Partisipasi Masyarakat dalam Industri

0

Kolom
Sudarsono Soedomo
Guru Besar Kebijakan Kehutanan, IPB University

 

Hutan Tanaman Industri (HTI) dan kebun sawit sama-sama merupakan bentuk budidaya monokultur dengan kerapatan tajuk dan tutupan lahan yang serupa. Namun, kesamaan itu berhenti pada bentuk fisiknya. Dalam hal dampak terhadap kesejahteraan masyarakat dan distribusi manfaat ekonomi, keduanya sangat berbeda secara fundamental.

Sebagian besar HTI yang ada di Indonesia saat ini diperuntukkan bagi produksi kayu pulp, yang menjadi bahan baku utama industri kertas. Industri ini sangat terkonsentrasi, dikuasai oleh segelintir korporasi besar, dan terintegrasi secara vertikal dari hulu hingga hilir. Artinya, perusahaan yang menanam pohon juga yang mengolah kayu menjadi pulp dan produk kertas. Dalam struktur industri seperti ini, harga kayu pulp sebagai bahan baku tidak ditentukan secara terbuka dan kompetitif, tetapi lebih sebagai harga transfer internal yang sangat dikendalikan oleh pemilik industri. Akibatnya, partisipasi masyarakat dalam rantai nilai HTI sangat kecil, bahkan cenderung diabaikan.

Berbeda halnya dengan industri sawit. Sekitar 42 persen dari total luas perkebunan sawit nasional dimiliki dan dikelola oleh petani swadaya dan plasma. Ini menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan HTI. Selain itu, industri pengolahan kelapa sawit primer—seperti pabrik kelapa sawit (PKS)—umumnya berskala menengah hingga kecil dan tersebar, kemungkinkan kompetisi antar pabrik dan memberi posisi tawar yang lebih baik bagi petani. Struktur ini mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, membuka peluang usaha yang luas, dan mendorong pemerataan pendapatan di wilayah pedesaan.

Industri sawit, meski sering dikritik dari aspek lingkungan, justru menunjukkan kinerja yang lebih menjanjikan dalam peningkatan kesejahteraan dan keadilan distribusi ekonomi. Rantai nilai sawit bersifat lebih terbuka dan inklusif, sehingga manfaatnya menyebar ke berbagai lapisan masyarakat, bukan hanya terkonsentrasi di tangan segelintir korporasi. Sebaliknya, model HTI saat ini lebih tertutup, terpusat, dan hanya menguntungkan kelompok bisnis tertentu.

Oleh karena itu, dalam merumuskan kebijakan tata guna lahan dan kehutanan, pemerintah harus lebih kritis melihat struktur ekonomi yang melatarbelakangi setiap jenis pemanfaatan lahan. Bukan semata melihat apakah itu monokultur atau bukan, tetapi siapa yang mendapat manfaat dari nya. Jika tujuan pembangunan adalah kesejahteraan rakyat, maka kebijakan harus berpihak pada model-model usaha yang terbukti lebih demokratis dan inklusif—seperti sawit rakyat—dan tidak terus-menerus memanjakan model usaha eksklusif seperti HTI pulp yang hanya memperkaya segelintir elit

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini