Catatan Tercecer dari Karachi, Pakistan*

0

Setelah melewati perjalanan panjang dari Jakarta-Doha, Kamis malam selama lebih dari 8 jam dengan Qatar Airways, ditambah transit 2 jam, kemudian ganti pesawat Doha-Karachi 2,5 jam, sampailah kami di Karachi jam 06 pagi dinihari.

Kesan pertama, ditandai dengan lamanya proses imigrasi, gegara salah satu anggota delegasi menggunakan paspor biru (pemerintah) yang mestinya tidak perlu visa, tetapi masih dipersoalkan oleh petugas.

Berkat bantuan temen dari Konsulat Jenderal, setelah lebih 30 menit proses imigrasi akhirnya kelar. Keluar bandara, langsung disambut udara dingin setara puncak dan … juga tentara bersenjata di pelataran bandara. Wow…

Sepanjang perjalanan ke hotel cukup ramai, ini bisa dimaklumi, Karachi adalah bekas ibukota dan masih menkadi kota bisnis terbesar di Pakistan. Kota ini didominasi oleh warna cokelat, dengan hampir tidak ada taman dan pepohonan, kecuali pohon palma disana-sini.

Selain itu, terlihat tanah cokelat, bangunan buram termasuk dinding-dinding pagar gedung. Kendaraan angkutan umum di beri hiasan warna-warni dengan rona khas Pakistan. Kendaraan Bajay tentunya mendominasi jalan sepanjang bandara ke hotel. Hampir semua bangunan penting dibuat pagar tinggi termasuk hotel. Apalagi kantor Konsulat Jenderal USA, yang konon pagarnya berlapis tiga dan warga Amrik lebih banyak bersosialisasi antar mereka didalam dinding pagar.

Setelah masuk pintu gerbang yang dijaga sangat ketat, sampailah kami di Hotel Movenpick yang akan menjadi tempat menginap kami selama di Karachi mengikuti Pakistan Edible Oil Conference (PEOC).

Sebelum masuk pintu gerbang hotel, kami juga disambut dengan…tentara bersenjata di pintu hotel. Alhamdulillah, hotel bintang 5 ini cukup comfortable sebagai tempat menginap setelah melewati perjalanan panjang.

Seperti hampir semua negara Asia Selatan, makanan di Movenpick didominasi makanan berminyak, tentunya kari pasti ada; baik sarapan, makan siang maupun makan malam. Buah di kamar maupun di tempat hampir sama: apel, jeruk kino pakistan dan pisang (ambon). Jeruk kino nya menang merah tapi soal manis kalah jauh dengan jeruk pontianak maupun jeruk medan.

Waktu di Karachi yg hanya 2 hari sangatlah sempit, apalagi harus mengikuti rangkaian kegiatan PEOC. Namun demikian, kami masih sempat minum kopi di Vintage, mengunjungi Zainab pasar tradisional Karachi yang mirip-mirip Tanah abang baik dagangan dan macetnya serta mengunjungi gedung Perpustakaan Karachi yang konon bekas gereja.

Sabtu dini hari kami menuju Bandara untuk kembali ke Jakarta. Saat ke toilet, mendadak penunggu toilet meminta masuk ke ruangan khusus, saya bertanya, “ngapain? aku cuma mau pipis”. Si petugas sambil meletakan dua jari di depan mulutnya, akupun cepat berpikir rupanya dia memberikan ruang khusus untuk merokok. Wow….sangat baik ini penunggu toilet kepada kami orang Indonesia. Sayangnya saya bukan perokok. Saya lihat wajahnya memendam kekecewaan.

Selamat tinggal Karachi.

  • Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini