Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana menyatakan kesiapan lembaganya menjadi offtaker hasil produksi pertanian untuk Program Makan Bergizi Gratis Presiden Prabowo Subianto.
Pernyataan ini disampaikan Dadan dalam keynote speech pada acara Nutrition Livestock Forum 2024 dengan tema “Pemenuhan Gizi Protein Hewani untuk Anak Bangsa”, yang berlangsung di Auditorium Kementerian Pertanian (Kementan), Jakarta, Kamis (28/11).
Di awal paparannya, Dadan menyampaikan sejumlah data penting yang diperoleh dari rapat terbatas (Ratas) dengan Presiden Prabowo mengenai nilai tukar petani (NTP).
Dia menjelaskan, untuk tanaman pangan, nilai tukarnya tercatat sebesar 110, sementara untuk tanaman perkebunan rakyat, nilai tukarnya lebih tinggi, mencapai 156. Namun, nilai tukar untuk sektor peternakan terbilang cukup rendah, yaitu hanya 102,34.
“Nilai tukar peternakan ini termasuk yang masih perlu ditingkatkan,” ujar dia. “Ini menjadi salah satu topik yang dibahas dalam rapat terbatas dua hari lalu. Mengapa nilai tukarnya bisa serendah itu?” tambah Dadan.
Dadan berharap, hadirnya Badan Gizi Nasional dapat meningkatkan nilai tukar petanakan tersebut. Sebab, Badan Gizi Nasional akan menjadi offtaker produk peternakan dalam Program Makan Bergizi Gratis.
“Kenapa demikian? Karena dalam program pilot project yang telah kita jalankan, satuan pelayanan program makan bergizi gratis akan melayani 3.000 anak, ditambah nanti dengan ibu hamil, ibu meyususi, dan anak wanita,” kata dia.
Dia menjelaskan, dalam program makanan bergizi, kebutuhan bahan pangan akan sangat besar. Sebagai contoh, jika dalam satu hari disiapkan ayam untuk 3.300 orang, maka dibutuhkan sekitar 350 kilogram ayam. Begitu pula, untuk memenuhi kebutuhan telur, jika 3.300 orang dilayani, maka diperlukan 3.300 telur.
Jika program makanan bergizi ini dapat menjangkau antara 82 hingga 89 juta orang, dan Badan Gizi Nasional merencanakan agar seluruh Indonesia makan telur pada hari yang sama, maka akan ada permintaan sebesar 82,9 juta telur hanya dalam satu hari.
“Dan itu saya yakin belum pernah terjadi dalam sejarah Republik Indonesia, 82,9 juta telur akan dimakan bersamaan dalam waktu satu hari,” ungkap Dadan.
Lebih lanjut, Dadan menjelaskan, satuan pelayanan program makan bergizi gratis akan mengola uang kurang lebih Rp 10 miliar rata-rata per tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 85 persen akan digunakan untuk membeli bahan baku yang kemudian diolah menjadi makanan bergizi.
“Jadi kalau ini program sudah jalan dalam waktu yang ditentukan mencakup 82,9 juta, maka artinya 1/3 penduduk Indonesia akan diberi makan setiap hari,” kata dia.
Menurut dia, program ini akan menciptakan pasar baru yang besar, sebuah new emerging market yang sebelumnya belum ada. Pasar ini kini sedang dibangun oleh pemerintah, yang mendorong peningkatan produktivitas sumber daya lokal.’
Oleh karena itu, Dadan berharap agar tidak ada lagi lahan pertanian yang dibiarkan terbengkalai atau tidak produktif. Dia menekankan pentingnya memanfaatkan setiap lahan yang ada, serta mendorong sektor peternakan, seperti sapi dan ayam, untuk lebih berkembang.
“Badan Gizi Nasional sekarang hadir di setiap wilayah di seluruh Indonesia untuk menjadi penyerap produk tersebut dan menjadi offtaker ke depan bagi produk-produk lokal,” pungkas Dadan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Kementerian Pertanian (Kementan), Agung Suganda menyampaikan, pihaknya siap mendukung penuh pemenuhan kebutuhan pangan hewani dalam Program Makan Bergizi Gratis.
“Kami di Kementan menjamin, kalau untuk daging ayam, daging telur, kebutuhannya berapapun, para peternak kita, baik yang besar, menengah, dan kecil, siap menyediakan kebutuhan yang untuk program makan bergizi maupun yang reguler,” kata dia.
Lebih lanjut, Agung menekankan bahwa tujuan utama dari program ini tidak hanya untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak bangsa, tetapi juga untuk menyerap produk lokal yang kini sudah surplus.
“Alhamdulillah untuk daging ayam, telur kita sudah cukup, dan bahkan kita berlebih, saatnya lah sekarang ini bisa terserap untuk program ini maupun juga yang kebutuhan berikutnya,” kata Agung.
Menurut dia, rendahnya nilai tukar sektor peternakan disebabkan oleh banyaknya peternak yang masih belum memperoleh keuntungan yang memadai. “Rata-rata peternak kita masih belum untung,” ujarnya.
Harapannya, dengan diserapnya produk-produk peternakan, khususnya unggas seperti daging ayam ras dan telur ayam ras, kondisi ini bisa berubah. “Dengan harga yang sudah ditetapkan sesuai acuan, kita berharap harga tingkat peternak bisa berada di atas harga pokok produksi (HPP). Ini penting agar kondisi peternak bisa lebih baik,” jelas Agung.
Dia menekankan, harga acuan pembelian harus dipatuhi. “Jangan sampai nanti harga beli yang ditetapkan justru sama dengan HPP, atau bahkan di bawahnya. Jika itu terjadi, maka sama saja dengan tidak mengubah kondisi yang ada,” ungkap Agung.
Sementara untuk daging dan susu ini masih menjadi PR bersama, khususnya nanti dalam penyediaan menu pada program akan bergizi. Pasalnya, Indonesai masih tergantung dengan impor untuk dua komoditas ini.
“Untuk dua komoditas ini, kami telah menyusun peta jalan untuk pemenuhan susu segar di tahun 2025 sampai dengan 2029. Kita sudah menghitung kondisi produksi sampai tahun ini berapa, kemudian 5 tahun ke depan,” kata dia.
Agung mengatakan, untuk mencapai peningkatan produksi susu dan sapi perah di Indonesia, perlu ada intervensi dalam bentuk impor sapi perah dari luar negeri, dengan target minimal 1 juta ekor.
“Ini menjadi target kinerja kami di Ditjen PKH, walaupun APBN-nya 0, sehingga kami terus meminta mitra-mitra kita untuk melakukan atau mendukung program pemerintah khususnya peningkatan produksi susu,” kata dia
Untuk jangka pendek, lanjut dia, saat ini sedang menyelesaikan revisi kedua peraturan pemerintah nomor 4 tahun 2016 dan saat ini setelah 30 tantangan dari beberapa Presiden, begitu pun juga aturan-aturan pemerintah di bawahnya.
“Kemudian kita juga sudah menyiapkan lahan-lahan yang bisa digunakan untuk pengembangan pertanakan sapi perah dan sapi berdaging, ini sedang kita diskusikan dengan investornya,” kata dia.
“Tetapi memang tantangannya bukan hanya ada tidak lahan yang bisa digunakan, tetapi bagaimana kemanfaatan lahan ini agar bisa affordable atau bisa terjangkau biayanya untuk calon-calon investor yang ada,” tambahnya.