Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) menolak RPP turunan dari UU Cipta Kerja yang sangat merugikan petani.
Ketua Umum APKASINDO Gulat Manurung menyatakan, sejatinya pihaknya tidak menolak UUCK, tapi turunan dari UUCK tersebut, atau yang dikenal dengan RPP yang dinilai telah melenceng dari filosofi dibuatnya omnibuslaw (UUCK).
“Harusnya RPP CK tsb BERSOLUSI, bukan BERSAYAP;” tegas Gulat.
Untuk itu Gulat berharap, petani, pemerhati sawit, akademisi bersama-sama mengawasi pembahasannya.
“Jangan sampai “masuk angin” oleh si Pembenci Sawit,” jelas Gulat
Gulat mengatakan penolakan sebenarnya sudah disampaikan langsung ke Presiden Jokowi dan sejumlah menteri terkait. Hanya saja, belum mendapat respons yang mensinyalkan pertimbangan pemerintah terhadap perubahan rencana aturan di UU Cipta Kerja dan aturan turunannya.
“Kami sudah melakukan tahapan surat menyurat ke presiden dan kalau ini tidak ditanggapi, maka kami akan melobi DPR. Kalau tidak bisa juga setelah RPP keluar, apa boleh buat, ini sudah setuju 22 provinsi kita turun ke Jakarta (Istana Kepresidenan),” kata Gulat dalam konferensi pers virtual, Rabu (23/12).
Untuk diketahui, para petani sawit menolak ketentuan pemerintah terkait sektor pertanian yang tertuang di UU Cipta Kerja paragraf 3 dan pasal-pasal di dalamnya. Intinya tertuang di Pasal 14 ayat 1 yang menuliskan bahwa pemerintah pusat menetapkan batasan luas maksimal dan minimum penggunaan lahan untuk usaha perkebunan.
Ketentuan ini turut mengatur soal penggunaan lahan di kawasan hutan. Padahal menurut Apkasindo, perkebunan sawit rakyat yang terindikasi dalam kawasan hutan dengan usia kebun 5-37 tahun biasanya sudah dilengkapi legalitas surat jual beli yang dibuat di hadapan kepala desa, camat, sudah melakukan pembayaran PBB, sudah memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) hingga Sertifikat Hak Milik (SHM).
“Pekebun sawit rakyat tidak memahami regulasi-regulasi terkait kehutanan dan tidak punya pengetahuan dan akses tentang status lahan yang mereka tanami dan melakukan pengecekan koordinat memakai alat GPS, berbeda dengan korporasi,” ucapnya.
Selain itu, pemerintah juga ingin perkebunan sawit rakyat agar didaftarkan secara legal. Namun, asosiasi petani menilai hal ini tak mudah bagi petani karena keterbatasan biaya dan tenaga, tidak seperti perusahaan.
Beberapa penolakan lain, yaitu pertama, ketentuan sanksi administrasi dibuat hanya untuk menyelesaikan persoalan klaim perkebunan sawit rakyat dalam kawasan hutan yang sudah melalui proses penetapan.
“Jadi jika proses tahapan ini belum tuntas maka kawasan hutan belum sah secara hukum. Padahal banyak lahan petani sawit yang diklaim berada dalam kawasan hutan yang belum mencapai tahap penetapan Kawasan hutan,” terangnya.
Kedua, petani harus punya izin berusaha terkait lokasi dan bidang usaha. Padahal petani sawit tentu saja tidak memiliki izin-izin tersebut karena memang tidak diwajibkan oleh undang-undang sebelumnya demikian juga dengan aturan lain.
Ketiga, aturan nanti akan menutup peluang bagi para pekebun yang lahannya 6-25 hekatre untuk memperoleh pelepasan Kawasan hutan. Padahal ketentuan hukum di bidang perkebunan telah memberikan hak bagi petani sawit untuk mengelola lahannya maksimal 25 hektare.
Keempat, petani disebutkan harus tinggal di dalam lahan minimum lima tahun, namun hal ini dinilai tidak masuk akal.
Kelima, pemerintah akan memberikan denda administratif kepada petani yang melanggar aturan-aturan sebelumnya, namun hal ini dinilai akan semakin memberatkan petani.
Keenam, pemerintah bermaksud melanjutkan penyidikan atas dugaan kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan yang dilaksanakan sebelum terbitnya UU Cipta Kerja.
“Proses penyidikan tersebut adalah bertentangan dengan UU Cipta Kerja dan menciptakan ketidakpastian hukum,” tuturnya.
Atas penolakan ini, APKASINDO memberikan beberapa masukan. Pertama, mengeluarkan areal kebun sawit dari kawasan hutan.
Kedua, memperluas definisi perizinan berusaha termasuk diantaranya Surat Tanda Daftar Budidaya, Hak-Hak Adat, Tanda Bukti Jual Beli lahan Pekebun dan Tanda Bukti Hak lainnya yang diakui masyarakat hukum adat setempat yang terbit sebelum berlakunya UU Cipta Kerja.
Ketiga, memasukkan hak dan kepentingan rakyat yang terindikasi dalam kawasan hutan ke dalam penyusunan RPP dengan membuat pasal-pasal khusus tentang penyelesaian kepemilikan lahan pekebun sawit.
Keempat, melakukan fasilitasi dan mempermudah proses penyelesaian klaim kawasan hutan. Kelima, denda administrasi yang dibebankan kepada petani sawit yang lahannya berada dalam kawasan hutan yang telah melalui proses penetapan maksimal sebesar Rp1 juta per hektare.
Orang bijak akan mengutamakan duduk berdiskusi dan memberikan kritik dan saran yang bijak sebelum memutuskan mendukung/menolak !
Bukannya dgn adanya UU Cipta Kerja justru akan melindungi hak2 buruh ya, selain itu UU Cipta kerja akan mensejahterakan para kelompok buruh. Selain itu msh byk lagi manfaat dari UU Ciptaker, UMKM semakin mudah, terciptanya lapangan pekerjaan, investasi dll .