Perkebunan kelapa sawit memiliki peranan penting dalam menghasilkan minyak sawit berkelanjutan . Ramah sosial dan lingkungan berdasarkan praktik budidaya terbaik dan berkelanjutan.
Perkebunan kelapa sawit memiliki memiliki beragam daya tarik bagi banyak orang. Pengusaha, petani, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat luas baik laki-laki dan perempuan, selalu melirik keberadaan perkebunan kelapa sawit di berbagai daerah.
Namun, perbedaan jenis kelamin seringkali menjadi batu sandungan. Lantaran, banyak orang yang masih memandang sebelah mata terhadap keberadaan perempuan di industri kelapa sawit.
Identitas dari jenis kelamin seringkali dipersoalkan sebagian orang, padahal berbagai prestasi perempuan sering medapatkan apresiasi yang jauh lebih besar dibandingkan laki-laki dalam suatu pekerjaan.
Totalitas dan loyalitas dari seorang pekerja perempuan, memiliki kekuatan besar dalam memperjuangkan kemampuan yang dilakoninya dalam bekerja.
Merujuk data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, sektor sawit mampu menyerap tenaga kerja langsung sekitar 4,2 juta orang dimana sebanyak 12 juta orang Termasuk tenaga kerja tidak langsung.
Sementara serapan di sektor pertanian (perkebunan rakyat) mencapai 2,6 juta usaha petani, yang mempekerjakan sekitar 4,3 juta orang.
Lantas, secara dampak ekonomi ditingkat nasional, industri kelapa sawit telah mampu menyumbang devisa terbesar dan sebagai salah satu upaya untuk memenuhi Sustainable Development Goals (SDG’s) guna mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya kehidupan untuk sekitar 14 juta petani dan keluarganya.
Namun demikian, tingginya serapan pekerja di sektor perkebunan kelapa sawit menjadi isu yang masih diperdebatkan, misalnya muncul dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lewat isu penggunaan pekerja anak, dan isu gender.
Direktur Assurance Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sekaligus Plt Deputi Direktur RSPO Indonesia, Tiur Rumondang mengungkapkan, industri kelapa sawit memang belum ramah bagi perempuan.
“Secara natural perempuan tidak bisa dihindari dalam mengambil pekerjaan di sektor perkebunan kelapa sawit,” kata Tiur.
Selain itu, lanjutnya, perempuan juga memiliki keunikan tersendiri, untuk itu perlu payung hukum supaya perempuan di sektor perkebunan kelapa sawit bisa terlindungi.
“Sebab itu perlu dipastikan praktik berkelanjutan dalam melindungi perempuan di sektor perkebunan dilakukan dan standar yang disediakan juga untuk memastikan ada forum plaform untuk para perempuan,” kata Tiur dalam Webinar FGD Sawit Berkelanjutan Vol 6, bertajuk “Ketangkasan Perempuan Sawit Indonesia”, di Jakarta, 27 April 2021.
Menurut Group Sustainability Lead Cargill Tropical Palm (CTP), Yunita Widiastuti, Cargill Tropical Palm terbentuk pada tahun 2015 untuk membawahi bisnis Cargill di bidang produksi minyak kelapa sawit. Berkantor pusat di Singapura dan memiliki hampir 18,000 karyawan.
“Dari total karyawan tersebut sebanyak 11% adalah pekerja perempuan dan merupakan pekerja dengan level supervisor tingkat 2 ketas. Sementara untuk level manger 1&2 mencapai 3,3%. Kondisi ini terjadi lantaran, Cargill telah berkomitmen untuk melindungi hak asasi manusia, memperlakukan orang dengan martabat dan rasa hormat ditempat kerja dan di masyarakat di mana perusahaan melakukan bisnis, dan beroperasi secara bertanggung jawab di keseluruhan industri pertanian, pangan, keuangan, dan industri lainnya,” jelasnya.
Lebih lanjut, tutur Yunita, mesti diakui bahwa di industri sawit Indonesia, kaum perempuan juga memiliki peran penting dalam kemajuan minyak sawit yang berkelanjutan. Di Cargill Tropical Palm, hal ini terlihat dari banyaknya posisi penting yang diisi oleh karyawan perempuan seperti, Operational: Estate Manager, Operator mini tractor, Loose fruit collector, Agronomy team, Field assistant, Farmer Development Manager. Juga berada di Departemen pendukung, seperti, Environment, health and safety, Dokter, Sustainability Manager, Finance Manager, Komunikasi, Government relations.
“Sebab itu Cargill, berkolaborasi dengan semua pemangku kepentingan dalam industri kelapa sawit; termasuk pemerintah, GAPKI, RSPO, ISPO, LSM, para pekebun dan perusahaan lain.,” Katanya.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware, secara umum perempuan di perkebunan kelapa sawit seperti para istri dan anak perempuan petani sawit, buruh itu sendiri dan atau Istri buruh, lantas perempuan di sekitar perkebunan.
Rukaiyah Rafiq, dari Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI), perempuan sawit bisa dibagi dalam dua kelompok, pertama kelompok petani swadaya dari transmigran, biasanya petani sawit perempuan ini memiliki lahan terbatas, hanya mengelola 23 Ha lahan, jika transmigrasi berkaitan dengan dengan perkebuna Kelapa sawit, maka lahan mayoritas sudah menjadi kelapa sawit.
“Perempuan sebagai kepala keluarga ikut dalam mengelola kebun keluarga, biasanya keterlibatan perempuan tersebu guna mengurangi biaya,” tutur Rukaiyah Rafiq yang biasa dipanggil Uki.
Sementara kelompok kedua yakni petani dari masyarakat lokal dengan kepemilikan lahan yang beragam, lantas kebun sawit bukan menjadi satu-satunya sumber penghidupan. Sementara perempuan masih memiliki ruang sendiri, kebun karet, umo, dan pekarangan.
“Untuk kelompok ini peran perempuan biasanya hanya terbatas pada mengutip brondol dan nebas piringan, dan perempuan hanya berkerja jika lahan keluarga sekitar 2 ha, bila diatas 2 Ha biasanya petani memiliki pekerja, kebun sawit dianggap memiliki resiko tinggi yang tidak cocok untuk perempuan,” kata Uki.