Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan (Kemendag), menyediakan laboratorium acuan nasional untuk pengujian produk biji pala.
Direktur Standardisasi dan Pengendalian Mutu, Kemendag, Matheus Hendro Purnomo menjelaskan, pemenuhan standar mutu produk ekspor, terutama ekspor biji pala ke Uni Eropa membutuhkan infrastruktur yang mendukung pengawasan keamanan dan mutu pangan berupa regulasi, sumber daya manusia (SDM), sarana dan prasarana, serta laboratorium pengujian.
“Ketersediaan laboratorium acuan nasional untuk pengujian biji pala diharapkan dapat memfasilitasi pelaku usaha dalam memastikan jaminan mutu produk yang akan diekspor,” kata Hendro dalam keterangan resminya diterima, Kamis (21/3).
Hendro menyatakan, biji pala merupakan salah satu produk ekspor terbesar ke Uni Eropa yang telah mengalami notifikasi penolakan akibat terdeteksinya mikotoksin di dalamnya.
Peningkatannotifikasi Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) untuk biji pala berpotensi mengakibatkan kenaikan inspeksi fisik yang awalnya 20 persen menjadi 30 persen pada periode 2020.
“Potensi kenaikan inspeksi fisik pada biji pala meningkat menjadi 50 persen di pelabuhan tujuan ekspor pada periode 2023. Untuk memitigasi risiko tersebut, diperlukan upaya bersama dalam menangani rantai pasok ekspor biji pala asal Indonesia ke Uni Eropa yang mengalami penolakan dari negara tujuan ekspor akibat terkontaminasi mikotoksin,” ujar Hendro.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), mikotoksin merupakan senyawa beracun yang secara alami dihasilkan oleh jenis jamur tertentu.
Jamur yang dapat menghasilkan mikotoksin tumbuh pada berbagai bahan makanan seperti sereal, buah-buahankering, kacang-kacangan, dan rempah-rempah.
Pertumbuhan jamur dapat terjadi sebelum panen atau setelah panen, selama penyimpanan, dan di dalam kondisi hangat dan lembap.
Hendro menjelaskan, regulasi Uni Eropa untuk mengukur kadar mikotoksin pada biji pala telah digunakan di Indonesia. Namun, diperlukan pemutakhiran regulasi terkait pengambilan contoh dan kriteria laboratorium pengujian.
Selain itu, diperlukan laboratorium acuan nasional untuk melakukan analisis mikotoksin pada biji pala yang telah diakui laboratorium pengujian di Uni Eropa.
Hendro mengungkapkan, Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu bersama Atase Pertanian KBRI Brussel, Badan Pangan Nasional (Bapanas), Badan Karantina Indonesia (Barantin), dan para peserta sepakat merekomendasikan tindak lanjut berupa penyusunan legalitas atau kesepakatan antarinstansi dan unit terkait dalam bentuk rencana aksi.
Hal ini bertujuan untuk mengatasi kesenjangan dan keterbatasan kewenangan instansi dalam menangani kasus hambatan teknis.
“Selain itu, sistem registrasi dan sertifikasi diharapkan dapat melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam rantai pasok, seperti petani, pedagang pengumpul, dan laboratorium penguji.Hal tersebut untuk memastikan adanya ketertelusuran dari hulu sampai hilir,” kata Hendro.
Adapun hal ini disampaikan Hendro Purnomo saat membuka kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Pengembangan Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) yang diselenggarakan di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat pada Jumat (8/3).
Atase Pertanian Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Brussel, Arief Rachman yang hadir sebagai narasumber pada kegiatan ini mengusulkan, perlunya perbaikan di sepanjang rantai pasok pengolahan biji pala.
Selain itu, kata dia, ketersediaan laboratorium referensi nasional yang kompeten juga merupakan hal penting untuk memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha dalam menjamin mutu produk mereka.