakan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara. Baru pada tahun 1911 tanaman dengan buah bertandan ini dibudidayakan secara komersial, setelah sebelumya pada 1870 dilakukan uji coba komersial.
Sejak saat itulah budidaya tanaman sawit berkembang pesat dan menyebar ke seluruh wilayah Nusantara. Hingga kini, minyak nabati yang dihasilkan pun berperan besar, baik di dunia maupun Indonesia.
“Dari data konsumsi minyak dan lemak tahun 2000-2016, terdapat peningkatan konsumsi tahunan sebesar lebih dari 6 juta ton per tahun,” ungkap Teguh.
Keunggulan minyak sawit dibanding dengan minyak nabati lain, kata Teguh, adalah produktivitas lahan yang tinggi dan hemat pemakaian lahan. Ini merupakan peluang untuk mengisi tambahan permintaan dunia akan minyak nabati dan lemak yang setiap tahunnya berkisar 6 juta ton.
“Produktivitasnya hingga 8-10 kali dibanding dengan minyak nabati lainnya,” ujarnya.
Teguh menjelaskan, sawit memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. “Saat ini hutan sawit Indonesia menyerap 17 juta tenaga kerja dan menghasilkan devisa sebesar US$20-25 miliar per tahun, inilah kontribusi hutan sawit dalam perekonomian negeri,” jelas Teguh. ***SH