Meski saat ini Indonesia berada di posisi keempat penghasil kopi terbesar di dunia, namun sejatinya Indonesia dibayangi potensi terjadinya krisis kopi pada 2020 mendatang. Alasannya, jumlah ekspor kopi mendekati jumlah konsumsi kopi di Indonesia.
Misnawi, Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia mengakui jumlah ekspor kopi sudah mendekati jumlah konsumsi kopi di Indonesia. Sementara jumlah produksi kopi di Indonesia cenderung stagnan.
“Produksi kopi kita hanya 5 persen setiap tahun, padahal jumlah konsumsi mencapai 14 persen. Kalau kita tidak bergerak dan melakukan penataan kopi mulai sekarang bisa jadi nanti kita tidak ekspor kopi tapi impor. Kita harus cegah itu terjadi,” kata Misnawi di Bogor, baru-baru ini.
Menurut dia, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengoptimalkan produktivitas lahan meski tanpa menambah luas areal tanam. Ini bisa dilakukan dengan pemilihan bibit unggul sejak awal tanam hingga peremajaan tanaman kopi.
Untuk itu, Puslitkoka bersedia menyediakan benih, baik dalam bentuk biji dan tanaman muda yang sudah teruji lewat track record mampu meningkatkan produksi kopi yang sudah ada. Bila direncanakan dengan baik, institusi ini mampu memproduksi 30 juta atau lebih benih kopi dalam setahun.
“Bahkan dalam satu tahun kita pernah menghasilkan benih kakao 40 juta dan kopi 20 juta. Jadi soal menyediakan benih dalam jumlah besar dalam waktu satu tahun sudah biasa bagi kami. Syaratnya harus direncanakan dengan baik,” kata Misnawi.
Untuk kopi, kalau dalam bentuk biji, kapasitas Puslitkoka bisa mencapai 50-60 juta karena tingginya produktivitas kebun benih yang dimiliki. Dari 1 kg benih bisa dihasilkan 30.000 biji. Meskipun demikian ke depan sebaiknya klonisasi, yaitu benih yang berasal dari klon unggul yang diperbanyak secara vegetatif harus lebih diutamakan.
Salah satu produk benih kopi andalan Puslitkoka adalah ‘kopi super’ yang punya perakaran lebih banyak dan dalam. Sudah teruji 10-15 tahuh mampu mengatasi kekeringan dan serangan nematoda yang merupakan salah satu OPT utama kopi.
Dengan teknologi ini, kata dia, kopi, baik jenis robusta maupun arabika, menjadi tahan kering, baik untuk iklim yang makin tidak menentu dan tahan hama nematoda, salah satu hama utama yang menyerang sistem perakaran pada tanaman kopi dan dapat menyebabkan kematian tanaman.
Misnawi menambahkan, bibit Kopi Super merupakan bentuk dukungan terhadap pemerintah untuk menyukseskan program pengembangan kopi nasional yang dicanangkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia di Bandar Lampung pada tanggal 13 Februari 2016, sebagai langkah antisipasi kemungkinan kondisi ‘Darurat Kopi’ yang diperkirakan akan terjadi pada tahun 2023.
“Di 2023 kita akan dihadapkan pada fase krisis kopi, karena konsumsi kita melebihi produksi kita. Bibit Kopi Super ini salah satu bentuk antisipasi kita menghadapi kemungkinan kondisi darurat kopi tersebut,” tegasnya.
Ia menambahkan, kopi merupakan komoditas andalan Indonesia dan mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia, salah satunya sebagai penyumbang devisa negara peringkat keempat di sektor perkebunan setelah kelapa sawit, karet dan kakao sebesar 1,2 miliar dolar. Meskipun kopi menjadi salah satu komoditas andalan, namun usaha kopi di Indonesia masih memerlukan dukungan untuk dapat lebih maju dan berkembang.
“Upaya pengembangan kopi kita menghadapi beberapa permasalahan di antaranya, rendahnya produktivitas kopi, rendahnya mutu/kualitas kopi, rendahnya diseminasi inovasi teknologi, kelembagaan petani kopi belum kuat dan masih terbatasnya akses dalam permodalan. Rentetan masalah ini harus segera kita carikan solusinya, salah satu upaya yang sudah kita lakukan dengan merilis bibit Kopi Super ini,” jelasnya.
Surip Mawardi, Peneliti Senior Puslikoka yang kini menjabat Kepala Ahli Agronomi Starbucks Farmer Support Center mengakui ancaman krisis kopi di dunia bisa terjadi karena sejumlah negara penghasil kopi mulai mengurangi produksi kopinya.
“Jika produksi kopi tidak ditingkatkan, maka bukan tidak mungkin akan terjadi krisis kopi dunia,” kata Surip.
Menurutnya, laju pertumbuhan produksi kopi ternyata masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah konsumsi kopi masyarakat dunia karena budaya minum kopi di berbagai negara yang semakin meningkat akan menjadikan kopi sebagai komoditas perdagangan kedua yang menjanjikan, setelah minyak dan gas bumi.
“Dunia mulai khawatir karena Brazil sebagai produsen utama kopi hanya mengeluarkan 75 persen dari total produksinya, sisanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” ujarnya.
Sedangkan di Afrika Timur yang dikenal juga sebagai negara penghasil kopi utama sedang mengalami masalah pengurangan lahan kopi besar-besaran, padahal kopi tidak mungkin ditanam di Eropa.
Saat ini, lanjut dia, masyarakat dunia mulai melihat Asia sebagai tempat untuk meningkatkan produksi kopi dunia dan Asia menjadi pilihan terakhir dalam upaya meningkatkan produksi kopi dunia.
“Negara yang paling berpeluang untuk meningkatkan produksi kopi adalah Indonesia karena memiliki kualitas tanah dan didukung iklim yang cocok dibandingkan negara lain,” katanya.
Dari data tahun 2017 tercatat areal kopi di Indonesia mencapai 1,1 juta hektar dengan produktivitas sebanyak 0,75 ton per hektar. “Kami mengharapkan agar peluang ini dapat diraih oleh Indonesia, sehingga dapat menjadi eksportir kopi utama dunia,” ujarnya.
Surip mengatakan, potensi kopi untuk dijadikan sebagai komoditas perdagangan memang tidak perlu diragukan lagi karena sejak 300 tahun lalu penjualan kopi di pasar internasional semakin membaik.
“Kopi masih menjadi komoditas utama untuk perdagangan. Sementara komoditas pala saat ini penjualannya tidak begitu bagus dan cengkih yang digunakan sebagai bahan baku rokok kretek juga semakin menurun seiring semakin ketatnya aturan mengenai industri rokok,” katanya menambahkan.
Ia menjelaskan kopi bisa menjadi bagian penting dalam membangun kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat Jember yang memiliki perkebunan kopi yang sangat luas. “Bisa kita istilahkan kopi sebagai pohon industri karena mulai dari hulu hingga hilir kopi sangat menjanjikan untuk diperdagangkan, belum lagi dari sektor retailnya.”
Menurut Surip, hal yang menggembirakan hampir semua industri kopi olahan mulai peduli dengan membina petani. Salah satunya Starbucks Indonesia yang menunjukkan komitmennya dalam memberdayakan petani kopi dengan terus berinovasi melalui produk minuman baru berbasis espresso.
Di bulan Maret ini, melalui kampanye “Art in A Cup”, Starbucks mengajak penikmat kopi Indonesia untuk menikmati cita rasa dan keindahan estetika minuman espresso. Keempat minuman spesial yang ditawarkan adalah Caramel Cream Frappuccino Affogato Style, Caramel Macchiato, Vanilla Sweet Cream Cold Brew, dan Iced Matcha & Espresso Fusion. Mereka bervariasi dalam rasa dan tekstur, tetapi espresso tetap menjadi dasar utama.
Melalui kampanye ini, Starbucks berkomitmen untuk mendukung perkebunan kopi di Sumatera dengan menyumbangkan sebagian hasil penjualannya, yaitu menanam 1 pohon kopi dari setiap 10 gelas yang terjual dari minuman spesial tersebut. Selain itu, 10% penjualan dari kemasan biji kopi Sumatera juga akan disumbangkan untuk kesejahteraan warga di lingkungan perkebunan kopi di Sumatera, mulai dari perbaikan fasilitas sekolah sampai dengan tempat tinggal.
“Komitmen Starbucks membantu petani kopi di negara penghasil kopi senantiasa menciptakan hubungan yang baik antara karyawan dan petani kopi. Sumatera telah menjadi sumber biji kopi bagi Starbucks selama lebih dari empat dekade dan sejak awal memahami bahwa hubungan kami merupakan investasi jangka panjang dalam dunia kopi. Akan tetapi, hal ini hanyalah permulaan,” papar Anthony Cottan, Direktur Starbucks Indonesia, baru-baru ini di Jakarta.
Menurutnya, para petani adalah awal dari komitmen Starbucks di Sumatera, yang memiliki peran yang tidak kecil dalam mendukung keberhasilan perusahaannya. Sturbucks mengapresiasi mereka yang terlibat dalam perjalanan ini dan pencapaian ini berkat kerja sama dan komitmen dengan segala pihak.
“Pada tahun 2004 lalu, saya mendapatkan suatu kehormatan untuk mengunjungi perkebunan kopi pertama kalinya di Lintang, Sumatera Utara dan menyaksikan perjalanan kopi dari hilir ke mudik serta mengenal petani kopi dan warga yang tidak kalah pentingnya terlibat dalam perjalanan menghasilkan kopi yang berkualitas. Sejak saat itu, pandangan saya berubah dan begitu menghargai secangkir kopi yang disajikan dan saya nikmati setiap hari,” pungkas Anthony. ***SH, TOS