Perum Bulog menjadi lembaga yang mendapat tugas pemerintah menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan di tingkat konsumen dan produsen. Salah satunya komoditas jagung. Hal itu sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 48 Tahun 2016.
Direktur Bisnis Perum Bulog, Febby Novita pada webinar Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) dengan tema “Strategi Pengembangan Produksi dan Stabilisasi Jagung Nasional”, Kamis (24/2) mengatakan, sesuai Perpres No.48 Tahun 2016, Perum Bulog mendapat tugas mengelola cadangan pangan pemerintah, termasuk ketersediaan jagung.
“Memang kalau kita lihat Pajale itu harusnya mulai dari impornya, penyimpanan, dan pengolaan cadangan harusnya ada di Bulog. Tapi kenyataannya yang terlaksana sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No 48 Tahun 2016 baru beras,” jelasnya.
Karena itu Ia berharap, ke depan dengan kehadiran Badan Pangan Nasional (BPN) hal-hal berkaitan dengan penugasan pangan krusial kembali dipegang Bulog. Barometernya, terjadi stabilisasi harga di petani, tidak harga jatuh, tercukupinya stok nasional, dan ketersediaan pangan di seluruh negeri.
Jika melihat fasilitas yang dimiliki Bulog, Febby menegaskan, pihaknya telah menyiapkan berbagai infrastruktur, termasuk 1.600 gudang miliki Bulog yang berada di seluruh Indonesia. Bahkan kini Bulog telah memulai proses pembangunan unit Corn Drying Center (CDC) dan Silo di beberapa lokasi sentra produksi jagung sebagai tempat penyimpanan.
Ada enam lokasi yakni, Gorontalo, Grobogan, Wonogiri, Tuban, Dompu (NTB), dan Lampung. Untuk di Gorontalo dan Grobogan total kapasitasnya 9 ribu ton, sedangkan di Wonogiri, Dompu dan Lampung sebanyak 6 ribu ton. Paling besar di Tuban sebanyak 30 ribu ton dengan 10 unit silo.
“Ini sebenarnya persiapan kami untuk nanti kalau Bulog ditugaskan menyimpang cadangan jagung. Jadi kita sudah punya infrastrukturnya,” ujarnya.
Untuk CDC yang berada di Dompu dan Bolaang Mangondow (Gorontalo) saat ini sudah hampir 50 persen selesai. Di lokasi tersebut masing-masing mempunyai tiga silo dengan kapasitas per unit 3.000 per ton. Dengan demikian total kapasitas silonya sebanyak 18 ribu ton. Sedangkan kapasitas dryernya 90 ton/unit/hari.
“Kalau sudah siap seharusnya pemerintah bisa memberikan penugasan untuk regulai penyimpanan jagung, sehingga pada bulan-bulan tertentu tidak akan kebingungan lagi untuk penyimpanan. Kalau harga naik kita langsung bisa gelontorkan dengan operasi pasar,” sambungnya.
Roadmap Produksi Jagung
Sementara itu, Indra Rochmadi, Koordinator Jagung dan Serealia Lain, Ditjen Tanaman Pangan Kementan mengatakan, Kementerian Pertanian telah menyusun road map dari 2020-2024. Pada tahun 2020 produksi jagung dengan kadar air 25 persen sebanyak 22,92 juta ton pipilan kering, tahun 2021 (23 juta ton), tahun 2022 (23,1 juta ton), tahun 2023 (30 juta ton) dan tahun 2024 sebanyak 35,3 juta ton.
Indra mengatakan, luas tanam jagung yang harus dicapai tahun 2022 sekitar 4,265,068 juta dengan luas panen 4.117.497 hektare dan produksi 23,103,448 ton. Untuk mencapai target produksi tersebut, pemerintah mendorong pengembangan jagung hibrida, kemudian budidaya jagung wilayah khusus, pengembangan jagung pangan serta di kawasan sentra produksi pangan/food estate.
Indra mengakui, potensi peningkatan produksi jagung dalam negeri cukup besar. Misalnya, dengan memanfatakan lahan kering yang belum optimal. Saat ini baru dimanfaatkan 19 persen. Selain itu, agroklimat Indonesia sesuai untuk budidaya jagung. “Teknologi dan inovasi jagung juga sudah cukup banyak,” ujarnya.
Pemerintah kata Indra juga telah menyiapkan strategi pengembangan jagung. Pertama, melalui perluasan areal tanam (ekstensifikasi). Misalnya dengan pembukaan areal tanam baru (PATB). pengembangan jagung wilayah khusus bekerjasama dengan Perhutani, Inhutani, BUMN, Perusahaan Perkebunan, Perusahaan Pakan ternak, Lembaga pemerintah, Lembaga non pemerintah, dan lainnya.
Kedua, peningkatan intensifikasi. Diantaranya dengan penggunaan benih produktivitas tinggi, pengunaan pupuk berimbang, meningkatkan pemanfaatan lahan/peningkatan IP lahan. “Dengan terbatasnya anggaran, kami juga mendorong petani untuk memanfaatkan Kredit Usaha Rakyat melalui korporasi petani,” katanya.
Sementara itu Dean Novel, petani jagung di Lombok menilai, dari sisi hulu sebenarnya bagi petani sudah tidak ada masalah. Namun yang dirasakan petani saat ini adalah dari sisi hilir yakni pasca panen dan pasar, terutama soal harga jagung.
Karena itu ia berharap pemerintah membuat patokan harga jagung yang terstandarisasi seperti di luar negeri. Dengan adanya kepastian harga, petani mempunyai insnetif untuk berusaha tani. “Pemerintah melihat harga jagung sekarang sudah cukup mahal di atas HPP. Tapi pertanyaannya cara menghitung HPP itu seperti apa?” tegasnya.
Bahkan Novel memprediksi tahun ini harga jagung akan tinggi sebagai dampak biaya produksi petani yang naik. Faktor penyebabnya, pupuk subsidi sedikit, sehingga banyak petani menggunakan pupuk non subsidi yang harganya mencapai Rp 12 ribu/kg, belum lagi biaya obat-obatan ditambah pertanaman pada musim hujan.
Karena itu Novel mengingatkan jika pemerintah merevisi HPP jagung, maka harus hati-hati. Bahkan ia mengusulkan agar HPP jagung jangan bersifat nasional, tapi regional, karena kondisi setiap daerah berbeda. “Tahun ini saya perkirakan kondisinya akan sama dengan tahun 2021, biaya produksi petani cukup mahal,” ujarnya.