Belasan Pabrik Kakao Tutup Akibat Seret Bahan Baku

0
Kepala Divisi Umum BPDP, Adi Sucipto, dalam acara Press Tour Kontribusi Kakao untuk APBN dan Perekonomian di Bali, Senin (24/11).

Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) mencatat belasan pabrik kakao terpaksa tutup karena kesulitan memperoleh bahan baku.

Keterangan ini disampaikan Kepala Divisi Umum BPDP, Adi Sucipto, dalam acara Press Tour Kontribusi Kakao untuk APBN dan Perekonomian di Bali, Senin (24/11).

Adi menjelaskan, merujuk data Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), saat ini hanya tersisa 19–21 pabrik yang masih beroperasi.

“Kalau dari informasi dari Industri Agro awalnya kita itu punya 31 pabrik. Sekarang ini yang memang berproduksi itu antara 19 sampai 21,” kata dia.

Dia memaparkan bahwa 10–11 pabrik yang tutup itu terutama terdampak oleh tingginya biaya produksi. Dulu industri kakao Indonesia tidak mengalami masalah bahan baku karena pasokan berasal dari dalam negeri. 

Namun saat ini pasokan lokal menyusut sehingga industri harus mengandalkan impor. Kondisi ini membuat biaya produksi melonjak dan tidak lagi kompetitif.

“Dulunya kita itu penghasil. Bahan bakunya tersedia, nggak perlu impor. Nah sekarang kalau harus impor, makanya cost of produksi-nya dia terlampaui,” kata dia.

Meski begitu, Adi mencatat pelaku usaha cokelat artisan masih tumbuh cukup banyak. Walaupun demikian, sebagian besar artisan masih bergantung pada bahan baku impor karena pola konsumsi kita berbeda.

“Tetapi artisan-nya banyak. Tapi artisan ini perlu diingat bahan bakunya impor karena tadi pola konsumsi kita yang berbeda,” tutur Adi.

Lebih lanjut, Adi menjelaskan, kakao di Indonesia termasuk salah satu komoditas non-pangan yang produksinya relatif rendah untuk kebutuhan ekspor. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan budaya konsumsi. 

Produk yang dihasilkan industri dalam negeri umumnya berupa kakao, sementara konsumen Indonesia lebih banyak menginginkan cokelat dengan kadar kakao yang lebih rendah atau light chocolate.

“Budaya konsumsi kita berbeda. Sama seperti kopi, robusta itu murah di dalam negeri karena masyarakat lebih suka arabika. Padahal di Eropa robusta justru lebih mahal karena budaya mereka memang seperti itu,” ujar Adi.

Karena perbedaan pola konsumsi inilah, menurut Adi, industri kakao nasional menghadapi tantangan tambahan selain pasokan bahan baku, sehingga perlu langkah-langkah penyesuaian di hulu maupun hilir.

Reporter: Supianto
Join us on Google News: https://bit.ly/3K0ZGkF

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini