Gambut, Batubara, dan Standar Ganda dalam Isu Emisi Karbon

0
lahan gambut hijau

Kolom

Sudarsono Soedomo
Guru Besar Kebijakan Kehutanan, IPB University

 

Dalam diskursus lingkungan hidup di Indonesia, lahan gambut telah diposisikan seolah-olah suci dan tak boleh tersentuh. “Jangan ganggu gambut” menjadi semacam mantra yang terus digaungkan dalam berbagai forum, mulai dari gerakan LSM hingga kebijakan pemerintah.

Padahal, secara ilmiah, gambut tidak lebih dari akumulasi bahan organik yang belum terurai sempurna, yang apabila dikeringkan atau dibakar, akan melepaskan karbon. Ironisnya, saudara tuanya—batubara—yang merupakan hasil akhir dari proses pengarangan gambut selama jutaan tahun, justru tidak diposisikan sekeras itu dalam wacana publik, padahal emisi karbon dari pembakaran batubara jauh lebih besar, masif, dan langsung.

Gambut dan batubara berasal dari bahan dasar yang sama: sisa tumbuhan yang terkubur dan berubah karena tekanan serta panas. Keduanya menyimpan karbon, dan bila teroksidasi akan melepas gas rumah kaca. Tapi sementara batubara terus ditambang dan dibakar untuk kepentingan energi, gambut dilarang keras untuk disentuh, terutama bila berkaitan dengan ekspansi kebun sawit. Di sinilah muncul standar ganda yang mencolok. Mengapa batubara dianggap sebagai kebutuhan nasional yang dapat ditoleransi emisinya,sementara pemanfaatan terbatas gambut untuk pertanian atau perkebunan langsung dicap sebagai perusak lingkungan?

Situasi ini menjadi makin kompleks ketika menyangkut sawit. Perkebunan kelapa sawit sering menjadi sasaran kritik karena dianggap sebagai penyebab utama deforestasi dan emisi karbon, apalagi jika dikembangkan di atas lahan gambut.

Padahal, kontribusi sawit terhadap ekonomi nasional sangat nyata: puluhan miliar dolar devisa setiap tahun, jutaan tenaga kerja langsung dan tidak langsung, serta nilai tambah yang jauh melebihi luas lahan yang digunakan. Anehnya, justru sektor sawit yang dituntut untuk “menunggu” peningkatan produktivitas sebelum boleh memperluas lahan, bahkan di wilayah yang sudah tidak berhutan.

Di banyak kasus, kritik terhadap sawit yang masuk ke gambut bersandar pada logika “jangan sampai karbon lepas.” Tetapi logika ini tidak konsisten. Ketika batubara yang berasal dari bahan karbon yang sama dibakar dalam skala raksasa untuk pembangkit listrik, keberatannya tidak sekeras terhadap sawit. Bahkan dalam kerangka kebijakan energi nasional, batubara masih dianggap sebagai “penopang transisi,” meskipun emisinya sangat tinggi dan tidak dapat dikembalikan ke tanah sebagaimana karbon organik dari biomassa sawit.

Lebih ironis lagi, di negara-negara maju yang mendesak Indonesia untuk melindungi gambut dan membatasi ekspansi sawit, justru praktik penggunaan gambut berlangsung biasa saja. Di negara bagian Florida, gambut digunakan secara intensif untuk pertanian sayur-sayuran. Di Eropa Utara, gambut ditambang dan digunakan sebagai bahan bakar atau media tanam, dan praktik ini berlangsung tanpa stigma lingkungan yang berlebihan. Mengapa ketika Indonesia menggunakan lahan gambut untuk produksi pangan dan energy nabati, langsung dituduh sebagai perusak iklim?

Sudah waktunya kita melihat isu gambut, batubara, dan sawit secara lebih adil dan rasional. Pemanfaatan gambut secara hati-hati dan berbasis ilmu pengetahuan tidak harus dilarang total. Sebaliknya, harus dibuka ruang inovasi agar lahan-lahan tersebut dapat mendukung produktivitas ekonomi tanpa mengabaikan perlindungan lingkungan. Sawit sebagai tanaman dengan produktivitas tinggi juga harus dinilai dengan kacamata keadilan ekologis, bukan semata-mata sentimen global.

Isu emisi karbon adalah masalah dunia. Maka, pendekatan yang diambil pun harus berdasarkan prinsip keadilan global. Tidak adil jika Negara berkembang seperti Indonesia dilarang menyentuh gambut atau memperluas sawit demi alas an emisi, sementara negara maju terus membakar batubara dan enambang gambut tanpa beban moral yang sama. Keadilan iklim tidak cukup hanya dengan menekan negara-negara tropis, tetapi harus menyasar akar masalah sesungguhnya: standar ganda dalam narasi lingkungan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini