JAKARTA, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut jika sawit komoditas ekspor utama Indonesia yang nilainya mencapai US$29,66 miliar pada 2022. Menurutnya, tingginya ekspor sawit Indonesia itu ditopang oleh petani sawit.
“Pemerintah melakukan program sarana prasarana di 2023 lebih dari 7 ribu orang atau Rp127 miliar, sawit adalah ekspor andalan Indonesia. Dari sawit nilai ekspornya US$ 29,66 miliar di 2022, ini ekspor terbesar bersama nikel,” katanya di Pertemuan Nasional (Penas) Petani Sawit Indonesia yang digelar APKASINDO hari ini, di Jakarta, Kamis (7/12/2023).
Meski demikian, menurut Airlangga petani sawit dari segi produktifitas bisa lebih ditingkatkan lagi melalui berbagai program diantaranya melalui peremajaan sawit rakyat atau PSR.
“Rata-rata produktivitas 2,6-3 ton per hektare dan perlu peningkatan produktivitas melalui peremajaan sawit rakyat, dalam 5 tahun 2018-2023 sudah lebih dari 300 hektare atau 134 ribu pekebun dengan dana yang tersalur Rp8,5 triliun,” sebut Airlangga.
Namun, Airlangga Hartarto juga mengingatkan ada ancaman yang tengah mengintai sawit Indonesia. Ancaman itu adalah efek kebijakan Uni Eropa yang akan memberlakukan Undang-undang Antideforestasti (EUDR) secara efektif mulai akhir tahun 2024 nanti.
Di mana, ketentuan utama EUDR yang berpotensi akan sangat merugikan dan menyulitkan para petani sawit skala kecil ini diantaranya adalah mengenai penerapan geolocation plot lahan kelapa sawit dan country benchmarking system yang akan membagi negara dalam 3 kategori. Yaitu berisiko tinggi (high risk), standar, dan low risk atau berisiko rendah.
Selain itu, Airlangga pun mengakui jika Eropa merasa tersaingi dengan minyak sawit Indonesia.
“Uni Eropa juga memberikan subsidi sebesar US$436 miliar melalui bantuan intervensi pasar proteksionisme dan berbagai program, dan tentu kita mendapat tantangan di Eropa ke depan yang akan mengganggu ekspor kita dan mereka minta sawit dikeluarkan dari rantau pasok kemudian mereka syaratkan petani harus ada data geolocation,” tutur Airlangga.
Sementara itu, Ketua Umum APKASINDO, Dr. Gulat Manurung mengatakan, ganjalan terbesar petani sawit dalam replanting atau Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) karena KLHK masih mengkategorikan banyak lahan petani sawit masuk dalam kawasan hutan.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja, lanjut Gulat, lahan perkebunan sawit yang sudah ada sebelum 2020 dapat diakui sebagai lahan perkebunan.
“Dari 100 pengajuan PSR yang dilakukan oleh petani sawit, 84 diantaranya selalu gagal dalam pengajuannya, karena termasuk ke dalam kawasan hutan. Mohon bapak mendengar permohonan kami bahwa sebenarnya UU Cipta Kerja itu sudah memenuhi kepentingan petani sawit yang luasnya 5 hektar ke bawah dan 5 tahun ke atas. Karena PSR itu, pak, hanya 4 hektar. Makanya, kami cukup surat edaran dari bapak dikeluarkan,” ujar Gulat dalam Pertemuan Nasional APKASINDO di Jakarta, Kamis (7/12/2023).
Dia menambahkan pihaknya hanya minta yang 5 hektare ke bawah dan penguasaan 5 tahun ke atas bisa ikut PSR, sehingga Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak terus meleset targetnya seperti yang digariskan Presiden Jokowi 180 hektare per tahun.
“Oleh karena itu, kami memohon kepada Bapak Dirjen, Sekjen, dan Ibu Menteri [KLHK] memberikan keputusan ataupun keyakinan pada 2024 bahwa lahan yang 5 hektar ke bawah tidak lagi harus meminta surat dari KLHK,” pungkasnya.